GURUKU
Guruku….
Engkau tidak hanya dipanggil
Tetapi engkau juga diutus
Antara resah dan skeptis diri D
ilengkapi senjata ke medan laga
Berantas kebodohan dengan multi kompetensi
Agar generasi berilmu dan sejahtera
Guruku…
Engkau oase di tengah gurun
Bukan hanya berbicara mengabarkan ilmu dan semangat
Bukan hanya mendengar keluh generasi tersesat
Tetapi juga membaca zaman menambah khazanah
Dengan tangan kekarmu menarikan pena
Mengikat ilmu mempertinggi jati diri
Guruku…
Tanpa wawasan dan ilmu hampa panggilanmu
Lenyap dalam zaman dan persaingan
Berbicara dan mendengar belum lengkap
Membaca dan menulis masih harus dilatih
Membagi waktu dengan tumpukan administrasi
Guruku….
Teramat berat negara beri beban di pundakmu
Kenaikan pangkat bukan hadiah belaka
Tetapi engkau harus berpeluh dalam bakti
Banyak tugas engkau belum tuntaskan
Generasi terus mengalir menyusuri waktu
Engkau dipaksa mengasah diri dan membagi peran
Guruku…
Teruslah bergegas
Dengan setia engkau mewarta
Mendengar keresahan anak zaman
Buku di kiri menyingkap ilmu
Pena di kanan mengikat makna
Guru cerdas, bangsa jaya bermartabat.
Warikeo 27 Januari 2017
MERENDA ZAMAN
Mengurai langkah menghitung jejak
Dalam aras zaman tak pernah lelah
Waktu terus melesat
Terus bergegas menuju batas
Meski kalbu tak jarang tersandra
Hasrat tiada henti berkelana
Menakar perjalanan menghitung jedah
Dalam gulungan masa
Fajar menggulingkan cahaya
Menyanyikan harapan tiada henti
Kobarkan hati untuk generasi
Gemar membaca dan menulis
Agar bernas berilmu
Menggulingkan gatra
Merabas fakta dengan pena tajam
Menyingkap gelap
Memandang cerah di garis depan
Mendulang cerdas menampi kebodohan
Mengumpulkan bijak
Agar generasi berakhlak
Mencipta sejarah dengan pena kebenaran
Semangat tak kenal lelah
Dihiasi derap pagi dan petang
Mengasah nurani mengolah pikir
Menatap asa dalam derap masa
Melesat bagai anak panah
Dari busur kehidupan
Menggapai finis menancap harapan
Kami hanya saksi
Atas kreasi tiada henti
Kami hanya kawal
Atas ekspresi kebebasan
Di depan mereka kami kian runduk
Tinggal sedikit yang kami miliki
Sekedar khazanah untuk menulis
Membentuk generasi cerdas dan kritis
Kini di akhir waktu para pendahulu
Di pelupuk hasrat generasi merona
Jangan lelah perjuanganmu
Langkah kami kian lambat
Hasratmu terus bertambah
Penerus cerdas bermartabat
Memintal harapan
Merenda zaman.
Bajawa, 4 Maret 2017
PENA UNTUK IBU
Air mata belum kering
Ketika jemari dipaksa menari
Mengapit pena yang berkali-kali diraut
Beralas pelupu larut umur
Di suatu masa yang jauh
Kala ibu dengan khusyuk
Merenda hidupku diawal waktu
Di kedalaman kalbu
Terbayang wajahnya merah padam
Meronakan gelora cinta
Mengalirkan semangat membara
Lewat rayuan dan paksaan
Agar bocahnya melek huruf
Dan gancang menulis
Kini, tangannya sudah hilang tenaga
Jemariku tak lagi digenggam
Pena tua lapuk dihempas masa
Namun kasihnya tak pernah lekang
Gandakan hidup dengan pena baru
Bagai seribu pana menerjang waktu
Merajut gatra mengarungi zaman
Kini dia bagai busur yang kendur
Bagai sayap yang terkulai
Namun tak patah melesatkan asa
Menggoda sukma untuk kembali
Membawa rasa rindu dalam pelukan bisu
Merasakan detak jatung yang kian redup
Memudar nyalanya tapi tak dipadamkan
Dia sungai bagi jiwaku
Terus mengalir tak pernah kembali
Membasuh raga dikala lelah
Agar segar dalam pengembaraan
Akan kuhiasi wajahnya dengan kebahagiaan
Dengan kata hikmat yang pernah diajarnya
Dengan pena tajam yang pernah diasahnya
Tuhan, aku habis kata mengucapkan harap
Menaikan doa pada-Mu
Agar wajah ibu kembali merona
Dengan pena tajam yang ibu titipkan
Bajawa, 26 Maret 2017
Eman Djomba, penyuka puisi. Antologinya yang telah terbit Pulang ke Rinduku. Penerbit Carol Maumere
Puisi sebagai Terang Hidup
Oleh: Hengky Ola Sura
Redaksi Seni Budaya VOX NTT
Tiga puisi dari Emanuel Djomba kali ini adalah corak puisi yang melaju lepas bebas. Eman seolah spontan menyatakan kepada pembaca bahwa yang namanya kerja-kerja guru/pendidik adalah kerja pencerahan.
Dengan demikian tiga puisinya kali ini hemat saya bermain pada area terang puisi. Sejatinya ada tiga daerah ‘bermain‘ penyair yaitu daerah terang, remang dan gelap.
Tiga puisi Eman saya kira berada pada aras bermain terang. Maksudnya adalah bahwa ketika membacanya pembaca bisa langsung memahami makna terdalamnya.
Terlepas daripada yang mana lebih baik dan mana tidak baik puisi tetaplah puisi, suatu dunia yang lahir karena olahan dari pengalaman puitik seseorang.
Eman sejatinya adalah seorang guru yang melalui puisi-puisinya kali ini hadir secara spontan juga taktis membahasakan realitas kisah kehidupan sosok bernama guru.
Pengalaman sebagai guru,jurnalis dan juga pada sekian banyak momen perjumpaan melecutkan daya imaginasi Eman untuk menghasilkan puisi-puisinya.
Tiga puisinya edisi ini adalah ekspresi dari sekian banyak perjumpaan, ada bersama yang ia hadirkan secara terang, tegas dan tanpa permainan metafora atau diksi yang membuat pening pada kepala pembaca.
Guruku…
Teruslah bergegas
Dengan setia engkau mewarta
Mendengar keresahan anak zaman
Buku di kiri menyingkap ilmu
Pena di kanan mengikat makna
Guru cerdas, bangsa jaya bermartabat
Perhatikan penggalan dari puisi di atas, sekali lagi Eman tanpa sungkan mengantar pembaca untuk tidak perlu berpikir terlalu jauh tentang guru yang terus bergegas sebagai pelayan.
Puisi-puisi Eman adalah ajakan, suluh jalan untuk selalu sadar bahwa menjadi guru itu tidaklah gampang.
Tiga puisi Eman kali ini adalah terang hidup yang senantiasa mengusik kemapanan sebagai guru untuk terus belajar dan belajar.
Oleh karena itu membaca tiga puisi dari Eman Djomba adalah membaca situasi yang melekat pada lingkungan sekitar kita.
Mulai dari puisi Guruku, Merenda Saman dan Pena untuk ibu adalah bagian dari kita ikut masuk pada kedalaman puisi.
Puisi adalah juga sebuah jalan pulang untuk memurnikan semua tugas pelayanan. Sosok bernama guru bisa jadi semacam orientasi dari Emanuel Djomba untk ikut memurnikan dirinya.
Jalan yang dipilih adalah melalui puisi. Eman juga tidak sedang mendikte pembaca melalui tiga puisi tetapi ikut merayakan status sebagai guru dengan penuh kegembiraan.