Labuan Bajo, Vox NTT– Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) menolak pembangunan tempat istirahat dan tempat makan di dalam zona konservasi Taman Nasional Komodo (TNK).
Pasalnya, di pulau Rinca dan pulau Padar yang masuk dalam kawasan TNK sedang dikelolah oleh PT. Komodo Segara Lestari (KSL) dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism dengan luas area 21,1 Ha.
Dasar Penolakan
Berikut alasan Formapp Mabar menolak pembangunan tersebut:
Pertama, penguasaan (pengelolaan) pihak swasta atas titik-titik strategi dalam kawasan Taman Nasional Komodo tidak membawa manfaat terhadap masyarakat dalam kawasan itu dan untuk masyarakat Manggarai Barat pada umumnya.
Masalah yang muncul justru terjadi privatisasi dan pencaplokan sumber daya publik atas lahan dalam kawasan TNK.
Formapp Mabar mengisahkan pengalaman buruk pernah terjadi tahun 2003 sampai 2012. Saat itu TN Komodo pernah dikelola PT. Putri Naga Komodo (PNK) dengan mengantongi SK Kemenhut bernomor: 195/menhut-ii/2004 tanggal 9 september 2003.
PT PNK diberikan izin untuk pengusahaan pariwisata alam ( IPPA) selama 30 tahun terhitung sejak 2004 sampai dengan 2034. Namun setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini bubar tanpa ada pertangungjawaban publik yang jelas.
Yang muncul kepublik justru konflik antara perusahaan dan departemen keuangan terkait dana konservasi sejumlah Rp.16.000.000.000.
Tidak hanya itu, pada bulan mei 2015 beredar luas berita yang menunjukan adanya pengkelaiman atas pulau Mawan oleh Alam Kul-Kul. Pulau Mawan adalah salah satu pulau yang terletak dalam kawasan TNK.
Kedua, kehadiran pihak swasta dalam pengolaan kawasan TNK, akan menambah beban penderitaan bagi masyarakat dalam kawasan dan para pelaku usaha wisata lokal.
Seperti diketahui, izin usaha yang diberikan kepada pihak swasta adalah izin usaha jasa dan sarana pariwisata alam, dimana pihak swasta tidak hanya akan merealisasikan proyek fisik seperti pengadaan villa dan menyediakan jasa pramu wisata, tetapi juga akses-akses terhadap jalur wisata akan dikontrol secara ketat.
Jika ini yang terjadi, maka ragam usaha masyarakat setempat seperti homestay, penginapan, kapal wisata dan naturalist guide akan tersingkir dengan sendirinya.
Ketiga, realisasi proyek fisik seperti villa, homestay dan tempat publik fisik lainnya dalam kawasan TNK akan membawa dampak buruk pada keberlanjutan kealamiahan kawasan.
Ruang hidup dan penghidupan (habitat) satwa komodo dan hewan lainnya akan terganggu. Siklus dan rantai eksosistem alamiah akan rusak. Suasana alam yang liar akan menjadi bising dan berpolusi (tanah dan udara).
Keempat, dalam tataran kebijakan dan regulasi, terkesan, pemerintah pusat melalui Balai Taman Nasional Komodo dan pemerintah daerah kabupaten Manggarai Barat tidak berpihak pada masyarakat dalam kawasan TNK.
Melalui instrumen hukum yang dibuat, pemerintah meloloskan dan membiarkan pihak swasta untuk tidak hanya mengelola kawasan strategis ini tetapi juga merebut ruang kepemilikan, akses, dan manfaat pembangunan pariwisata.
Sementara di sisi lain, ruang hidup dan penghidupan warga dibatasi dan dimarjinalisir. Dalam jeratan kebijakan konservasi, warga dalam kawasan TNK bukan hanya dilarang untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang ada (mendirikan sekolah, melaut dan membuka akses jalan), tetapi bahkan secara sistematis menyingkirkan warga dalam kawasan itu sendiri.
Kelima, alasan penolakan lain, yang paling teknis dan sederhana adalah menghindari masuknya pihak swasta (investor) untuk mengelola kawasan konservasi Taman Nasional Komodo. Sebab, jika mengizinkan dua perusahaan swasta ini mengelola kawasan TNK bukan tidak mungkin pihak swasta lain akan berbondong-bondong merebut akses dan manfaat pembangunan yang seharusnya dinikmati masyarakat setempat.
Oleh karenanya para pihak menentang keras rencana realisasi proyek usaha jasa dan sarana wisata alam yang dilakukan oleh PT. Segara Komodo Lestari di loh buaya pulau Rinca dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism di pulau Padar dan loh liang pulau Komodo.
Keenam, alasan yang paling dasariah adalah kehadiran taman nasional komodo tujuan konservasi bukan investasi. Dengan demikian, segala apapun bentuk investasi yang terjadi dalam TNK, sudah jelas tidak sesuai dengan tujuan awal kehadiran TNK sebagai area konservasi.
Ketujuh, investasi untuk tujuan pengembangan pariwisata dalam TNK sudah pasti menambah penderitaan dan kesengsaraan saudara-saudara kita yang hidup dalam kawasan itu.
Sudah menjadi suatu yang tidak terbantahkan sejak tahun 80-an dimana tatanan kehidupan masyarakat mengalami kehancuran.
Sesuai pantauan Formapp, Ketika TNK masuk, penduduk dalam kawasan tidak lagi dapat berburuh dan bertani, lantas mereka didorong untuk melaut alias menjadi nelayan.
Selain itu, seakan tidak puas dengan konservasi di wilayah darat, TNK pun memperluas area konservasi ke daerah laut. Hal ini lagi-lagi menambah derita masyarakat dalam kawasan. Laut, arena mereka mencari hidup dirampas atas nama konservasi.
Mereka pun digiring untuk hidup sebagai masyarakat pariwisata. Membuat patung, menjual souvenir dan membuka home stay, menjadi profesi baru mereka. Namun apa daya, seakan nafsu mendulang harta tidak juga kunjung berakhir. Pengembangan obyek wisata alam di pulau rinca persis menutup keran hidup masyarakat dalam kawasan TNK, khususnya di pulau rinca.
Kedelapan, mempertimbangkan efek dari investasi yang ditawarkan oleh PT. Sagara Komodo dalam kawasan TNK, sangat mungkin akan membahayakan keberlanjutan mata pencaharian para pelaku wisata dalam kawasan. Alasannya kira-kira begini. Selain binatang komodo, pesona yang tak tertandingi dari pariwisata di Labuan Bajo adalah keindahan yang terselubung dalam kealamiahan pulau-pulau.
Berkunjung ke Pulau Rinca misalnya, wisatawan merasa kagum akan kegersangan pulau itu. Trekking di pulau padar yang gersang dan panas adalah kenikmatan besar bagi para wisatawan. Lantas, ketika di keperawanan palau-pulau ini mulai dihancurkan satu-persatu, apakah kita yakin wisatawan akan ke Labuan Bajo.
Didukung Anggota DPR RI
Penolakan Formapp Mabar sejalan dengan permintaan salah satu anggota Komisi III DPR RI, Yosep Badioda yang telah mengunjungi dan melihat langsung pembangunan di pulau Rinca, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggaraai Barat, Sabtu (4/8/2018).
Yosep meminta Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) agar menghentikan sementara pembangunan rest area di kawasan taman nasional komodo.
Apalagi sesuai, sebenarnya di dalam kawasan taman nasional tidak dapat membangun tempat usaha atau area bisnis bagi perusahaan swasta.
“Kami minta hentikan dulu kelanjutan proyek rest area tersebut,” ungkapnya.
Yosep badioda menambahkan pembangunan juga tidak dapat dilanjutkan karena ada kelompok masyarakat di Mabar yang menolak pembangunan tempat usaha perusahaan swasta.
Penulis : Sello Jome
Editor: Irvan K