Maumere, Vox NTT- Seksi Sastrawi Senat Mahasiswa STFK Ledalero mengadakan bincang-bincang sastra bersama Dr. Ignas Kleden. Kegiatan itu berlangsung di Pelataran Pos Satpam STFK Ledalero, Sabtu (15/09/2018).
Acara bincang-bincang sastra ini berlangsung di bawah tema “Identitas dalam Sastra NTT.”
Turut serta menghadiri rangkaian acara bincang-bincang satra NTT ini adalah sejumlah peminat sastra yang berasal dari kalangan mahasiswa STFK Ledalero dan juga sejumlah anggota komunitas KAHE, sebuah komunitas sastra yang berbasis di Maumere.
Ardi Suhardi, Ketua Seksi Sastrawi SEMA STFK Ledalero menguraikan sejumlah poin penting yang mendorong diadakannya kegiatan ini.
Menurut Suhardi, keaktifan untuk menggali dan menafsir tema lokalitas masih rendah di kalangan masyarakat NTT dewasa ini.
Hal ini kemudian berlanjut pada maraknya berbagai penyimpangan sosial, politik, kemanusiaan, keagamaan, moral, dan pengetahuan.
Kata dia, persoalan-persoalan itu terjadi karena tidak ada kesungguhan kolektif untuk membaca dan menarik relevansi secara kontekstual terhadap nilai-nilai literatur lokal yang terdapat di NTT.
Untuk itu, berbagai upaya mesti dilakukan untuk menempatkan kembali literatur lokal sebagai pegangan hidup terutama dalam konteks NTT.
Selanjutnya kegiatan bincang-bincang sastra ini lalu dibagi menjadi dua bagian penting yang dipandu langsung oleh Yohan Lejab, Mahasiswa Semester VII STFK Ledalero.
Mengawali pembicaraannya, Dr. Ignas Kleden memberikan klarifikasi mengenai identitas dalam sastra NTT.
Menurutnya, identitas yang memberikan kekhasan pada sebuah karya sastra itu terletak pada medium penyampaian dari sastra itu sendiri yaitu bahasa.
Dengan demikian, ketika berbicara mengenai sastra NTT, pandangan mestinya tertuju kepada keberadaan sastra lisan NTT yang menggunakan bahasa-bahasa daerah dari NTT atau karya sastra yang menggunakan bahasa-bahasa daerah dari NTT.
“Selama ini yang ada dalam perkembangan sastra NTT adalah karya-karya dari para sastrawan NTT yang menggunakan medium bahasa Indonesia untuk mengungkapkan realitas yang ada di NTT. Dengan demikian sesungguhnya sastra NTT itu tidak ada. Yang ada dan berkembang sekarang justru adalah sastra Indonesia yang ada di NTT,” tegas Dr. Ignas Kleden.
Dia juga menyentil tentang perwujudan identitas yang mestinya disumbangkan oleh para sastrawan di NTT dalam kancah sastra Indonesia.
Menurut dia, para sastrawan NTT mestinya mencari tematik dan bentuk baru demi memperkaya identitas sastra Indonesia.
Sumbangan berupa bentuk baru itu dapat dilakukan dengan mencari bentuk pada sastra tradisional yang menggunakan bahasa daerah dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, tematik yang baru itu juga dapat ditemukan melalui realitas NTT dan diungkapkan dalam karya sastra yang menggunakan bahasa Indonesia.
Pada bagian kedua yaitu sesi tanya jawab, sejumlah pertanyaan juga sempat diajukan oleh para peserta bincang-bincang sastra kepada Dr. Ignas Kleden.
Edi Soge mempertanyakan mengenai standar atau ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan sebuah karya.
Menurut Ignas Kleden, sebuah karya kesasteraan sangat ditentukan dari permainan diksi dan rumusan imajinasinya.
Dalam hal ini sastra mempunyai dunianya sendiri dan tidak harus menjadi corong dalam mengatasi persoalan yang ada dalam masyarakat.
Ignas mengatakan, upaya memperjuangkan kenyataan yang ideal dalam tatanan masyarakat bisa dilakukan melalui medium-medium lain. Itu seperti aktivitas kampanye dan lain sebagainya.
Sebuah karya bisa saja tampil vulgar tetapi kalau tidak memenuhi kriteria-kriteria yang ada, ia menjadi karya yang buruk sekali.
Ignas juga menambahkan bahwa sastra menjadi sangat penting karena bisa mengungkapkan keprihatinan dalam kehidupan bersama.
Baginya, hanya sastra yang dapat memeroduksi makna dari teks sastra itu sendiri dan bukan dari referensi lain.
Hal inilah yang membedakan sastra dari ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu lain menggunakan bahasa tetapi referensinya ada di luar bahasa.
Selain mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan sastra, acara bincang-bincang sastra ini juga dimeriahkan dengan alunan musik dari grup musik SEMA STFK Ledalero, Komunitas KAHE Maumere dan berbagai pertunjukkan sastra seperti musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan pementasan monolog.
Acara bincang-bincang sastra ini lalu ditutup dengan pernyataan inspiratif dari Dr. Ignas Kleden bahwa sastra itu menjadi penting karena melahirkan solidaritas.(PHY)
KR: Patris Haryono
Editor: Hengky Ola