Oleh : Siprianus Guntur*
Dua pekan terakhir baik di ‘dunta’ (dunia nyata) maupun ‘dumay’ (dunia maya) booming dengan istilah LAOS.
Viralnya kata ini sebagai akibat dari persetruan tak bertepi antara RA vs Eki. RA diduga melakukan persekusi berupa tindakan main hakim sendiri dan menyebarluaskan kekerasan ke sosmed karena telah disakiti oleh Eki yang berniat berselingkuh dengan istrinya.
Kata Laos dalam video bedurasi 11. 18 menit itu sebenarnya diungkapkan anak kandung RA saat menampar pipi si Eki sembari mengungkapkan “SUPAYA LAOS”.
Sejak saat itu, kata Supaya Laos atau laos viral dijagat maya dan kehidupan sehari-hari orang Manggarai baik yang berdomisili di Manggarai maupun diaspora (manca-negara dan domestik).
Saking viralnya kata ini, sudah banyak beredar lagu-lagu berjudul laos. Bahkan mengawali dan mengakhiri status di Facebook atau aplikasi lainnya selalu menyematkan kata LAOS.
Refleksi singkat ini, tidak sedang membahas masalah antara si RA dan Eki itu tetapi analisis kritis dari sudut pandang linguistic dan budaya damai khusunya cara orang Manggarai menghadapi, menyikapi dan menilai suatu peristiwa.
Asal muasal kata LAOS
Menelitik etimologi kata, ternyata kata laos ini tidak bermakna negatif saja tetapi juga positif. Dalam Kamus Manggarai karya Pastor Verheijen, kata laos memiliki 5 arti.
Arti pertama adalah lepas atau melepaskan. Contoh : Ata rona hio ongga winan kudut laos cempengn (Laki-laki itu, memukul istri untuk melepaskan amarahnya). Arti kedua, menghitung dalam hati. Contoh : boto denge le meka rewengn, laos kaut herper-humit mu’un ata tu’e ende hio, (agar tamu tidak mendengar suaranya, mulut perempuan tua itu komat-kamit saja menghitung jumlah tamu di rumahnya).
Ketiga, penuhi, puaskan. Contoh : Te laos ma’itn, inung wae kaut ata wina weki sua ho’o (Untuk melepaskan rasa ngidamnya, perempuan yang lagi hamil itu minum air putih saja). Keempat, melepuh akibat demam. Contoh : bombot taung wekin anak koe hio, laos kolang wekin (Hampir semua badan anak itu melepuh sebagai akibat panas tinggi). Kelima, berikan. Contoh : Laos koe omo one tilun lite timi hitu (kecupankan telinganya pacarmu itu).
Dari arti di atas, dapat disimpulkan bahwa kata LAOS ini tidak hanya memiliki arti negatif tetapi juga postitif. Secara positif kata laos berarti memberikan, saling mencintai, saling memuaskan secara positif. Sedangkan negatifnya, kata laos berarti melampiaskan rasa amarah, rasa kebencian, rasa tidak puas kepada seseorang atau sekelompok orang.
Satire, Sarkasme dan LAOS
Sekarang kita membahas kata satire, Sarkasme dan kaitannya dengan kata laos. Kata satire diadaptasi dari bahasa Latin satira atau satura yang arti sebenarnya campuran makanan (wikipedia.org).
Satire adalah gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme, atau parodi.
Ironi adalah salah satu jenis majas dalam Bahasa Indonesia yang mengungkapkan sindiran halus. Contoh: ‘Kota Ruteng di Kabupaten Manggarai sangatlah indah dengan sampah-sampahnya’.
Sedangkan Sarkasme adalah salah satu jenis majas. Tujuan dari sarkasme dimaksudkan untuk menyindir atau menyinggung seseorang atau sesuatu. Sarkasme dapat berupa penghinaan yang mengekspresikan rasa kesal dan marah dengan menggunakan kata-kata kasar. Majas ini dapat melukai perasaan seseorang dan seseorang yang dilakukan secara sarkas.
LAOS “Satire” orang Manggarai?
Dari bahasan arti serta beberapa contoh di atas, penulis mencoba menarik benang merah dengan sikap orang Manggarai menghadapi sebuah peristiwa dilematis atau kontra-produktif.
Secara idealis, makna kata laos sebagaimana dibahas pastor dalam kamus Manggarai, kata itu tidak hanya mengandung makna negatif tetapi juga positif seperti yang dibahas penulis di atas.
Namun fakta tak terbantahkan, di jagat maya, kata ini justru cendrung bermakna negatif, menyindir dan cendrung sarkas. Coba intip saja status-status netizens dan warganet yang cendrung menghukum tindakan persekusi terhadap seseorang.
Warganet menghukum tindakkan persekusi atau kekerasan terhadap seseorang oleh seorang atau sekelompok orang. Ini merupakan satire. Bentuk hukuman sosial kepada seorang yang main hakim sendiri.
Tujuan Satire melalui viralnya kata LAOS
Apakah orang Manggarai sekedar menggaung-gemakan kata LAOS ini di jagat maya? Jawabannya tidak.
Terbersit kerinduan dan harapan mendalam di balik kata itu. Pertama, bahwa pada dasarnya orang Manggarai respek baik terhadap hukum positif maupun hukum konvensi (yang secara turun-temurun diwaris-teruskan secara lisan dari para leluhur kepada generasi zaman now).
Kebiasaan Budaya lonto leok orang Manggarai berupa musyawarah untuk mufakat sangat dihargai oleh orang Manggarai yang mencintai kedamaian dan persaudaraan bahkan melampuai batas kepentingan personal dan kolektif.
Lewat media tuak, rongko, bahkan manuk (local wine, rokok, ayam) orang Manggarai mendorong adanya hambor (kegiatan mempererat kembali persahabatan yang telah retak).
Orang yang bersalah mengakui kesalahannya dan berupaya untuk tidak melakukan kesalahan yang sama di waktu-waktu mendatang. Biasanya, kalau demikian, pihak yang dirugikan menerimanya dengan senang hati, penuh kekeluargaan dan persaudaraan.
Melalui media adat itu, pihak yang saling bersilang pendapat kembali menjalin persaudaraan dan kekeluargaan. Itulah hebatnya hukum adat.
Tujuan lain di balik satire kata laos adalah supaya pihak berwenang seperti aparat hukum, supaya menindak tegas orang yang melakukan main hakim sendiri atau tindakan kekerasan melampui hukum baik adat maupun hukum positif atau normatif. Juga lewat kata laos yang di-viralkan mendorong orang yang melakukan kekerasan baik psikis maupun fisik untuk menghargai adat budaya yang telah disepakati sejak para leluhur sampai saat ini. Ketika ini dilanggar maka sanksi sosial dilakukan sampai pihak otoritas melakukan fungsi mediasinya. Mempersalahkan yang salah dan membenarkan yang benar.
Maka tidak heran, orang Manggarai dimanapun mereka berada melakukan sanksi sosial, baik berupa tindakan satire lewat kata laos maupun mendorong pihak berwenang untuk menyelesaikan masalah ini seadil-adilnya dan sebenar-benarnya. Semoga.
*Siprianu Guntur, pemerhati sosial-budaya, tinggal di Leda Ruteng