Neka pucu wokok, rantang mata olo (Jangan cepat marah, nanti mati cepat)
Eme pucu lewe, lewe kole mose me (Kalau panjang sabar, nanti panjang juga umurmu)
Teti harat mata le harat (Angkat benda tajam, kau juga kan mati karena benda tajam)
Teti kope mata le kope (Angkat parang, kau juga kan mati karena parang)
Editorial, Vox NTT-Lirik lagu ‘Dere Sua Sebu‘ ini kembali terkenang saat kasus dugaan persekusi yang dilakoni penyanyi terkenal Manggarai, Rensi Ambang mencuat ke ruang publik.
Lagu ini merupakan ekspresi ratapan Rensi menanggapi fenomena sosial-kultural Manggarai dan Indonesia pada umumnya di era generasi 2000-an ke atas.
Para ilmuwan demografi menyebut generasi di era ini dengan generasi Z, yakni mereka yang lahir pada pertengahan 1990-an sampai medio 2000-an.
Kebanyakan dari kalangan ini sudah beranjak dewasa, mereka mengakses internet 3-5 jam sehari, mampu memainkan berbagai aplikasi terbaru media sosial dan gandrung dengan trend serta gaya hidup anak muda ‘zaman now’.
Lagu ‘Dere Sua Sebu’ ini diciptakan Rensi sebagai kritikan terhadap perilaku dan kebiasaaan anak muda yang makin jauh dari nilai dan kebajikan.
Lewat lagu ini, Rensi telah memberi sinyal kepada masyarakat bahwa perubahan zaman makin ke sini makin sulit dikendalikan. Dunia tanpa etika dan etiket telah hadir menggerogoti tatanan hidup masyarakat lokal.
Dulu misalnya, komunikasi orang Manggarai terkenal dengan sopan santun. Namun sekarang banyak yang telah berubah, bahkan terdengar kasar terhadap orang yang lebih tua.
O dere o, o dion dami danong
Inggo-inggos wale io
Koe-koe wale oe
Indang lelo uwa hoo ga…
Nggapi-nggepak wale ema
Magi meget wale ende
Indang dion ga, dion dami danong e
Makna lirik ini kira-kira demikian, ‘Zaman dulu telah banyak berubah dengan sekarang, dulu orang menjawab dengan sopan dan lembut (wale io, wale oe). Namun di era sekarang, begitu lantang dan kasar menjawab Ayah (nggapi nggepak wale Ema) dan cepat naik pitam saat menjawab Ibu (Magi meget wale Ende)’.
Pada bagian lain lirik lagu itu, Rensi mengangkat fenomena masalah perbatasan tanah yang kerap memicu perang tanding di Manggarai.
Dulu, masalah seperti ini diselesaikan dengan adat dimana di dalamnya ada pemulihan relasi antara manusia, leluhur dan Tuhan. Namun sekarang angkat parang adalah solusi setiap masalah.
Tak dapat dipungkiri Rensi Ambang adalah musisi lokal yang telah banyak memberi kontribusi sosial lewat lagu-lagu ciptaannya.
Dalam lagu ‘Kador’ misalnya, Rensi ikut prihatin dengan fenomena kenalan remaja yang terjadi di Manggarai.
Dalam lagu ‘Beli Belot’, Rensi mengeritik fenomena strata sosial dalam perkawinan orang Manggarai. Bahwa orang tua kadang lebih melihat materi dari pada rasa cinta yang terlanjur menyatu di antara dua kekasih. Fenomena mahalnya belis di Manggarai merupakan contoh nyata nubuat Rensi.
Begitupula dengan ratusan karya Rensi lainnya, lagu-lagu tersebut berhasil mengembalikan memori publik ke asal budaya dan tradisinya.
Lagu-lagu Rensi merupakan refleksi sosial-kemasyarakatan untuk kembali kepada ibu budaya, tempat kita menimba akhlak.
Musisi yang Tergerus Zaman
Kabar aksi kekerasan Rensi terhadap Eki yang ramai diviralkan di media sosial, memang cukup menyentak perhatian publik.
Orang pun bertanya-tanya, bagaimana bisa penyanyi Manggarai yang satu ini bisa bereaksi demikian?
Apa dia sadar saat melakukan itu? Atau memang terlanjur emosi akibat ulah Eki yang disebut mengganggu istrinya?
Netizen ramai mengecam aksi pelantun lagu ‘Jodoh Ge’ ini. Publik menilai tindakan Rensi berlebihan. Seharusnya dia memberi teladan baik dalam menyelesaikan masalah, bukan main hakim sendiri.
Kecaman yang terus bertubi- tubi datang memaksa Rensi ke ambang sadar. Dia akhirnya minta maaf karena menyebarkan aksi kekerasan itu di media sosial. Permintaan maaf itu disampaikan secara terbuka lewat sebuah video yang juga ditayang di media sosial.
Ada apa dengan Rensy?
Tindakan Rensi tentunya tidak lahir begitu saja. Bisa jadi benar, dia terlanjur marah mengingat istrinya ‘diajak selingkuh’ oleh Eki.
“Saya merasa tersinggung dan merasa dilecehkan, sehingga berujung pada aksi spontan berupa tindakan kekerasan,” ungkap Rensi dalam video klarifikasinya.
Rensi menyebut aksi kekerasan itu merupakan reaksi spontan sebagai manusia yang penuh kelemahan. Dia bukan manusia setengah dewa apalagi malaikat.
Di sisi lain, aksi Rensi ini bisa menjadi penjelasan lanjut dari fenomena sosial zaman kini.
Bahwa saking kuatnya gelombang zaman yang membawa budaya kekerasan dan kebencian, menerpa benteng pertahanan etik dan moral manusia.
Bahkan arus zaman yang maha dahsyat itu kini menerpa para pelantun suara kasih dan pengkotbah nilai kebajikan.
Tak hanya seniman yang tergerus. Tak sedikit para pastor, uskup, ustad, pendeta, ulama, dan biksu yang terjebak dalam skandal moral.
Peristiwa ini juga mau mengajari kita untuk saling belajar dari kesalahan. Eki mengajari kita untuk tidak mengganggu istri orang apalagi mengajaknya berselingkuh. Eki juga mengajari kita bagaimana menjalin hubungan yang baik di media sosial.
Sementara Rensi mengajari kita untuk lebih arif dan bijak dalam menyelesaikan masalah. Bahwa masalah sekecil apapun kalau tidak ditanggap dengan kepala dingin akan memicu masalah yang lebih besar.
Penggalan lirik lagu ‘Dere Sua Sebu’ berikut bisa menjadi jawabannya.
“Neka pucu wokok, rantang mata olo (Jangan cepat marah, nanti mati cepat)
Eme pucu lewe, lewe kole mose me (Kalau panjang sabar, nanti panjang juga umurmu)”
Lirik ini mau menegaskan kembali bahwa laos (pelampiasan hasrat) yang tidak dinyatakan dengan lembak (murah hati) akan menghasilkan laes (kehancuran).
Untuk itu, sebagai manusia biasa, mari kita saling mengingatkan dan belajar dari kesalahan agar tak tergerus arus zaman yang kadang membawa petaka.
Penulis: Irvan K