Kupang, Vox NTT- Fraksi Kesatuan dan Persatuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (FKP DPRD) NTT memberikan catatan kritis terkait wacana kebijakan moratorium tambang yang disampaikan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dalam pidato politiknya pada tanggal 10 September 2018 lalu.
Sikap FKP itu tertuang dalam point keempat pandangan umumnya terhadap nota keuangan atas rancangan perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi NTT tahun anggara 2018.
Pandangan fraksi itu dibacakan oleh juru bicara FKP, Josep Leonardy Ahas di ruang rapat DPRD NTT, Rabu (19/9/2018)
Ahas mengatakan, wacana itu belum dijustifikasi dalam bentuk intruksi Gubernur atau keputusan Gubernur tentang Moratorium Tambang sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dengan segala akibat hukum yang ditimbulkannya.
“Fraksi keadilan dan persatuan menangkap semangat perubahan yang mau diwujudkan melalui wacana kebijakan moratorium tambang, sebab secara langsung disinyalir tambang tidak memberikan kesejahtraan kepada rakyat dan menyisakan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya,” kata Ahas.
Dikatakan, wacana moratorium tambang di NTT yang disampaikan oleh Gubernur Viktor merupakan sebuah tawaran kebijakan yang radikal dan mengejutkan banyak pihak.
“Terutama kelompok dunia usaha dan masyarakat lingkar tambang. Masyarakat lagi menunngu seperti wujud konkret kebijakan moratorium tambang akan diterapkan,” ujar Ahas.
FKP, kata dia, pada prinsipnya tidak dalam posisi mendukung atau menolak tambang. Tetapi mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai salah satu wewenang dan tugas DPRD NTT.
Hal itu sebagaimana dimaksud dalam pasal 317 ayat (1) huruf j UU nomor 17 tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Artinya, kebijakan moratorium tambang, selain dibentuk minimal berdasarkan pertimbangan untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat NTT lima tahun ke depan.
Kata dia, manfaat tambang disinyalir secara langsung tidak berdampak bagi peningkatan kesejahtraan masyarakat NTT, bahkan menyisakan persoalan ekologis yang ditimbulkannya.
“Tetapi yang terutama bahwa kebijakan moratorium tambang memang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena ada kewenangan, dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku dan materi muatan keputusan yang dibuat memang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada,” jelas Ahas.
“Hal ini penting untuk mewujudkan terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan (rechtmatigheid van bestuur) dan validitas perbuatan hukum pemerintah dapat dipertanggungjawabkan, selain memberikan kepastian hukum. Pertanyaan itinya apakah moratorium tambang merupakan kewenangan pemerintah provinsi,”sambung dia.
Dia berharap, semoga konsep moratorium tambang yang bersifat relatif itu, bentuk pola tambang kecil melalui usaha pertambangan rakyat dapat dijadikan solusi bagi persolan tambang di NTT.
Itu juga bisa sebagai upaya mewujudkan kesejahtraan masyarakat untuk selanjutnya dielaborasi oleh gubernur dan wakil gubernur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sesuai ketentuan pasal 263 ayat (1) huruf b dan ayat (3) UU 23/2004 tentang pemerintah daerah.
“Kalau moratorium tambang dalam konteks ini, fraksi keadilan dan persatuan mendukung penuh kebijakan moratorium tambang sesuai janji politik gubernur dan wakil gubernur NTT pada pidato tanggal 10 September 2018 lalu,”tutup Ahas
Penulis: Tarsi Salmon
Editor : Ardy Abba