Larantuka, Vox NTT-Komunitas masyarakat adat di desa Lewotala, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur mempunyai bentuk unik pemberian nama-nama bulan.
Tak seperti dalam kalender masehi yang didasarkan pada pengitaran bulan mengelilingi bumi, penyebutan nama-nama bulan ini mempunyai relasi erat dengan aspek sosiokultural masyarakat di desa Lewotala.
Adapun keunikan penyebutan dan penggolongan nama-nama bulan ini tersimpan konsep pengetahuan masyarakat lokal di desa Lewotala khususnya konsep pengetahuan dalam dunia pertanian. Berikut nama-nama bulan dalam komunitas masyarakat adat di desa Lewotala.
Bulan pertama adalah ‘Wulan Nikat’ atau bulan menanam. Bulan menanam ini ditandai dengan penghantaran benih padi dari lumbung padi desa yang disebut ‘Keba’ menuju ke ladang atau kebun adat ‘Ma Ora’.
Proses penghantaran benih padi ini dimulai dengan upacara atau ritual adat yang diiringi dengan nyanyian yang mengisahkan Asal-usul Dewi Padi ‘Raran Tonu Wujo’.
Dalam bulan ini banyak sekali larangan atau pantangan bagi warga desa Lewotala. Pantangan itu antara lain; tidak boleh membuat keributan (acara pesta, bunyi-bunyian, perkelahian, dll), tidak boleh melaut, dan dilarang membunuh hewan-hewan tertentu seperti Anjing.
Bagi warga yang melanggar larangan ini maka perlu dilakukan seremonial adat sebagai sarana pemulihan. Pantangan dan larangan ini berlaku dalam waktu yang panjang hingga memasuki masa panen.
Bulan yang kedua adalah Wulan Ga Taken. Secara harafiah berarti ‘Bulan Tidak Makan’. Sesuai penyebutannya, bulan ini masyarakat Lewotala dahulu mengalami masa krisis pangan, makan seadanya dengan umbi-umbian dan pangan lokal.
Masa krisis ini dipengaruhi oleh angin kencang atau badai yang menerjang daerah Lewotala. Bulan ini masuk dalam bulan Februari dalam sistem kalender masehi. Pada bulan ini masyarakat petani dilarang untuk menanam. Diyakini kebun yang menanam pada bulan ini akan mengalami gagal panen.
Bulan yang ketiga adalah Wulan Matun secara harafiah berarti ‘Bulan Rumput’. Setelah melewati masa hujan dan badai yang tak kunjung henti bulan ini adalah bulan yang digunakan untuk membersihkan rumput di kebun ataupun ladang.
Bulan ini ditutupi dengan upacara Pau Pusaka atau Pau Kaka Bapa di rumah besar kepala suku. Upacara ini, anak-anak dan orang tua wajib berkumpul di rumah besar sukunya masing-masing.
Upacara ini merupakan ucapan syukur telah melewati badai dan memohon berkat berlimpah untuk hasil panen dari‘Rera Wulan Tanah Ekan’dan leluhur untuk berkat terhadap hidup dan panen.
Kemiri dalam upacara Pau Pusaka ini pada esok harinya dioleskan pada daun padi di setiap kebun warga. Bulan ini dalam kalender masehi sekitar bulan Februari hingga Maret kalender masehi.
Bulan keempat adalah Wulan Nalan secara harafiah berarti ‘Bulan Dosa’. Sesuai namanya pada bulan ini warga dilarang membawa pulang hasil kebun atau ladang ‘Labu dan Jagung Mudah’ ke rumah.
Jika ada warga yang melanggar pantangan ini maka dia harus melakukan ritual pemulihan sebagai silih terhadap kesalahan yang telah dilakukannya dengan memotong seekor kambing dan babi di kebun miliknya. Sekitar bulan April.
Bulan ke lima adalah Wulan Muren. Secara harafiah berarti ‘Bulan Benar’. Pada bulan ini warga sudah diperbolehkan membawa pulang hasil kebun atau ladang secara terbuka.
Warga diwajibkan membuat pondok di kebun masing-masing untuk persiapan menampung hasil panen. Bulan ini ditandai dengan upacara adat di kebun adat. Upacara ini dinamai dengan upacara Kerja. Setelah upacara ini warga diperbolehkan membawa hasilpanen ke rumah masing-masing.
Bulan ke enam yakni Wulan Kolin Wain yang berarti ‘Bulan Panen’. Pada bulan ini warga dapat mulai memanen padi padi di ladangnya masing-masing. Masyarakat desa Lewotala melakukan ritual besar-besaran di kebun adat sebagai bentuk syukur atas hasil panen. Upacara ini disebut upacara Haman Man.
Upacara Haman Man ini sebagai tanda berhentinya bulan Kolin Wain atau bulan panen. Bulan ini kira-kira bulan Mei dalam perhitungan kalender masehi. Orang yang lahir pada bulan ini diyakini hidupnya akan baik.
Bulan ke tujuh disebut Wulan Tanah Maran, secara harifiah berarti ‘Bulan Tanah Kering’. Pada bulan-bulan ini permukaan tanah pecah-pecah karena kekeringan. Bertanda memasuki musim kemarau. Bulan Tanah Maran ini berlangsung selama 2 bulan kalender masehi, kira-kira dari bulan Juni hingga Juli.
Bulan ke delapan adalah Wulan Lera Kakan secara harafiah berarti ‘Bulan Kakak Matahari’. Sesuai namanya, bulan ini adalah puncak dari musim kemarau yang mana matahari terasa sangat panas. Hal ini berlangsung cukup lama, kira-kira memakan waktu 2 hingga 3 bulan kalender masehi. Kira-kira dari bulan Agustus.
Wulan Hiwan.Secara harafiah berarti ‘Bulan Sembilan’ adalah bulan persiapan dan membuka ladang atau kebun baru. Pada bulan ini warga mulai mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk membuka lahan atau ladang baru dan peralatan berburuh.
Wulan Pitonatau ‘Bulan Tujuh’. Bulan ini adalah kelanjutan dari bulan sebelumnya. Setelah alat dan bahan disiapkan, persiapan lahan dimulai dengan memotong pohon dan membersihkan rumput di lahan garapan baru yang disebut ‘Geto Eta’.
Wulan Lema. Secara harafiah berarti ‘Bulan Lima’.Pada bulan ini warga membakar kayu dan rumput di ladang baru. Kegiatan membakar kayu dan rumput di ladang ini disebut ‘Seru Eta’.
Wulan Telon. Secara harafiah berarti ‘Bulan Tiga’. Bulan ini digunakan untuk membersihkan rumput dan puntung-puntung kayu dan membuat terasering di ladang. Tahap terakhir persiapan lahan untuk menanam.
Dari uraian tentang penyebutan nama-nama bulan ini terbaca bahwa bentuk penamaan bulan oleh masyarakat tradisional desa Lewotala mengikuti siklus dunia pertanian.
Hal ini dapat terbaca dari nama-nama bulan antara lain; Wulan Nikat ‘Bulan Menanam’ adalah waktu yang digunakan oleh warga untuk menanam, Wulan Matun ‘Bulan Rumput’ adalah waktu yang digunakan warga untuk membersihkan rumput liar yang menghambat pertumbuhan padi dan jagung di ladang. Wulan Kolin Wain‘BulanPanen’ adalah waktu yang digunakan petani untuk memanen padi. Sedangkan Wulan Hiwan‘Bulan Sembilan’, Wulan Pito‘Bulan Tujuh’, Wulan Lema‘Bulan Lima’, dan Wulan Telo‘Bulan Tiga’ mengambarkan tahap-tahap dan waktu yang dilalui oleh para petani mulai dari masa persiapan peralatan hingga masa panen.
Wulan Tanah Maran dan Wulan Lera Kakan menggambarkan situasi yang dirasakan oleh masyarakat setempat akibat dari musim kemarau.
Pantangan mengenai hal yang tabuh dan yang boleh dilakukan pada Wulan Nalan dan Wulan Muren merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat desa Bantala dalam rangka menjaga keselamatan hidup dan keharmonisan sesama sebagai suatu paguyuban.
Penulis : Sutomo Hurint
Editor: Engky Ola
Sumber :
1. Yohanes Krobi Hurint (Ketua Komunitas Tetua Adat Desa Lewotala)
2. Kamus Koda Kiwan (2008), Karl-Heinz Pampus