Ruteng, Vox NTT- Diskursus politik pemilihan kepala daerah (Pilkada) Manggarai tahun 2015 lalu masih terngiang dalam ingatan.
Kala itu, suhu politik memang cukup kompetitif dan menegangkan. Betapa tidak, duel maut pasangan Deno Kamelus dan Viktor Madur (Paket Deno-Madur) versus Herybertus GL Nabit dan Adolfus Gabur (Paket Hery-Adolf) hingga berakhir di Mahkamah Konstitusi.
MK kemudian menolak gugatan Paket Hery-Adolf pada 25 Januari 2016. Alasannya karena tidak memenuhi syarat selisih perolehan suara pada Pilkada yang berlangsung 9 Desember 2015 lalu itu.
Paket Deno-Madur kemudian dinyatakan menang dengan perolehan 73.666 suara atau 50,63% dari total 145.486 suara sah.
Sedangkan Paket Hery-Adolf hanya meraup 71.820 suara atau 49,36%. Selisih suara keduanya adalah 1.846 atau 1,27%.
Menarik memang jika diingat kembali dari sisi perjuangan politiknya. Saat itu, Paket Hery-Adolf yang mendapatkan nomor urut dua diusung tiga partai politik.
Ketiganya yakni; PDIP dengan total 5 kursi, NasDem 4 kursi, dan Hanura 3 kursi di DPRD Manggarai.
Tak hanya itu, Paket Hery-Adolf juga didukung Partai Golkar dengan total 4 kursi dan PKB dengan total 2 kursi.
Sementara Paket Deno-Madur yang mendapatkan nomor urut satu diusung enam parpol. Keenamnya yakni; PAN dengan total 4 kursi, Demokrat 4 kursi, Gerindra 5 kursi, PKPI 2 kursi, PKS 1 kursi, dan PBB sebanyak 1 kursi.
Dari komposisi tersebut, Paket Deno-Madur yang saat ini sedang memimpin Kabupaten Manggarai kalah satu kursi yakni 17 dari rival beratnya Paket Hery-Adolf dengan dukungan 18 kursi. Di DPRD Manggarai sendiri total anggota sebanyak 35 orang.
Hampir tiga tahun berlalu kepemimpinan Deno-Madur di Manggarai, namun sikap partai opisisi di DPRD seakan melempem. Peta perimbangan politik di dewan bahkan cendrung didominasi kelompok pemenang Pilkada Manggarai.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Ruteng, Servasius Jemorang menilai sikap opisisi dari partai pengusung dan pendukung Paket Hery-Adolf di DPRD Manggarai tampak belum terdengar hingga ke telinga publik.
Bahkan, kata Servas, sikap kekritisan ke-18 anggota dewan yang saat Pilkada lalu getol memperjuangkan Paket Hery-Adolf seakan melempem dan terlihat harmonis dengan pemerintah.
Partai-partai yang kalah dalam Pilkada Manggarai tidak kompak dalam mengawasi dan mengkritisi roda pembangunan di bawah kepemimpinan Deno-Madur.
Servas menduga, kubu Deno-Madur telah melancarkan strategi politik pengendalian yang lebih cerdas dan hegemonistik, yakni dengan memanfaatkan potensi pilihan di tubuh parpol-parpol opisisi.
“Apakah roda pembangunan dan sejumlah program di Manggarai ini aman-aman saja? Kapan masyarakat melihat gerakan kompak partai opisisi di DPRD Manggarai untuk mengkritisi dan menentang pemerintah?” tanya Servas saat berbincang-bincang dengan VoxNtt.com di Ruteng, Jumat (27/07/2018).
Padahal menurut dia, wajah demokrasi yang baik adalah dengan eksisnya unsur oposisi. Hal itu beralasan karena opisisi dapat menjadi kekuatan pengontrol dan penyeimbang jalan pelaksanaan pemerintahan.
Dengan kata lain lanjut Servas, kekuatan opisisi adalah salah satu elemen penting untuk Kabupaten Manggarai yang kuat dan mampu bersaing dengan daerah-daerah lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Apalagi di Manggarai ini kan, elemen pengontrol pemerintah sangat minim. Karena itu, satu-satunya yang diharapkan masyarakat ialah kekuatan pengontrol oposisi di DPRD. Sayangnya, mereka bahkan melempem,” tandas Servas.
Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD Manggarai dari PDIP Paulus Peos membantah bahwa sikap oposisi di dewan melempem dalam mengontrol rezim Deno- Madur.
Dia menegaskan, semua sikap politik partai bisa dibaca dalam pandangan fraksi setiap kali persidangan di DPRD Manggarai.
“Sebetulnya tidak demikian juga, semua sikap politik partai bisa dibaca dalam pandangan umum fraksi tiap persidangan, banyak pemikiran kritis disalurkan,” ujar Peos saat dikonfirmasi VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp-nya, Jumat pagi.
Menurut dia, sikap kekritisan partai oposisi di dewan tidak sampai ke telinga masyarakat mungkin saja karena kurangnya publikasi.
Anggota DPRD Manggarai dari Dapil Langke Rembong itu menambahkan, ada banyak catatan kritis partai oposisi di dewan yang tertuang dalam pandangan fraksi sudah terlaksana oleh pemerintah.
Misalnya, dia menyebut, persoalan pembebasan lahan Pasar Puni Ruteng dari masyarakat yang dahulu menguasai lokasi tersebut.
Namun di lain sisi, ada pula sorotan parpol dalam pandangan umum fraksi belum dijalankan oleh pemerintah sampai sekarang.
Misalnya, kata Peos, keinginan 5 hari kerja lingkup Pemkab Manggarai. Pemerintah masih ngotot dengan polanya sendiri yakni tetap 6 hari kerja dalam sepekan.
Kemudian, perhatian terhadap Stadion Golo Dukal juga belum dijalankan oleh Pemkab Manggarai.
Peos juga menjawabi adanya tudingan yang menyebut bahwa sikap ke-18 anggota dewan pendukung Paket Hery-Adolf tidak kompak dalam mengontrol rezim Deno-Madur.
Menurut dia, tudingan tidak kompak itu bisa benar karena banyak hambatan yang dihadapi. Apalagi ke-18 anggota dewan tersebut berasal dari partai berbeda dan berada di fraksi berbeda pula.
“Sikap politik sangat tergantung partainya,” kata Peos.
Yoakim Jehati, Anggota DPRD Manggarai dari Golkar, salah satu partai pendukung Paket Hery-Adolf punya pandangan lain atas tudingan sikap opisisi di dewan melempen.
Menurut Yoakim tidak ada oposisi di Manggarai. Yang ada hanya satu kesatuan untuk membangun Manggarai.
“Kelompok 18 (pendukung Hery-Adolf) dan 17 (pendukung Deno-Madur) itu usai setelah Pilkada berakhir,” ujar Yoakim saat dimintai tanggapannya, Jumat pagi.
Namun demikian, sambung mantan Ketua GMNI Cabang Manggarai itu, Golkar tetap mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro rakyat.
“Kalau kebijakannya baik tentu kami dukung. Dan, yang pasti bahwa kekritisan kami itu tidak dapat diukur seberapa jauh kami berbicara di media massa,” ujar Yoakim.
Dia menjelaskan, di DPRD sudah mengatur semua tahapan. Golkar sendiri mengkritisi semua kebijakan yang tidak tepat sasaran melalui rapat komisi, karena langsung berdiskusi dengan dinas dan bidang terkait sebagai penanggung jawab teknis.
Dikatakan, tugas DPRD sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang dan peraturan lainnya sudah disuarakan melalui pandangan umum fraksi, pendapat akhir fraksi, dan paripurna.
Yoakim menjelaskan, persoalan yang diangkat saat paripurna lebih kepada hal-hal teknis. Persoalan-persoalan itu buntuh saat rapat di komisi atau pun alat kelengkapan dewan lainnya.
“Bagi anggota DPRD yang mengikuti proses pembahasan, mulai dari fraksi, komisi dan badan anggaran atau badan pembentukan Perda, tentu memberi masukan maupun mengkritisi setiap program atau kegiatan pada saat itu,” jelas Sekretaris DPD Partai Golkar Kabupaten Manggara itu.
“Jadi, saya tidak sepakat kalau suara kami di DPRD itu melempem atau bahkan dikategorikan tidak kritis pada kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat,” tambah Yoakim.
Pihak Yoakim membangun hal tersebut dengan semangat kemitraan antara legislatif dan eksekutif. Jika ada persoalan, pihaknya tetap membangun komunikasi dengan dinas teknis. Kalau komunikasi tersebut tidak digubris, baru akan disampaikan pada saat rapat resmi.
Jadi, dia kembali menegaskan, makna oposisi di DPRD Manggarai bisa dilihat dari penjelasan-penjelasan itu. DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama-bersama dengan eksekutif dalam merencanakan pembangunan di Manggarai.
“Kalau dinilai kami tidak kritis, saya tidak sepakat dan sikap politik kami jelas yakni memperjuangkan kepentingan masyarakat. Bisa dicek dirisalah sidang yang semua proses direkam,” tandasnya.
“Selaku Ketua Fraksi Golkar, saya tidak akan menandatangani pandangan umum fraksi maupun pendapat akhir fraksi kalau materinya tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat,” tutup Yoakim.
Penulis: Adrianus Aba