Oleh Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana; Peneliti Institut Sophia Kupang
Rabu (05/09/2018), Presiden Jokowi melantik Gubernur NTT terpilih, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Josef Nai Soi (JNS).
VBL dan JNS dilantik bersama delapan kepala daerah tingkat satu lainnya yakni Sutarmidji dan Ria Norsan (Kalimantan Barat), Ali Mazi-Lukman Abunawas (Sulawesi Tenggara), Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman (Sulawesi Selatan), Lukas Enembe dan Klemen Tinal (Papua), Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (Jawa Barat), Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Sumatera Utara), Ganjar Pranowo-Taj Yasin Maimoen (Jawa Tengah), Wayan Koster-Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Bali) (nasional.kompas.com, 5/8).
Seremoni pelantikan itu memang menjadi kewajiban imperatif. Selain menegaskan legalitas, pelantikan tersebut ingin mendeklarasikan tahap akhir dari dari sebuah proses politik.
Kesembilan kepala daerah yang dipilih hari ini merupakan mereka yang dipercaya oleh sebagian besar rakyat dalam kontestasi pemilukada 28 Juni lalu.
Deklarasi legalitas mengandaikan bahwa pemimpin yang bersangkutan sah dan sungguh mendapatkan legitimasi formal dan sosial sekaligus. Merujuk hal tersebut, VBL dan JNS tidak lagi menjadi pemimpin yang diusung Partai Nasdem dan Golkar. Mereka berdua adalah pemimpin NTT karena mendapat mandat dari seluruh rakyat NTT. Sebagai wakil rakyat NTT berikut masyarakat di delapan daerah lainnya, mereka dilantik oleh Presiden Jokowi hari ini.
Bagi NTT, VBL dan JNS adalah pemimpin baru. Mereka lahir dari sebuah proses politik yang panjang. Ditempa dalam sebuah kontestasi yang sangat demokratis. Faktanya, kemenangan VBL dan JNS dalam pemilukada kemarin jauh dari gugatan yuridis dari tiga paket lainnya.
Jika mereka berdua benar dan memang sungguh baru, tidak demikian dengan masalah yang dihadapi oleh dua pemimpin ini ke depan. Hemat saya, mereka berdua masih saja berhadapan dengan masalah lama daerah ini. Masalah yang mungkin sering dan terus disebut dan kerap dialami oleh rakyat.
Masalah yang setiap pemimpin NTT akan disebut ‘belum selesai’ dan sering dicap ‘tidak tuntas’ oleh rakyatnya. Sebab, meski pergantian pemimpin NTT silih berganti, kadar kualitas masalah tetap stabil dan hanya berbeda jumlah. Masalahnya bertambah setiap saat.
Litani masalah fisik dan sosial NTT selalu saja memenuhi kertas dan teks jika terus ditulis. Kemiskinan, buta huruf, disparitas pembanguna desa dan kota, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, penjualan manusia, buruknya infrastruktur jalan dan jembatan dan lain-lain. Yang disebut ini hanyalah sebagian kecil ribuan masalah fisik dan sosial di NTT.
Pelantikan Gubernur NTT, VBL dan JNS, hari ini sedikit membersit ruang optimisme dan menembus harapan baru masyarakat NTT. Harapan itu ialah tidak terjadi lagi litani omong kosong, munafik, dan ragam hipokriditas lainnya.
Masyarakat NTT sudah lama menjadi korban penipuan oleh banyak pemimpin sebelumnya. Janji muluk saat kampanye segera diubah menjadi tindakan busuk saat setelah kekuasaan itu digenggam. Gejala seperti ini mesti diingat dan wajib dicatat oleh Gubernur VBL dan Wagub JNS.
Antihiperrealitas
Harus diakui, praktik dan realitas politik yang ditampilkan oleh banyak pemimpin NTT selama ini bisa dibaca dari dua sisi sekaligus. Kehampaan politik di ruang hiperrealitas dan ‘seni menipu’ di kanal hipokriditas.
Dalam Simulations, Baudrillard (1983) mengatakan bahwa dunia sosial modern dapat dipahami dengan konsep simulasi. Simulasi adalah gejala yang menjadikan realitas maya-dunia media audiovisual sama seperti realitas sosial. Ali-ali menjadi sama seperti realitas sosial, realitas yang dikonstruksi media berujung pada melampau realitas sosial itu.
Melampau realitas sosial sama dengan tidak ada hubungannya lagi dengan dunia sosial itu sendiri. Itulah realitas politik. Realitas yang baru itu menjadi terlampau aneh dan lain. Dia menjadi sesuatu yang asing dan sungguh eksentrik. Itulah politik panggung.
Berkaitan dengan realitas aneh seperti ditulis Baudrillard di atas, dalam Political Hypocrisy: the Mask of Power, From Hobbes to Orwell And Beyond, Runciman (2008) mengatakan bahwa salah satu gejala yang tampak jelas di ruang liberalisasi politik sekarang ini adalah politik hipokrit.
Di sana, para politisi akan menggunakan topeng politik untuk menyembunyikan wajah asli. Topeng politik sama dengan panggung depan sebagaimana dijelaskan Goffman.
Hipokriditas politik ditunjukan dalam beberapa bentuk misalnya, janji muluk saat kampanye dan bualan politik; gap antara kata dan tindak; antara yang diucapkan sekarang dengan yang akan dilakukan nanti, dan topeng dengan manusia asli di belakang topeng.
Realitas keanehan di ruang politik lokal kental dipraktikkan oleh banyak pemimpin NTT selama ini. Nyaris semua mereka berjanji saat kampanye. Pertama, semua lebih menunjukan dirinya sendiri daripada menunjukan jalan, jembatan, air minum, rumah, gedung sekolah, dan fasilitas kesehatan yang rusak. Efek narsistiknya lebih kental ketimbang menjelaskan fakta real yang pernah dikerjakan. Lebih mudah memrosikan diri ketimbang mempublikasikan rekam jejak positif dan kejujuran akan kekurangan di masyarakat. Naïf memang.
Kedua, di ranah hipokriditas, selama ini, janji muluk sering disampaikan para calon. Sederhananya, semua calon menjadi seperti Malaikat dari Surga yang bisa menolong dan menyelamatkan rakyat NTT. Manusiawi memang. Sebab, tidak ada orang yang membawa kepalanya ke tempat pembantaian. Di sana, wajah setan dan lucifer neraka akan disembunyikan di balik topeng politik seperti diterangkan Runciman di atas.
Penjelasan di atas ingin memberitahukan bahwa rakyat NTT tidak ingin lagi dibohongi oleh pemimpin baru mereka. Mereka menginginkan sebuah pemimpin otentik yang sungguh menjadi dan merepresentasi rakyat NTT. Setelah sah menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, VBL dan JNS, sedapat mungkin membumikan prinsip antihiperealitas dan antihipokriditas.
Melampaui Pemimpi
Semua yang belajar dan membaca realitas politik Indonesia dan NTT akan segera tahu bahwa elit memang sering mengumbar janji sekedar mendapatkan simpati. Banyak elit dan calon pemimpin yang hanya bermimpi tanpa mau menjadi pemimpin.
Padahal esensi dua hal itu sangat berbeda. Bahwa mimpi itu penting bagi setiap orang sulit ditolak. Apalagi bagi seorang pemimpin. Teman saya pernah berkata, mimpi itu gratis. Maka, bermimpilah. Bermimpin jelas berbeda dengan menghayal.
Jika menghayal lebih ke hal-hal profan yang tidak berisi, mimpi berdekatan dengan imajinasi. Dia lebih berisi dan karena itu memiliki nilai positif. Masalahnya, jika seorang pemimpin berhenti di mimpi dan tidak mengejahwantahkan mimpi itu di masyarakat maka, meminjam terminologi kaum Marixian, menjadi utopia akhirnya. Menghayal adalah ujung akhirnya. Mubazir dan tak berguna.
Dalam konteks demikian, kita wajib mendukung VBL dan JNS dengan cara kita agar terus sadar dan tidak tenggelam dalam mimpi abadi. Masyarakat NTT membutuhkan pemimpin yang melampau pemimpi. Pemimpin yang mau bekerja dan tidak menang dikonsep dan gemar bicara banyak.
Dalam kerangka itu, tugas utama pemimpin NTT ialah menggerakan semua potensi dan aset serta sumber daya yang ada di sini. menggerakan aset dan potensi sama dengan menggunakan semuanya itu untuk kepentingan masyarakat NTT.
Kita tidak miskin. NTT sangat kaya. Yang dibutuhkan saat ini ialah kemampuan seorang gubernur dan wakil gubernur mengatur dan mengontrol berbagai sumber daya agar dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat NTT.
Jika itu tidak dilakukan VBL dan JNS akan jatuh dalam kubangan hiperrealitas dan hipokriditas. Rakyat NTT akan menjadi hakim yang adil untuk menilai dan menentukan nasib mereka berdua lima tahun mendatang.
Membongkar berbagai masalah lama itulah yang menjadi pekerjaan rumah yang mahaberat pemimpin baru. Kekuatan, keberanian, kerendahan hati dan antidiskriminasi menjadi prasyarat agar beragam masalah tersebut bisa diatasi.
Selamat Datang Gubernur VBL dan Wagub JNS. Selamat mengurai benang kusut hiperrealitas dan hipokriditas yang menghantui rakyat NTT selama ini.