Kupang, Vox NTT-Menjadi pekerja seks komersial (PSK) ternyata bukan pilihan pertama bagi mereka yang menjalaninya.
Kebanyakan mereka yang terjebak dalam bisnis esek-esek ini terhimpit lilitan ekonomi.
Tak jarang perlakuan kasar sering mereka terima. Para tamu, tak terkecuali masyarakat, umumnya menganggap mereka manusia terendah di bawah kolong langit bumi.
Namun siapa sangka, di balik pekerjaan murahan ini, tersingkap pengakuan yang cukup menggetarkan hati.
Malam itu, Jumat, 16 Agustus 2018.
Di bawah lampu temaram dan bendera merah putih yang berkibar lembut, ratusan PSK berkumpul di Blok Bukit Indah, lokalisasi Karang Dempel, Kota Kupang.
Mereka berkumpul untuk merenungkan makna Kemerdekaan Indonesia di bawah tema ‘Republik yang Merdeka’.
Acara yang digelar Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Kota Kupang ini, dihadiri oleh beberapa organisasi mitra OPSI, mahasiswa, dan tokoh agama Kota Kupang.
Pada kesempatan itu, seorang PSK bernama Ayu (34) membagikan pengalaman pahitnya selama menjajakan bisnis selangkangan itu.
Dari semua kisah yang diceritakan, salah satu yang paling berkesan ialah perjuangan Ayu menyekolahkan kedua anaknya.
“Saya kerja setiap hari layani tamu, namun semua itu saya lakukan untuk menyekolahkan kedua anak saya,” ungkap Ayu di hadapan tamu yang hadir.
Ayu mengaku penghasilannya semalam rata-rata mencapai Rp 100-200 ribu.
Dari jumlah itu, 10 ribu-20 ribu dia sisihkan untuk makan, sementara sisanya buat tabungan sekolah kedua anaknya. Anak yang pertama sudah masuk kuliah dan yang bungsu masih SMP.
Ayu mengaku bangga dengan anak pertamanya yang kini mulai masuk kuliah.
“Sejak kelas 1 SMP, dia selalu juara satu di kelasnya. Padahal saya selalu tinggalkan dia untuk kerja,” pungkas Ayu sambil meneteskan air mata.
Namun perasaan duka itu sepertinya diobati oleh prestasi sang anak. Bahkan Ayu selalu menangis saat kali menemani anaknya itu menerima raport akhir semester.
“Guru-gurunya bilang kalau anak saya ini kemampuan bagus, sayang kalau nanti sekolahnya putus,” kisah Ayu.
Prestasi sang anak ini yang kemudian terus memotivasi Ayu untuk bekerja, walaupun mengorbankan dirinya.
“Saya kadang melayani tamu yang mabuk-mabukan. Rambut saya dijambak bahkan diludahi. Kadang juga pura-pura mendesah. Saat mata tutup, di situlah saya ingat anak saya” aku Ayu sambil menangis. Sorotan matanya seolah duka yang selama ini disimpan erat-erat, akhirnya tersampaikan.
Saat itu, Ayu mengaku tidak bisa marah dan menolak. Satu tujuan yang ada dibenaknya yaitu mendapatkan nominal rupiah untuk dirinya dan sang buah hati.
Ayu juga bersyukur karena kedua anaknya menerima dia apa adanya.
“Mereka ditinggalin bapaknya sejak lulus SMP. Jadi saya yang cari makan untuk mereka. Untungnya mereka mengerti dan mau menerima saya sebagai PSK” kata Ayu.
Ayu sendiri bercerita, melalui pekerjaan tersebut dia dapat menemukan makna kemerdekaan.
Bagi dia, kemerdekaan sejati ialah ketika orang-orang mampu berkorban untuk orang lain.
“Kemerdekaan tanpa cinta itu sia-sia pak. Walaupun saya berkerja kotor, namun saya tetap bangga karena semua itu saya lakukan untuk anak saya,” ungkap Ayu saat disambangi VoxNtt.com usai kegiatan tersebut.
Pelacur Juga Seorang Ibu
“Walaupun kami pelacur namun kami juga tetap seorang ibu dan perempuan” demikian sambung Adelia yang memandu acara tersebut. Adelia sendiri mengaku sebagai PSK dan germo di lokalisasi tersebut. Saat ini dia dipercayakan untuk memimpin organisasi OPSI Kota Kupang.
Kisah dari Ayu dan teman-teman PSK lainnya, kata Adelia, sebenarnya mau menyampaikan bahwa seorang PSK bekerja bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk keluarga dan anak-anaknya.
“Jadi salah kalau ada yang mengira menjadi PSK untuk senang-senang apalagi foya-foya” lanjutnya.
Adelina menceritakan kalau Ayu dan teman-temannya juga saling membantu menghadapi berbagai masalah.
“Mba Ayu pernah nolong ODAH (Orang dengan AIDS/HIV) selama satu bulan, membiayai kehidupannya hingga dapat bantuan dari rumah sakit. Ini mau menunjukan bahwa pelacur sekalipun yang disebut sampah masyarakat, punya hati kok,” kata Adelia.
Di usia RI yang ke-73, Adelia menyebut masih ada kelompok yang kemerdekaannya terjajah oleh stigma, pelabelan, dan kebijakan yang tidak berpihak pada kaum marjinal.
“Mereka (PSK) tidak begitu saja menjadi pekerja seks, tetapi sebenarnya mereka menjadi korban dari kebijakan yang salah,” tegas Adelia.
Lebih dari itu, Adelia menyebut mereka juga seorang ibu yang dari rahimnya melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas.
“Di sini ada anak-anak PSK yang jadi dokter, insinyur, polisi dan tentara. Anak-anak itu justru lahir dari rahim mereka yang disebut lonte” kata Adelia.
Pendeta Emmy Sahertian, yang juga hadir membawakan renungan di puncak acara tersebut, memberikan motivasi kepada para PSK.
Pendeta Emmy mengatakan makna dari kemerdekaan Indonesia adalah pengorbanan. Para pahlawan yang gugur di medan pertempuran rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan banyak orang. Ini merupakan bukti cinta yang nyata.
“Begitu pula dengan para PSK di tempat ini. Mereka mengorbankan dirinya untuk keluarga dan anak-anak mereka. Mereka rela disiksa, diperlakukan semena-mena karena cinta yang besar,” kata Emmy.
Emmy juga menyampaikan, soal urusan dosa, itu urusan Tuhan. Bahkan dirinya sebagai pendeta tidak bisa menghakimi para PSK sebagai pendosa.
“Saya berkotbah dengan mulut tentang kebenaran. Tetapi teman-teman PSK di sini berkotbah dengan tubuh,” pungkas Emmy.
Bahkan kalau mau jujur, lanjut pendeta yang getol menyuarakan isu kemanusiaan di NTT ini, urusan dosa sebaiknya tanya kepada para PSK.
“Sebab mereka yang lebih banyak tahu siapa saja yang paling berdosa di Kota ini” tegas Emmy
Penulis: Irvan K