Kupang, Vox NTT- Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (AMPUH) telah melakukan rapat terbatas bersama Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat melalui Sekretaris daerah (Sekda) Ben Polomaing pada 17 September 2018 lalu.
Pertemuan itu membahas kasus illegal logging di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Kepala Divisi Advokasi WALHI NTT, Umbu Tamu Ridi dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (21/9/2018), mengakau, dalam pertemuan itu disepakati untuk membekukan seluruh izin edar kayu sonokeling dari 7 perusahan yang beroperasi di TTU, Belu, dan TTS.
Ketujuh perusahaan itu diantaranya, CV Inrichi, UD Bersaudara, CV Bumi Membangun, UD Sahabat Setia, CV Timur Bumi Makmur, CV Fortuna 17, dan UD Multazam.
Baca Juga: Gubernur NTT Bekukan Izin Edar Kayu Sonokeling
Sekretaris Daerah NTT, Ben Polomaing waktu itu, kata Umbu, memerintahkan Dinas Kehutanan dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) untuk mencabut izin edar kayu sonokeling yang beroperasi di tiga kabupaten tersebut.
Namun pada tanggaal 21 September 2018, sekelompok masyarakat, yakni, Desa Nonot batan dan Motadik kembali melapor hal serupa di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI NTT).
Dalam laporannya menyebutkan, selain 7 perusahan tersebut juga ada satu perusahan yang telah membabat jenis kayu merah yaitu perusahan PT. Bali Bali Furniture yang diketahui milik Li Xiang Long.
Umbu mengatakan, perusahan ini telah beroperasi melakukan penebangan pohon dan memperjualbelikan jenis kayu merah atas izinTnesiIba Usboko.
TnesiIba Usboko bertindak sebagai kaisar Biboki (pemangku adat Biboki) yang memberikan restu adat atas tanah hak ulayat (Pusuf Sahaf) sejumlah 22 lokasi hutan kepada Li Xiang Long untuk diambil dan dimanfaatkan hasil hutan jenis kayu merah di wilayah Biboki.
Adapun lokasi-lokasi hutan yang dibabat diantaranya, Bointuu, Oebelo, Faotmakteta, Manlati, NunuTili, Oehau, Noele, Fatal, Susbeba, Kauntee Tote, dan Nabit di Kecamatan Biboki Monleu.
Ada pula di beberapa lokasi di Kecamatan Biboki Anleu diantaranya, Men Kase, Kakehi bot, Takniki, Mantake, Meko Oan, Kudo Ten, Fatu Lotu, Sanae Kau, Sekmanas dan Fatu ro.
PT Bali Bali Furniture Indonesia, kata Umbu, telah beroperasi dari Agustus 2018 dengan restu adat dari TnesiIba Usboko.
Hal ini diprotes keras oleh masyarakat dua desa. Alasannya lokasi operasi PT Bali Bali Furniture Indonesia telah merambah kawasan hutan (Bukan hutan hak TnesiIba Usboko) dan berada di lokasi lahan hak milik perseorangan.
TnesiIba Usboko tidak memiliki kuasa ulayat di-22 lokasi tersebut, namun bertindak sewenang-wenang seolah ia sebagai pemilik sah hutan.
Perwakilan masyarakat dua desa telah melaporkan kasus ini di Polsek Biboki Anleu pada tanggal 14 September 2018.
Dalam laporannya, mereka memberikan barang bukti bahwa terjadi pencurian kayu oleh perusahan PT Bali Bali Furniture di-22 lokasi.
Masyarakat juga telah mengamankan barang bukti berupa 7 (tujuh) buah alat mesin sensor kayu.
Namun hingga saat ini Polsek Biboki Anleu Polres TTU belum melakukan penyelidikan kasus pencurian kayu tersebut.
Sehingga perwakilan masyarakat dua desa menempuh jalur lain dengan melapor kasus pencurian kayu secara besar-besaran ini ke Gubernur NTT.
Umbu menegaskan, selama tidak ada Peraturan Daerah atau SK kepemilikan hutan dan lahan ulayat kepada TnesiIba Usboko, maka legalitas kepemilikan hutan dan lahan tersebut adalah di bawah kendali Negara dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi NTT. Sebab, saat ini di Nusa Tenggara Timur belum ada pengakuan hutan hak.
“Sehingga operasi PT Bali Bali Furniture Indonesia di-22 lokasi hutan di Kecamatan Bibo Kiman Leu dan Bibo Kian Leu dianggap sebagai pelanggaran pidana lingkungan,” ujar Umbu.
.
Dikatakan, pihak Kepolisian bersama Dinas Kehutanan Provinsi NTT harus bertindak untuk mengusut tuntas kasus ini. Dinas ini harus melaksanakan perintah Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat untuk membekukan izin angkut dan izin edar kayu dalam kawasan hutan.
“Apabila hal ini tidak disambut baik oleh Dinas Kehutanan provinsi dan UPT yang bertugas di wilayah-wilayah ini, maka mungkin saja ada indikasi pembiaran,” tegas Umbu.
Sementara itu, anggota AMPUH Conny Tiluata meminta Pemerintah Provinsi NTT dalam hal ini Dinas Kehutanan untuk tidak main-main dengan kejahatan hutan.
“Harusnya ditindak sesuai hukum yang berlaku, tidak boleh ada yang dikecualikan, sebab hutan berfungsi sebagai penyangga ekosistem, apabila daerah kehilangan hutan maka akan mebutuhkan puluhan hingga ratusan tahun untuk kembali mengkonservasi kerusakan hutan,” tegasnya.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba