Editorial, Vox NTT– SELAMAT DATANG PARIWISATA DI PROVINSI MAYAT!
Ucapan ini mungkin agak berbeda dari yang biasa disampaikan banyak pihak menyambut Gubernur dan Wakil Gubernur NTT baru, periode 2018-2024.
Secara resmi gubernur dan wakil gubernur terpilih, Victor Laiskodat-Josef Nai Soi telah dilantik Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (05/09/2018).
Ucapan ini sesungguhnya menggambarkan masalah yang tengah dihadapi NTT sekaligus gambaran selama lima tahun yang akan datang.
Pada masa yang akan datang, gambaran itu sudah terpantul sejak awal mula dimulainya masa kampanye. Paket Victory-Joss yang keluar sebagai pemenang begitu lantang mengusung konsep Pariwisata sebagai leading sector pembangunan.
Victor, Josep dan semua barisan pendukungnya tentunya yakin bahwa masa depan NTT ada di pariwisata. Karena keyakinan itu pula, Victory-Joss yang diusung Partai Nasdem, Golkar, dan Hanura unggul dengan 480.075 suara atau 35,41%.
Namun mimpi surga pariwisata tersebut perlu dibangunkan dengan kondisi yang sekarang sedang terjadi. Bagaimana pun, NTT masa depan tidak terlepas dari kondisi yang sedang kita alami.
Realitasnya, mantan Gubernur NTT, Frans Lebu Raya telah purna tugas dan pergi meninggalkan utang persoalan kemiskinan, pengangguran, korupsi, dan rendahnya mutu pendidikan. Tentu ada kemajuan, namun tidak signifikan terasa selama 10 tahun Lebu Raya memimpin.
Akibat kemiskinan yang terus melilit itu, banyak orang NTT yang mencari rejeki di luar negeri. Ada yang pulang membawa berkat, namun tak sedikit pula yang kembali dalam peti jenazah. NTT selama kepemimpinan Lebu Raya lekat dengan stigma provinsi mayat. Baca: Peta Kasus Kematian TKI per Kabupaten-Kota di NTT.
Pada tahun 2018 saja, meski belum tutup tahun sudah 73 kiriman mayat yang datang dari negeri jiran. Itu belum terhitung yang tidak terdata oleh BP3TKI dan LSM pegiat kemanusiaan di NTT. Masalahnya cuma satu yakni kemiskinan.
Namun, apakah benar kita ini miskin? Begitulah pertanyaan bersambung dari secuil narasi ini. Apakah orang NTT memang dilahirkan untuk hidup miskin?
Mengurai pertanyaan ini tentu butuh sebuah riset mendalam. Namun secara kasat mata, apa yang disampaikan Victor Laiskodat pada 15 September 2017 lalu dalam Focus Group Discussion (FGD) Pariwisata NTT di Hotel On The Rock, Kota Kupang, ada benarnya juga.
“Orang NTT punya semua. Kita kaya, tidak miskin. Budaya kita lebih hebat dari Bali. Bahasa, tarian, tenun ikat. Kita sangat luar biasa tapi kita belum mampu mengeksploitasinya dengan benar. Kita belum bisa mendesign pariwisata sebagai sebuah industri termasuk perilaku kita untuk menjadi pariwisata sebagai lokomotif ekonomi di NTT,” begitu kata Victor waktu itu seperti dilansir dari Victorynews.id.
Pernyataan Victor Laiskodat kala itu memang memantik debat, apalagi musim politik tengah bersemi.
Victor secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa kita orang NTT sebenarnya kaya tapi dimiskinkan oleh kebijakan yang tidak pro terhadap orang miskin.
Singkat kata, NTT salah urus sehingga tetap miskin bahkan terus miskin. Pariwisata pun diyakini sebagai lokomotif utama pembangunan ekonomi NTT.
Bagai gayung bersambut, konsep ini seperti sejalan dengan trend pariwisata NTT yang terus menggeliat.
Secara data, tingkat kunjungan wisatawan ke daerah ini memang meningkat meski masih diperdebatkan akurasinya. Pasalnya angka yang dikeluarkan dinas Pariwisata NTT di masa Gubernur Lebu Raya cukup signifikan berbeda dengan data BPS NTT.
Dinas Pariwisata NTT menyebut hingga tahun 2015 jumlah wisatawan domestik mencapai 441.000 orang, angka itu pun naik secara signifikan menjadi 832.000 di tahun 2016.
Hal yang sama juga pada wisatawan asing. Pada tahun 2015 berkisar 60.000 orang, naik menjadi 140.000 orang pada tahun 2016 (Kompas.com, 21/02/2017).
Namun angka ini cukup berbeda dengan data yang disajikan BPS Provinsi NTT tahun 2016.
BPS mencatat jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke NTT dari tahun 2006-2016 hanya sebesar 496.081 orang.
Terlepas dari polemik angka-angka tersebut, tugas besar Victor dan Josef ialah bagaimana membawa rakyat NTT keluar dari kemiskinan dengan pariwisata.
Dari semua konsep yang terungkap, yang paling menonjol ialah penekanan Gubernur Victor pada perilaku pariwisata masyarakat NTT.
Victor (Dalam edisi online Harian Umum Victory News 16 September 2017) menjelaskan, salah satu penghambat kemajuan pariwisata di NTT yakni perilaku pemerintah dan masyarakat yang belum sadar wisata.
Masyarakat, kata Victor, harus dilatih menjaga kebersihan dan pengetahuan tentang standarisasi produk makanan misalnya daging di hotel-hotel untuk mendukung pariwisata. Bahkan senyum pun harus dilatih agar sesuai dengan standar pariwisata.
Konsep pariwisata memang demikian. Namun apakah itu bisa menyejahterakan 85% penduduk miskin NTT yang bekerja sebagai petani? Sebagai petani, mereka dibesarkan sejak lahir dalam kebudayaan agraris.
Kalau memang konsep ini bisa berjalan mulus, maka harus didahului dengan revolusi kebudayaan (dari agraris ke pariwisata).
Wacana revolusi kebudayaan ini bisa jadi mirip dengan revolusi mental ala Jokowi. Namun jika tidak diprogramkan dalam kebijakan yang terukur serta sistematis, hanya akan menghasilkan ‘balon-balon sabun yang terbang ke udara’.
Selain itu, pariwisata tidak akan berhasil jika tidak dibarengi dengan pemenuhan infrastruktur sosial dasar rakyat seperti jalan, irigasi, air, listrik, sarana pendidikan, perumahaan yang layak, sarana kesehatan dan lain-lain.
Bahayanya jika konsep pariwisata yang diusung itu langsung disemprot dengan investasi berbasis kapital finansial tanpa ada pemantapan investasi sosial dasar kemasyarakatan.
Dampaknya, pembangunan sarana pariwisata boleh mencolok, kunjungan terus meningkat, tetapi masyarakatnya tidak mampu memanfaatkan peluang. Bahkan mungkin seperti yang terjadi sekarang ini; sayur, buah, dan kebutuhan mendasar lainnya malah didatangkan dari luar NTT.
Masyarakat kemudian jadi penonton, lalu terasing di negerinya sendiri. Surga pariwisata itu pun hanya mampu dinikmati kaum berduit.
Harapanya konsep pariwisata yang akan dijalankan tidak hanya berfokus pada promosi dan pembangunan sarana berbasis kapital finansial, tetapi juga pendidikan dan pemberdayaan masyarakat terutama di lingkar destinasi wisata.
Kita optimis di bawah kepemimpinan Viktor dan Josef NTT sejahtera. Pengalaman Gubernur Viktor di dunia bisnis bisa menjadi kekuatan pendukung untuk membawa NTT keluar dari terowongan gelap kemiskinan. Tapi ingat, jangan sampai salah urus lagi Pak!
Sebagai rakyat, kami berharap suatu saat ucapan di awal tulisan ini berubah menjadi ‘Selamat dan Sukses Provinsi Pariwisata, Selama Tinggal Provinsi Mayat’. Semoga.
Penulis: Irvan K