Fian Watu*
Setiap siang, kisah tentang orang lain selalu mereka bicarakan. Kisah-kisah itu jatuh dengan cepat sekali dari mulut dua wanita ini. Belum habis kisah anak tetangga yang menghamili gadis kampung tetangga, muncul lagi kabar burung tentang ibu Reta yang selingkuh. Belum habis kisah tentang ibu Reta, kisah tentang kawin lari mengudara lagi. Kisah-kisah ini adalah satu dua kisah yang kudengar hari ini. Masih banyak kisah lain yang muncul begitu saja, entah benar atau tidak, dari mulut dua ibu ini setiap hari.
Aku tahu dengan baik kedua ibu ini. Pertama, Ibu Tika, seorang ibu rumah tangga yang bekerja juga sebagai juru cuci. Aku tahu itu dari percakapannya setiap hari. Satunya lagi, Ibu Naas, Ibu RT. Begitulah aku dengar orang memanggilnya. Setiap siang Ibu Tika pergi ke rumah Ibu Naas. Dia memberikan hasil cucian. Keduanya lalu duduk minum teh hangat sebentar dan melanjutkan ritual itu: mencari kutu.
Aku paling risih. Kadang aku ingin melawan namun manusia memang akan terus menjadi pemenang. Keturunan kami berlarian saat tangan mulus Ibu Naas menjelajahi helai demi helai rambut dan kulit Ibu Tika. Satu persatu keturunanku dibunuh dengan sekali jelajah. Aku beruntung karena punya tempat sembunyi khusus pada rambut di belakang kepala ibu Tika. Dari tempat itulah aku mendengar kisah yang jatuh dari bibir dua ibu itu.
“Kau sudah dengar? Ibu Sofi punya rumah baru. Palingan uang korupsi suaminya.” Ibu Naas membuka percakapan.
“Iya. Dan yang lebih heboh, anaknya akan berkuliah di luar negeri. Dari mana mereka dapat uang sesingkat itu?”
“Atau jangan-jangan mereka memelihara tuyul.”
“Benar. Zaman sekarang ada-ada saja cara mendapatkan uang dengan cepat.”
Tak habis topik yang mereka bahas. Ada saja kisah baru yang muncrat dari kepala Ibu Tika dan Ibu Naas. Aku benci sekali. Semakin banyak topik, semakin banyak kaumku yang mati di tangan mereka.
Sebagai penghuni rambut kepala Ibu Tika, aku heran. Dari mana dia tahu semua kisah itu. Dia bercerita seperti orang yang melihat semua kejadian itu. Padahal tiap hari aku di kepalanya. Aku tahu semua aktivitasnya. Tidak hanya memasak di dapur. Aku ada saat dia mencuci di kamar mandi dan melayani suami di ranjang.
Aku jujur, keturunan kami berkembang cepat di kepala ibu Tika. Rambutnya kotor, tak terurus. Aku hafal bau rambutnya. Bau itu kadang memabukkan kami. Ke sana asap dari tunggu api bermuara. Sama seperti Ibu Tika, bau rambut suaminya pun menjijikkan. Aku hafal juga bau rambut suaminya. Setiap malam aku juga ada di rambut Ibu Tika saat dia dan suaminya dimabuk cinta.
Aku kadang muak dengan rambut Ibu Tika. Aku kadang nomaden. Aku menyelinap ke rambut Ibu Naas saat dia asyik mencari kaumku di rambut Ibu Tika. Rambut Ibu RT itu lebih harum. Mungkin karena perawatannya mahal. Mungkin juga Ibu Naas lebih sering bekerja di butiknya sehingga hampir tak ada bau jorok di kepalanya. Bau harum itu juga kutemukan di rambut kepala suaminya, Pak RT. Bedalah bau rambut seorang tukang ojek dan rambut seorang pegawai sipil, aku pikir. Aku hafal baik jenis dan bau rambut Ibu Tika dan suaminya, Ibu Naas dan suaminya.
Hidup di tengah hutan rambut yang luas tak membuat aku tersesat. Rambut hitam Ibu Tika tidak membuat aku kehilangan telingaku. Aku dengar semua percakapannya dengan Ibu Naas. Aku heran, ada saja kisah baru tentang orang lain yang muncul dari mulut mereka. Mereka tidak pernah berkisah tentang kehidupan rumah tangga mereka. Ibu Tika tidak pernah berkisah tentang pekerjaannya. Ibu Naas tidak pernah berkisah tentang bisnis butiknya. Mereka lebih suka berkisah tentang rumah tangga orang lain, anak orang lain, pekerjaan orang lain, ya orang lain. Lebih memekakkan telingaku, mereka selalu saja menceritakan kabar buruk orang lain.
“Aku dengar Ibu Ida selingkuh dengan guru agama.” Ibu Naas membuka percakapan sedang tangannya asyik membuka rambut kepala Ibu Tika.
“Aduh. Kok kelakuan guru agama begitu? Masih baik aku. Biar pekerjaanku hanya mencuci pakaian kotor tingkahku tidak kotor.” Ibu Tika membela diri.
“Aku juga dengar kalau mereka sering bertemu kalau istri guru agama itu tak ada di rumah.” Tambah Ibu Naas sambil membunuh salah satu kaumku.
Ada saja bumbu yang ditambahkan ke dalam setiap kalimat yang jatuh dari mulut mereka. Aku kasihan pada kaumku. Memang sudah takdir bagi kami untuk kalah pada manusia. Namun, kami kehilangan banyak generasi pada ritual dua perempuan ini. Semakin seru percakapan mereka, semakin banyak dari kami yang mati. Iri hati dan ketidakpuasan mereka dilampiaskan pada tubuh kaumku. Aku sedih karena setiap kali kisah-kisah orang lain mereka udarakan, kaumku mati di tangan mereka. Kerja mereka hanya dua: membicarakan keburukan orang dan membunuh kaumku.
Kadang ritual itu berlangsung sangat lama. Sampai-sampai Ibu Tika lupa pada pekerjaan di rumahnya. Beda dengan Ibu Naas yang punya pembantu di rumah, Ibu Tika sendirian di rumah. Dia harus memasak, mencuci, dan pergi ke kebun. Maklum, dia hanya punya suami tukang ojek dan seorang anak yang saat ini masih di kelas lima sekolah dasar.
Ritual itu baru dihentikan kalau anak dan suaminya datang.
“Bu. Bapak panggil. Ibu belum masak untuk makan siang kita.”
“Aku belum makan siang. Aku kerja dan berkeringat di jalan, kau malah mencari kutu di sini.”
Omelan anak dan suaminya itu dibalas dengan marah. Kadang ibu RT yang membuat mereka tenang. Ibu Tika bukannya malas. Dia hanya terlalu tenggelam dalam ritual mereka itu. Meskipun berdamai di depan Ibu RT, suami istri itu akan kembali bertengkar kalau sudah di rumah. Anak mereka hanya masuk dalam kamar dan menangis. Dia tidak tahu apa-apa.
Aku sudah bilang kalau ini ritual. Korbannya orang lain dan kaumku. Siang itu seperti biasa, dua perempuan itu kembali melakukan ritual itu.
“Di mana suamimu? Aku tak melihatnya akhir-akhir ini. Kalian baik-baik saja, kan?” Ibu Naas bertanya.
“Kami baik-baik saja. Dia pergi ke kampung orang tua tiga hari yang lalu. Ada urusan adat. Pak RT?” Ibu Tika menimpali.
“Biasa. Di kantor desa. Ada saja urusan di sana.” Kata Ibu Naas sambil tersenyum.
Ada yang berbeda. Kali ini mereka kisahkan kisah mereka. Tapi jari lentik Ibu RT tidak berhenti membuka rambut Ibu Tika dan mencari kaumku. Kaumku makin berkurang dan kisah orang makin ditambah bumbu. Namun, itu hanya sebentar. Setelah itu mereka kembali kisahkan masalah orang lain.
Malam ini, seperti biasa aku menyelinap di rambut Ibu Tika. Aku mencari tempat yang aman agar tidak tertindih waktu ia tidur. Dia baru saja keluar dari tempat tidur anaknya. Anaknya sudah tidur. Dia langsung ke kamarnya dan merebahkan diri. Belum lima menit dia berbaring, pintu rumahnya diketuk. Dia tak terkejut. Dengan perlahan dia turun dari tempat tidurnya dan pergi membuka pintu rumahnya. Ada sosok laki-laki yang masuk. Suaminya pasti sudah pulang, batinku. Cahaya lampu yang remang-remang membuat aku kesulitan melihatnya. Sang suami menarik Ibu Tika, memeluk dan membawa ibu Tika ke kamar. Aku hampir saja jatuh dari kulit kepala Ibu Tika. Ibu Tika tidak memberontak, lebih tepat pasrah dengan keinginan suaminya yang kilat itu. Saat kepala dan kulit wajah dua manusia itu bersentuhan, aku rasa ada yang berbeda. Aku tak mencium bau kulit kepala dan minyak rambut sang suami. Aku mencium bau kulit kepala Pak RT, suami Ibu Naas. Aku baru ingat, bau rambut inilah yang aku cium tiga malam belakangan ini.
*Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Boru, Wulanggitang, Flores Timur.