Oleh: Greg R. Daeng
Direktur Advokasi J-RUK Kupang
Sejak tahun 2014 lalu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ditabiskan sebagai provinsi “juara” kasus perdagangan orang. Korban yang berasal dari Provinsi ini terbilang cukup banyak yakni 7.193 orang. Tecatat 82% dari jumlah tersebut adalah perempuan dan anak-anak, sementara 18% sisanya adalah laki-laki.
Saking banyaknya kasus yang berasal dari bumi cendana, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Hanif Dakhiri dalam kunjungannya ke Atambua beberapa waktu lalu menyatakan NTT sebagai provinsi darurat perdagangan orang.
Fakta ini kemudian menuntun kita pada pertanyaan, apa sesungguhnya faktor yang melatari semua ini?
Akar Masalah
Banyak pihak termasuk juga pemerintah mengatakan bahwa lonjakan korban perdagangan orang yang didominasi oleh pekerja migran itu hanyalah persoalan administratif, sehingga bisa diatasi manakala semua persyaratan kerja dan pemberangkatannya dibenahi.
Tesis ini kemudian melahirkan perangkat regulasi daerah terkait penanganan TKI dan pembentukan instrumen layanan perijinan terpadu sebagai ikutannya.
Lantas, apakah realitas persoalan yang terjadi terselesaikan? Ternyata tidak. Alasannya sederhana, karena sampai dengan saat ini kasus perdagangan orang masih terus ada bahkan cenderung meningkat.
Tercatat 262 korban meninggal sejak tahun 2011 hingga pertengahan 2018 (termasuk Milka Boimau).
Lalu, apa faktor penyebab sesungguhnya? Dalam rilis data Perdagangan Orang (DPO) oleh IRGSC pada tahun 2014-2017 dan catatan advokasi J-RUK Kupang menyebutkan bahwa ada 4 faktor utama yang menjadi pemicu pekerja migran asal NTT terjebak dalam kejahatan perdagangan orang.
Pertama, faktor ekonomi. Tingkat kesenjangan kesejahteraan yang tinggi dan ditopang oleh lapangan kerja yang minim mengakibatkan orang rentan secara ekonomi. Himpitan ini kemudian memaksakan pilihan alternatif lain untuk bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Situasi ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh para trafficker sebagai lahan bisnis yang menguntungkan.
Tawaran kerja ringan dengan upah yang menggiurkan langsung diterima begitu saja oleh penduduk dari pelosok-pelosok daerah kantong pekerja migran. Pilihan itu diambil tanpa memikirkan resiko maut yang sudah menanti di depannya.
Kedua, faktor pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa NTT adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan predikat indeks pendidikan terendah nomor 3 setelah Papua dan Papua Barat.
Tingginya angka putus sekolah yang didominasi pada level SD dan SMP, mengakibatkan penumpukan generasi penganggur di desa. Keterbatasan pengetahuan, susahnya akses transportasi dan komunikasi menempatkan orang pada keadaan “buta” akan perkembangan informasi.
Bayangkan saja daerah seperti Amfoang, Ponu, Wunga, Kodi, Waemburung, Tarimbang, Boba yang rata-rata masih belum tersentuh akses pembangunan tentu akan berbeda kemajuannya dengan daerah yang ada di basis kota.
Kondisi ini kemudian berpengaruh pada ketidaktahuan soal bagaimana syarat dan ketentuan menjadi pekerja yang baik, gampang sekali diiming-imingi upah kerja yang besar dan terjebak dalam jerat hutang “uang sirih pinang”.
Ketiga, faktor sosial budaya. Terdapat adagium yang mengatakan bahwa kemajuan suatu wilayah sangat ditentukan dengan seberapa jauh penerapan atas nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya.
Sebut saja pola kasta sosial dalam kebudayaan Sumba yang menempatkan orang sebagai budak apabila dia tidak datang dari kalangan maramba, lalu gengsi adat (tradisi belis, urusan kematian, pesta nikah, pesta sambut baru) yang masih dipraktekkan hampir di seluruh wilayah NTT.
Kebiasaan royal dalam urusan adat membuat orang sering tidak memikirkan untung rugi terhadap keberlangsungan hidup selanjutnya.
Faktor ini kemudian menyisahkan hutang setelahnya sehingga mau tidak mau orang harus bisa bergerak mencari penghasilan jika tidak ingin dipandang remeh di dalam kampung atau komunitasnya.
Bahkan dalam sebuah testimoni oleh korban mengatakan bahwa mereka lebih baik mati di negeri orang dari pada pulang dan tidak bisa membayar hutang belis (mahar).
Selain itu faktor budaya patriarkhi yang masih kuat menempatkan perempuan (termasuk anak) dalam posisi rentan (vulnerability) untuk dieksploitasi secara fisik dan mental. Pada akhirnya akumulasi dari unsur-unsur kultural diatas memberikan dampak pada perdagangan orang.
Kempat, faktor penegakan hukum. Tingginya kejahatan perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur tak pelak disebabkan oleh masih lemahnya unsur yudikatif dalam bekerja.
Terdapat 3 hal utama yang menjadi pemicu mandeknya penegakan hukum dalam perkara perdagangan orang yakni, faktor substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum.
Rendahnya pemahaman aparat penegak hukum (advokat, polisi, jaksa dan hakim) tentang bentuk dan rupa dari Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) adalah bukti yang masih ada sampai dengan saat ini.
Menyamakan delik khusus (TPPO) dengan delik umum (KUHP) merupakan wujud yang tidak bisa terbantahkan dalam kasus Dolfina Abuk di Kefa. Bahkan dalam satu kesempatan diskusi, ada seorang hakim senior di Pengadilan Negeri Kupang yang mengatakan bahwa definisi kejahatan perdagangan orang adalah kejahatan perdagangan sex.
Selanjutnya secara struktur hukum, belum terbangun satu sistem kerja yang baik yang menunjang penuntasan kejahatan perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur. Gugus Tugas Anti Perdagangan Orang di level pemerintah daerah, satgas trafficking di tingkat POLDA NTT terkesan tak bertaji karena tidak semua yang ada di dalam tim tersebut bekerja secara serius.
Bahkan diduga kuat ada oknum-oknum yang ada dalam struktur tersebut menjadi pelaku perdagangan orang. Kasu Rudy Soik merupakan gambaran jelas keterlibatan oknum tersebut.
Terakhir adalah kultur penegakkan hukum itu sendiri.
Hal ini menyata dalam kasus kaburnya Diana Aman yang “difasilitasi” Negara, belum tertangkapnya 9 geng (trafficker) kasus deportasi 2013, direktur PT. Malindo Mitra Perkasa yang belum juga ditetapkan tersangka dan 2 Kadis Naker di Sumba (Tengah dan Barat) yang tidak jelas penyidikannya hingga hari ini.
Kasus-kasus ini merupakan beberapa potret buram kerja penegak hukum dalam menanganai perkara TPPO.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam satu paparan diskusi tematik lintas sektor diungkapkan bahwa secara kuantitas, sepanjang periode 2014-2015 terdapat 997 kasus TPPO yang ditangani di lingkup Polda NTT, namun yang naik sampai ke tingkat kejaksaan (penuntutan) hanya 4 kasus, sedangkan sisanya “dipetieskan”.
Tanggung jawab siapa?
Kondisi yang kian terpuruk ini harus ada solusi yang tepat untuk pengentasannya. Ulasan berbagai faktor penyebab di atas sudah barang tentu dipikirkan cara penyelesaiannya. Ibarat mengunci arah mata angin, ke-4 penjuru yang menjadi penyebab itu pun harus dikunci bersamaan, karena tidak bisa meninggalkan satu dengan yang lainnya.
Negara dalam hal ini pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung jawab.
Jokowi dalam pernyataan resminya sudah mengatakan bahwa NTT darurat perdagangan orang. Namun di sisi lain perangkat pelaksananya tidak serius mengurai benang kusut perdagangan orang yang kian akut ini.
Pengalaman pahit di era Gubernur Frans Lebu Raya, yang bisu terhadap masalah TPPO setidaknya tidak boleh diulangi lagi oleh gubernur terpilih yang baru, sehingga jargon Nusa Terus Trafficking tidak lagi disematkan pada Provinsi dengan penduduk 5 Juta jiwa tersebut.
*Catatan : tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari anti perdagangan orang sedunia yang diperingati setiap tanggal 30 juli.