(Mencari Keadilan Yang Hilang)
Rian Odel, Mahasiswa Semester 3 STFK Ledalero
Kasus reklamasi pantai Balauring (pojok cinta) yang dinahkodai oleh bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur, sedang menemukan titik buntu pasca digugat masyarakat adat Dolulolong dengan alasan proyek tersebut dinilai ilegal.
Masyarakat adat Dolulolong mempertanyakan tanggungjawab dan kerja sama antara DPRD dan Pemerintah Lembata karena terbukti anggaran untuk proyek tersebut tidak tercatat resmi dalam APBD 2018.
Hal ini bahkan diakui sendiri oleh Ferdinandus Koda, selaku ketua DPRD Lembata. (http://www.aksiterkini.com/terkait-perkara-masyarakat-adat-dolulolong-versus-eliaser-yentji-sunur-akhmad-bumi-butuh-pengorbanan/, diakses pada 13 Agustus 2018).
Data di atas serentak membuka wawasan publik bahwa kasus reklamasi pantai Balauring adalah satu bentuk “kegagalan” pemerintah dan DPRD dalam mengontrol keuangan negara.
BACA JUGA: Reklamasi “Pojok Cinta” Ditolak Warga Balauring Lembata
Pada dasarnya, kemesraan antara wakil rakyat dan pemerintah dalam membangun daerah tertentu memiliki dasar yang legal sebagaimana tercantum dalam undang-undang yang berlaku di negara ini.
Namun, dari data perkara reklamasi tersebut, kita dapat menganalisis secara rasional bahwa peran pemerintah dan dewan dalam mengelola anggaran negara belum maksimal.
Bagaimana mungkin proyek besar reklamasi yang menurut Bupati Yance Sunur program pemerintah, kalau DPRD sendiri kaget karena tidak ada rancangan yang rapi antara dua lembaga ini?
Oleh karena itu, hemat saya, proyek ini masih ambigu dan perlu ditelusuri tujuannya. Selain itu, publik Lembata tentu mempertanyakan “Mulut” anggota dewan yang sampai saat ini menganggap main gila kasus reklamasi karena DPRD terkesan “tutup mulut” dan menjadi penonton setia.
Untuk siapakah proyek ini nanti? Di manakah suara para Dewan untuk menanggapi alasan yance sunur bahwa proyek tersebut adalah program pemerintah? Di mana peran DPRD sebagai pengontrol gerak eksekutif? Saya menduga DPRD lagi sibuk menyambut Pemilu 2019.
Mencari keadilan
Kita tentu mendukung semua program jitu dari pemerintah untuk membangun tanah Lembata dengan beraneka proyek. Mulai dari infrastruktur jalan, air, listrik hingga pariwisata yang sudah disahkan sebagai leading sector pembangunan oleh Pemda dan para dewan.
Proyek reklamasi yang diklaim Bupati Yance Sunur sebagai realisasi dari aspirasi masyarakat adalah hal yang normal bahkan kita tentu mengapresiasi. Namun demikian, semua yang berkaitan dengan kepentingan umum perlu dikaji secara kritis dan harus melewati tata aturan yang berlaku.
Hal yang perlu dinomorsatukan untuk dikaji adalah keuangan negara karena merupakan tanggungjawab besar Pemda dan Dewan. Jika tujuan yance sunur untuk mewujudkan aspirasi masyarakat bahwa di Balauring ada ancaman abrasi maka hemat saya proyek tersebut kita dukung dengan pertimbangan kritis yaitu bukan dengan reklamasi tetapi membangun tanggul penahan abrasi.
Namun demikian, pemerintah dan Dewan perlu mengklarifikasi sumber keuangan secara akurat sesuai aturan bukan “labrak saja”.
Saya merasa “aneh” kalau Bupati Sunur berniat melanjutkan proyek reklamasi yang masih bermasalah baik itu soal akurasi keuangan maupun keutuhan alam yang merupakan tanggungjawab bersama (http://www.aksiterkini.com/lanjutkan-reklamasi-pantai-balauring-pindahkan-proyek-lohu-yentji-sunur-pertimbangkan-lapor-balik-penggugat/, diakses pada 13 Agustus 2018).
Alasan bahwa pemerintah mewujutkan aspirasi masyarakat harus direalisasikan secara rasional yaitu membangun dengan tidak merusak.
Proyek reklamasi di selat Balauring adalah bentuk eksploitasi alam lautan yang merupakan sumber hidup para nelayan.
Kalau pemerintah khususnya bupati tetap mempertahankan keinginan untuk membangun reklamasi, maka hemat saya mesti ada dialog formal antara Pemda dan dewan untuk melihat dampak lebih lanjut.
Pemerintah perlu berdialog dengan masyarakat setempat baik di Balauring maupun Dolulolong yang memiliki hak ulayat, bukan sebaliknya membangun “perang” melawan rakyat. Sebab di republik ini yang namanya tanah milik pemerintah perlu ada pembebasan lahan dan otomatis harus ada izinan dari pemilik lahan.
Pemerintah tidak memiliki wewenang mutlak untuk membangun sesuatu di atas lahan milik rakyat apalagi sedang disengketakan. Tujuan dari dialog yang saya maksudkan yaitu untuk mencapai kesepakatan yang bermuara pada keadilan sosial. Sebab, semua yang dibangun oleh pemerintah adalah untuk rakyat maka suara rakyat perlu dipertimbangkan.
Reklamasi Untuk Siapa?
Pertanyaan ini cukup vulgar tetapi mesti berani diungkapkan demi suatu keadilan. Sidang di Pengadilan Negeri Lewoleba; hakim memutuskan secara “kontroversial” bahwa gugatan kedua pihak, baik masyarakat Dolulolong maupun Yance Sunur dinyatakan NO (Niet Ontvankelijkeverlaard).
Argumentasi andalan dari tergugat (Bupati Sunur) yang mempertanyakan legal standing hak ulayat Dolulolong tidak dikabulkan sedangkan error in persona (salah orang) dikabulkan.
Error in persona artinya gugatan dari penggugat ( Dolulolong) bahwa proyek tersebut milik pribadi Sunur adalah keliru karena beliau membela diri dengan dalil proyek itu milik pemerintah dan majelis hakim mengabulkannya.
Hemat saya, alasan Bupati Yance Sunur kurang masuk akal karena sebagai bupati seharusnya tidak perlu berkomentar soal hak ulayat apalagi orang Dolu tidak mempersoalkannya sebagai gugatan formal.
Pertama tentang hak ulayat Bupati Sunur mengandaikan dia sudah mengetahui pemilik hak ulayat yang sebenarnya.
Kedua, bahwa proyek tersebut milik pemerintah adalah “palsu” karena tidak tercatat dalam APBD 2018 bahkan tidak pernah dibicarakan oleh Pemda dan Dewan.
Jika ada perubahan anggaran, perlu berlandaskan pada Permendagri Nomor 13 tahun 2006 Pasal 160 ayat (5) yang menyatakan bahwa menambah, mengurangi, menggeser obyek belanja dan anggaran dapat dilakukan melalui perubahan APBD.
Selanjutnya patut dipertanyakan, apakah proyek ini dibangun untuk kebutuhan urgen rakyat atau ada indikasi “bisnis politik”?
Oleh karena itu, perjuangan masyarakat Dolu untuk menggugat reklamasi dan jalan lintas Lohu yang dibangun tanpa izin resmi masyarakat setempat adalah tindakan yang waras. Masyarakat tidak menggugat untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kebaikan umum bahkan demi mengontrol keuangan negara yang tidak mampu dipantau secara serius oleh para wakil rakyat.
Mereka (Baca: Masyarakat) menggugat Bupati Yance karena keuangan untuk proyek ini tidak pernah dibahas dalam sidang Pemda dan Dewan, maka hipotesisnya adalah proyek reklamasi pantai Balauring dengan slogan “pojok cinta” adalah ilegal dan perlu dilawan secara kritis.
Kita berharap agar kedua belah pihak mencari keadilan tanpa membangun permusuhan. Pemerintah semestinya mengayomi dan mengarahkan rakyat bukan menjadi tokoh antagonis di hadapan rakyat.