Ruteng, Vox NTT- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan JPIC OFM Indonesia meminta Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat agar tak sebatas melakukan moratorium izin pertambangan, tetap harus diikuti dengan penegakan hukum.
Pengkampaye Jatam Melky Nahar dan Direktur JPIC OFM Indonesia Alsis Goa dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis (06/09/2018), mengatakan, permintaan tersebut disampaikan menyusul adanya janji Viktor Bungtilu Laiskodat.
Pasalnya, setelah pelantikan sebagai Gubernur NTT di Istana Negara pada Rabu, 5 September kemarin, Laiskodat mengungkapkan rencananya untuk melakukan moratorium tambang.
Alsis dan Melky menilai, rencana Laiskodat untuk melakukan moratorium tambang di seluruh wilayah di Provinsi NTT merupakan langkah penting yang harus diapresiasi dan didukung.
Rencana untuk melakukan moratorium merupakan komitmen pasangan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yosef A. Nae Soi.
Alsis dan Melky menyebut, sejak awal pada kampaye Pilgub NTT Laiskodat dan Nae Soi telah menyatakan diri sebagai pasangan yang dengan tegas menolak pertambangan.
Namun demikian, menurut Jatam dan JPIC OFM Indonesia, rencana dan langkah Laiskodat untuk melakukan moratorium seluruh izin pertambangan mestinya harus diikuti langkah penegakan hukum.
Langkah ini penting dilakukan mengingat sejarah pertambangan mangan dan emas di NTT adalah sejarah kelam tentang perampasan, pengrusakan, penghancuran ekologi dan kemanusiaan.
Alsis dan Melky menegaskan, hampir seluruh aktivitas tambang di NTT selama ini banyak merampas tanah-tanah masyarakat adat dan merusak hutan.
Bahkan, kehadiran pertambangan telah memicu konflik dan disharmonis hidup bersama, serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia.
Alsis dan Melky kembali menilai bahwa langkah hukum ini juga penting diambil mengingat beragamnya masalah di sekitar penerbitan IUP seperti standar prosedural perizinan, pengawasan, amdal, reklamasi, dan lain-lain.
Bahkan lebih dari itu, ada pula indikasi korupsi dan kolusi yang melibatkan para pejabat publik, terutama korupsi di sektor sumber daya alam.
Moratorium ini juga tidak boleh hanya berdasarkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah dilakukan perusahaan atau pemerintah yang menerbitkan izin.
Tetapi lebih dari itu mesti berdasarkan kajian yang komprehensif. Itu terutama soal mayoritas masyarakat NTT yang bekerja di sektor pertanian, peternakan, serta perikanan dan kelautan.
Selain itu, lanjut Alsis dan Melky, pemulihan kondisi sosial-ekologis akibat dampak buruk pertambangan juga harus segera dipulihkan.
Hal ini dilakukan agar sektor-sektor yang menjamin kehidupan dan keberlangsungan masyarakat NTT, terus menerus menjadi perhatian dan leading sektor dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat.
Alsis dan Melky meminta moratorium tidak boleh berbasis pada waktu, tapi secara permanen, hingga ada pencabutan izin-izin tambang.
Sehingga NTT adalah provinsi yang benar- benar bebas dari kungkungan dan cengkraman aktivitas ekstratif yang merampas dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia dan ruang kehidupannya.
Penulis: Ardy Abba