Oleh Pius Rengka
Setiap kaum punya adab, itu sudah pasti. Entah kaum tukang minum, penenggak minuman keras atau sejenisnya. Karena itu, setiap bangsa tak hanya setiap ada laku kaumnya, tetapi juga punya tradisi adat istiadat. Mereka mematuhinya dan setia.
Laku tradisi, kemudian jadi kebudayaan. Kebudayaan sebagai ciri setiap suku bangsa di mana pun mungkin mereka berada. Kebudayaan, sesungguhnya, tidak lain dari cara tanggap atau cara reaksi manusia pada alam fisik dan pikiran, lingkungan sosial dan cita-cita masa depan.
Dan, masa depan sesungguhnya, tak hanya sedang ada di depan, tetapi juga menunggu di depan. Jadi, masa depan tak pergi ke mana-mana, tetapi menunggu setia setiap saat sampai manusia mencapai kebenaran sempurna. Karena itu, manusia berubah dari masa ke masa. Kelakuannya pun begitu.
Itulah sebabnya, mengapa kebudayaan pada dirinya sendiri senantiasa mengevaluasi diri. Dia, melihat diri sendiri, adaptif pada kondisi dan situasi yang berubah. Akibatnya kebudayaan pada dirinya sendiri mengandung potensi berubah, dan lebih penting dari itu, setiap kebudayaan selalu ada pemangkunya pada setiap masa.
Maka benarlah jika dikatakan, setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Atau, setiap orang ada waktunya, dan setiap waktu ada orangnya. Begitulah selalu dan selalu begitu setiap kali entah hingga kapan.
Kini kebudayaan di seluruh dunia beragam wajah, tetapi para pemangkunya mengalir berubah ke dalam ruang dan waktu serupa. Kebudayaan meruang mewaktu dan manusia pun mengalir di dalamnya. Perpindahan atau muhibah manusia dari satu kebudayaan ke budaya lain terus saja terjadi.
Singapura, misalnya. Negeri ini tak henti berdenyut. Negeri yang tak jauh dari tanah air Indonesia, dan tak seluas Danau Toba itu, selalu gemuruh. Manusia bergerak selalu lekas, dan disiplin tinggi. Sudah jadi budaya mereka hidup disiplin, bersih dan fokus.
Mereka bekerja dengan disiplin waktu ketat karena kerja terikat target dan target selalu jelas dan terukur. Maka kelakuan budayanya ke arah sana, tidak berbelok seenaknya atau menurut kemauan dagingnya. Budaya kerja jelas dan ini sangat penting, bersih sekali. Dapat dikatakan, kita tak menemukan seekor lalat atau nyamuk pun di dalam kota atau di rumah makan. Kota bersih, disiplin lalulintas tepat dan karenanya polisi tak banyak di jalan raya. Tidak sebagaimana kita di sini. Polisi nyaris kita lihat mondar mandir di setiap sudut kota.
Polisi, cukup mengganggu kita di jalan raya Indonesia, tetapi di Singapura polisi nyaris tak tampak di jalan raya, kecuali dia melintas mengurus kepentingan berbeda sama sekali, misalnya, pergi kencing.
Kehidupan begitu pasti, dan dipastikan oleh waktu. Tepat waktu, punya waktu, berapa waktu, selalu jadi kata kunci. Disiplin waktu dan kerja keras adalah keharusan. Bagi mereka waktu tak akan kembali dan tak akan pernah kembali. Waktu mengalir terus ke depan dan terus berubah. Akibatnya, dalam konteks ekonomi, Singapura adalah satu Negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di Negara-negara ASEAN.
Yang menarik adalah ini. Penyumbang devisa tertinggi untuk Singapura adalah Indonesia. Indonesia pengunjung tertinggi mendatangi Singapura. Wisatwan Indonesia menempati urutan satu kunjungan wisatawan manca Negara ke Singapura. Mengalahkan China, Korea, Jepang, Thailand dan Filipina, India.
Indonesia belanja paling banyak di sana, dan membangun kondominium di sana. Koruptor pun menyimpan hasil jarahannya di sana. Intinya, Indonesia membuat Singapura jadi makmur.
Sebutlah Muhamad Baa’syir. Dia guide wisata. Dia penduduk Singapura. Dia bukan teroris. Dia berkisah. Katanya, banyak pejabat korup, yang disebut-sebut di Indonesia, membangun bisnisnya di Singapura. Mereka menyimpan duit hasil jarahannya di sana. Bahkan mantan Gubernur, yang kini diringkus seperti tikus got dalam jeruji penjara di Indonesia, memiliki apartemen mewah di Singapura. Tubuhnya dalam penjara, tetapi hasil jarahannya tetap menjalar ke mana-mana. Mantan Gubernur lainnya, dari partai kisruh, pun punya bisnis apartemen di sana, dan selalu mengatur agar para pelancong berduit Indonesia menginap di apartemennya.
Lebih seru lagi, banyak kalangan istri para pejabat, istri gubernur, berbelanja di sana. Yang membuat saya pilu, istri gubernur dari kawasan propinsi miskin juga melancong belanja di sana, tak kalah gertak.
“Di sini mereka merdeka sekali,” kata Baa’syir. Di Singapura tak ada yang tak terdeteksi. Semuanya tercatat karena terkait pajak.
Dia berkisah, istri gubernur dari kawasan miskin, belanja berjibun. Memikul tas, menenteng belanjaan. “Kita tahu itu pasti dari Indonesia,” kata Baa’syir. Kata dia, mudah dideteksi kelakuan mereka. Mungkin di negeri sendiri mereka tampil anggun jaga senyum dan kelakuan, tetapi jika sudah di Singapura, semua pura-pura itu luluh lumer. Jadi liar, seliar-liarnya. Suami jadi pejabat istri gila belanja. Belakangan barulah diketahui, Baas’yir orang Indonesia, yang menetap di Singapura 47 tahun. Seluruh sisa hidupnya di sana.
Pariwisata Singapura jadi gemuk, segemuk para pengunjung ibu-ibu dari negeri tetangga dari negeri riuh nyiur melambai-lambai. Bagaimana negeri kita?
Indonesia itu kaya. NTT itu pun kaya raya. Kawasan obyek wisata alam, budaya dan pantai NTT, kaya sekali. Tetapi, yang belum ada di sini adalah pemimpin dengan kekayaan pemikiran. Pemikiran yang mendorong wisata sebagai leading industry pendulang kemakmuran rakyat. Wisata NTT, masih sebatas potensi, bukan benda ekonomi. Untuk itulah kita butuh pemikir besar dengan gagasan besar, kehendak besar membesarkan pundi pembangunan demi khalayak besar rakyat yang miskin besar. Kita tentu, tidak butuh pemimpin yang gemar menggemukkan dirinya sendiri, keluarganya sendiri dan kalangan dalam dirinya sendiri.
Kita tak harus melancong ke Singapura, cukup bila kita membenah pariwisata di sini dengan sekuat kehendak baik. Itu sudah lebih dari cukup. Agar kali lain, saya tak lagi malu mendengar Baa’syir. Begitulah!