Cerpen Edy Soge Ef Er*
/1/
Berulang kali ia menghampiriku. Hinggap di tanganku. Sudah tiga kali ia mengunjungiku di kamar tidur yang kecil; pas untuk aku dan puisi. Entah kabar apa yang ia kabarkan. Aku pikir itu biasa tetapi ia sering datang, jadinya bingung.
Hari Minggu, di kamar makan ia datang lagi. Hinggap tepat di jari telunjuk kananku. Melihat itu teman semeja merasa tidak nyaman. Ada yang mencibir ada yang anggap biasa. Tetapi bukan bagi Tony, pencinta okultisme itu. Ia percaya pada hal-hal gaib dan tidak masuk akal. Ia mengerti banyak tentang itu.
“Saudara, kematian sudah datang. Biru itu alam hidup baru, bumi baru langit baru,” katanya penuh pengertian.
“ Lalat biru, duka apa, duka siapa,” kataku sambil tertawa kecil.
Spontanitas ini menghalau persepsi tentang hal itu. Kami lewatkan konsep itu. Kami makan penuh persaudaraan.
/2/
Besoknya aku ke pantai. Sudah senja. Sendirian menikmati tamasya horizon senja membias lautan. Di atas batu karang kokoh aku duduk sekedar mengecek facebook, apa ada pemberitahuan. Seorang teman memperbaharui statusnya, “ Dukanya lebih dalam dari lautan.”
“Duka apa, duka siapa,” komentarku.
“Sdra, kematian. Tmn kuliahku, Vonya meninggal,” pesan singkat darinya.
Seketika karang itu rubuh-runtuh-hancur-lebur. Laut kering. Semesta luruh. Vonya, kekasihku berpaling pulang………………….
/3/
Keyakinan Tony benar. Kehadiran lalat biru adalah kabar tentang kematian. Sekarang aku menerima kenyataan itu. Tetapi aku tak bisa pulang untuk mengikuti penguburan. Terlalu jauh. Aku hanya bisa berdoa sebab cara terbaik untuk mencintainya adalah mendoakannya. Aku merasa sedih yang amat. Langit mataku mendung sejak kemarin. Tetapi bukan kematiannya, melainkan usaha bunuh diri yang berhasil ia eksekusi. Hal itu dibuatnya karena beban hidup tak mampu dipikulnya. Ia malu menjalani hidup yang diwarnai oleh persoalan. Ia punya masalah dengan dosen. Keduanya saling melanggar kesucian hidup sehingga akhirnya ia bunuh diri. Apakah ia mencintai seorang sehingga harus memeluk maut ? Tidak! Ia kehilangan harapan. Ia takut pada dirinya sendiri. Ternyata musuh terbesar dalam hidup adalah diri sendiri. Usaha ideal dalam hidup adalah mencoba menggembalakan diri secara bertanggung jawab. Tetapi ketakutan itu telah lebih kuat mengemudi dirinya kepada maut. Kekasihku telah pergi dan akan kembali dalam rupa yang tak dapat diindarai.
/4/
Lalat biru sepertinya menjadi sahabat setia. Kunjungannya lebih sering dan pada waktu yang sama. Tiap sore di Jumat yang masam ia datang ke kamarku yang sempit, sunyi dan puitis. Kehadirannya menimbul rasa takut sebab aku sedang berbaring sakit. Sakit…… Aku takut. Bisa-bisa aku ……………… Tidak! Tuhan mencintaiku.
Lalat biru hinggap di diariku. Entah apa artinya, hati penyair kecil bergumam. Pandangan matanya terarah padaku. Aku tunduk tanpa kata. Sebelum kembali ia berpesan, ” Ingat sajakmu sebab aku datang untuk berkabung atas kematian kata. Akhir-akhir ini kamu lalai menuntaskan sajakmu.” Aku bangun mengecek diariku.
Ahh!!! Tiba-tiba aku kaget karena ia masih sempat menikmati jendela kamarku. “Celakalah bila kamu tidak menulis,” katanya sebelum terbang pergi jauh tanpa harus kembali.
Aku menggerakan tubuhku mencoba mencari kebugaran sederhana. Diari aku peluk erat-erat. Aku menuju jendela supaya binar senja membantu aku menelusuri jejak-jejak sajak pada setiap lembar diari. Ternyata ada tiga buah sajak belum rampung. Ketiganya kupersembahkan buat kekasih yang telah menjadi baru kembali. Ia kembali menjadi debu tanah. Tiga sajak itu adalah elegi kematian yang sulit aku refleksikan sampai final. Ketiganya meskipun belum rampung aku sudah menulisnya jauh sebelum kekasihku mengatupkan matanya abadi dan hanya Tuhanlah yang bisa membuat ia terjaga-bangkit dari mati. Ternyata aku sudah menulisnya lebih dulu dan yang terdahulu adalah si montok biru itu. Tanda memang selalu berbicara lebih dulu.
Kamar Temaram, 14 Mater 2017
*Edy Soge Ef Er, mahasiswa tingkat I STFK Ledalero.