*) Cerpen Venansius Pea Mole*
Ketika memasuki ruangan tamu, aku melihat seorang pria jangkung, usia sekitar lima puluhan dengan rambutnya mulai kelabu, tersenyum dan menegurku dengan lembut.
“Selamat sore.”
“Oh, selamat sore. Ada perlu apa ya?” tanyaku.
“Ada urusan dikit dengan Ibu.”
“Oh, baiklah kalau begitu.”
Tanpa berbasa-basi lebih lama, aku menuju kamar dan beristirahat sejenak. Aku tidak mengenal pria itu. Wajahnya tidak familier. Pria tua itu pasti kenalan Ibuku dan mungkin saja ada sedikit keperluan sehingga bertamu ke rumah kami.
Setelah beristirahat sejenak, aku memutuskan untuk menyeduh segelas kopi di dapur. Ketika menuju ke dapur, aku melihat pria jangkung itu berpamitan kepada ibuku. Tidak lupa, ia menyapaku juga.
“Saya pamit, Pak.”
“Oh, iya Pak,” jawabku sekenanya.
Aku lalu menghampiri ibu dan bertanya tentang pria itu.
“Siapa, Bu?”
“Hanya kenalan.”
“Ada keperluan apa ia datang kemari?”
“Dia menjual jam tangan.”
“Jam tangan apa?”
“Seiko”.
Hatiku seketika mulai curiga. Sepertinya ada yang tidak beres dengan pria yang menjual jam tadi.
“Coba saya lihat jamnya, Bu.”
Ibu lalu masuk ke kamar dan keluar membawa sebuah jam tangan analog berwarna keperakan.
“Ini Seiko 5 katanya. Jam tangan Seiko yang paling bagus,”ucap Ibu.
Hatiku semakin tidak tenang. Aku yakin ibu telah ditipu oleh pria yang tadi datang bertamu.
“Berapa tadi Ibu beli?”
“Katanya harga aslinya lima ratus ribu rupiah, tetapi karena dia lagi butuh uang, dia kasih harga tiga ratus lima puluh ribu rupiah saja.”
Aku semakin terkejut. Semakin terang benderang kalau ibu telah ditipu. Harga Seiko 5 original di pasaran, paling murah di atas dua jutaan rupiah.
Jam tangan Seiko abal-abal itu, aku ambil dari tangan ibu dan kemudian melihatnya dengan saksama.
“Waduh, ini lima ratus persen palsu,” gumamku dalam hati.
Jam tangan Seiko di tanganku garapannya kasar dan terkesan ringkih. Pada bagian belakang terdapat tulisan “ALL STAINLESS STEEL” dan “WATER RESISTANT” yang dicetak dengan ukuran sangat besar, seperti jam-jam palsu kebanyakan. Dan jam tangan Seiko abal-abal seperti ini banyak dijumpai di emperan-emperan toko dan dijual dengan harga paling mahal yaitu tujuh puluh lima ribu rupiah.
“Ibu kena tipu.”
“Kena tipu bagaimana?”
“Ini jam palsu.”
“Palsu bagaimana?”
“Seiko asli harganya mahal. Di atas dua jutaan.”
Sebenarnya perihal ibu tertipu bukan lagi hal baru. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi dan hari ini terjadi lagi untuk kesekian kalinya.
“Tidak apa-apa. Itu tadi menolong orang susah,” jawab Ibu seolah tidak tertipu sama sekali ketika membeli jam tangan palsu tadi.
“Tadi mungkin saja Tuhan Yesus yang menyamar menjadi orang susah,” lanjut Ibu.
Ibu selalu saja begitu. Ia tidak berubah sejak tiga puluh tahun yang lalu. Ia selalu percaya bahwa ketika ada orang yang susah datang ke rumah, entah itu susah benaran atau susah tipuan alias pura-pura susah, ia selalu menganggapnya sebagai Tuhan Yesus yang datang dan menyamar untuk menguji umatnya.
Pernah suatu waktu, kami kedatangan seorang pemuda pengemis dengan pakian compang-camping, untuk meminta makanan dan uang. Tanpa berprasangka apa-apa, ibu memberikannya sepiring nasi beserta lauk-pauk dan sejumlah uang. Padahal, hampir sebagian besar warga di kota kami mengenal pemuda itu sebagai seorang pemalas dan ingin hidup gampang dengan jalan mengemis saja. Namun, ketika kakakku menceritakan tentang hal itu, ibu hanya menjawab, “Jangan begitu, itu mungkin saja Tuhan Yesus yang sedang menyamar.”
Pernah di lain waktu juga, kami kedatangan tamu yang mengaku bahwa ia sedang tersesat. Ibu dengan persetujuan bapak kemudian mengizinkan tamu yang tersesat itu untuk menginap beberapa hari di rumah. Dan apesnya bagiku, tamu yang mengaku tersesat itu dipersilahkan tidur di kamarku. Baru sehari menginap, tamu yang tersesat itu pergi tanpa meninggalkan pesan serta membawa kabur uang tabungan bapak sebesar lima ratus ribu rupiah. Kami sekeluarga kemudian menyalahkan ibu karena mengizinkannya menginap di rumah. Tetapi, lagi-lagi ibu menjawab, “Itu orang susah dan mungkin butuh uang. Mungkin dia adalah Tuhan Yesus yang sedang menyamar.”
Sudah sering kali ibu ditipu. Ditipu penjual susu kuda liar, ditipu peramal gadungan, ditipu penjual obat urut palsu, ditipu orang-orang yang entah datang dari mana dan mengaku sebagai keluarga jauhnya, dan masih banyak lagi. Tiap kali ibu ditipu, maka kami sekeluarga harus kehilangan sejumlah uang yang tidak sedikit. Namun, setiap kali ditipu, ibu selalu punya kalimat sakti untuk menutupi kelemahanya itu : “Itu orang susah dan mungkin saja Tuhan Yesus yang sedang menyamar.”
“Sudah saya bilang, jangan lagi membeli barang-barang tidak jelas dari orang-orang yang tidak jelas juga. Ini jam palsu,” bentakku.
Ibu hanya terdiam.
“Lain kali, jangan asal beli.”
Ibu masih diam saja. Wajahnya tampak sedih, entah sedih karena kumarahi atau sedih karena aku tidak percaya bahwa pria jangkung yang datang tadi adalah Tuhan Yesus yang sedang menyamar.
“Ibu selalu saja begitu. Suka sekali ditipu.”
“Itu tadi orang susah. Kita tidak tahu dan mungkin saja itu Tuhan Yesus yang sedang menyamar.”
Lagi-lagi ibu yakin dan percaya bahwa pria yang baru saja menipunya dengan menjual Seiko 5 palsu adalah Tuhan Yesus yang sedang menyamar. Hatiku jadi kesal tiap kali mendengar ibu mengatakan hal itu.
“Tuhan Yesus itu bukan penipu, bukan peramal gadungan atau penjual susu kuda liar palsu,” jawabku kesal sambil mengingat kejadian yang sudah-sudah.
“Percaya kepada Tuhan Yesus tidak cukup dengan iman saja tetapi dengan rasio juga, Bu.”
Ibu tetap diam saja mendengar ucapanku.
“Ibu itu mantan guru. Harusnya Ibu bisa membedakan mana yang penipu dan mana yang bukan.”
Aku mulai menasihati ibu seperti menasihati anak-anak playgroup yang baru habis ditipu oleh penjual balon.
“Tapi kita kan tidak pernah tahu kapan Tuhan Yesus datang. Mungkin saja tadi itu adalah Tuhan Yesus yang sedang menyamar. Dan kalau kita tolak, suatu saat Tuhan akan berkata bahwa ketika Aku datang, kalian menolak-Ku.”
Kata-kata Ibu membuatku kembali teringat pada kenangan masa kecil. Memang, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika Ibu mengatakan bahwa orang yang telah menipunya adalah Tuhan Yesus yang sedang menyamar yang apabila kita menolak atau mengusirnya dari rumah, maka suatu saat Tuhan datang dan mengatakan bahwa ketika Ia datang, tetapi kami menolaknya, maka kami akan masuk neraka. Hal itu membuat kami ketakutan setengah mati. Aku, kakak dan adik-adikku akan merasa sangat takut karena telah menolak Tuhan. Kami sangat takut ketika membayangkan masuk dan dipanggang di dalam api neraka karena telah menolak Tuhan yang bertamu ke rumah.
Selain kata-kata itu, aku juga teringat akan kalender tahunan yang bergambar Tuhan Yesus sedang mengetuk pintu. Gambar yang setelah dewasa baru kuketahui dilukis oleh Holman Hunt. Gambar yang akhirnya kuketahui juga bahwa simbol pintu yang dimaksud oleh Holman Hunt bukanlah pintu rumah sebagaimana terlihat tetapi sebagai pintu hati yang hanya bisa dibuka dari dalam, karena tidak ada pegangannya dari luar. Aku selalu bertanya-tanya, apakah pintu hati ibu selalu seperti itu-selalu ia buka dari dalam untuk menyambut segerombolan penipu yang di dalam bola matanya selalu terlukis sebagai Tuhan Yesus yang sedang menyamar.
Aku menduga, mungkin saja ibu terobsesi dengan lukisan Tuhan Yesus yang sedang mengetuk pintu itu. Atau juga ibu sangat yakin bahwa Tuhan Yesus itu pasti akan selalu hadir mengunjungi umat-umatnya, namun Ia tidak datang dengan wajah aslinya, melainkan dengan wajah-wajah yang tidak terduga.
“Pokoknya, lain kali Ibu jangan coba-coba lagi beli barang dari orang-orang yang tidak jelas yang datang ke sini. Tidak ada ceritanya Tuhan Yesus itu menyamar menjadi penipu seperti pria tadi.”
“Iya.”
“Nanti kasih Bapak saja jam tangan ini.”
Aku lalu menyerahkan Seiko 5 abal-abal itu kepada ibu, dan kemudian ibu menyimpannya di laci lemari di kamarnya.
*******
Hatiku masih saja kesal mengingat kejadian siang tadi. Aku tidak habis pikir, mengapa di usia memasuki kepala enam, ibu masih saja betah ditipu.
Aku kemudian menuju ruang tamu dan berbincang-bincang dengan bapak.
“Pak, tadi Ibu ditipu lagi.”
“Ditipu soal Seiko itu?”
“Bapak sudah tahu?”
“Iya. Pasti Ibu bilang itu Tuhan Yesus yang sedang menyamar. Andalannya.”
“Iya, Pak. Ibu ini aneh, masa percaya Tuhan Yesus itu menyamar jadi garong dan penipu. Bisa-bisa semua penjahat yang ada di dunia ini, Ibu anggap Tuhan Yesus yang sedang menyamar.”
“Biarkan saja. Mungkin saja itu benar-benar Tuhan Yesus yang sedang menyamar.”
“Bapak mulai ikut-ikutan aneh.”
“Bukan ikutan aneh, tetapi sudah begitu sifat Ibumu. Kamu tinggal maklumi saja. Lagian hanya tertipu tiga ratus lima puluh ribu saja.”
“Iya, Pak, Tiga ratus lima puluh ribu itu untuk hari ini. Kalau dihitung sejak tiga puluh tahun yang lalu sudah bisa beli beberapa bidang tanah sekarang.”
“Walaupun kita kehilangan sejumlah uang, tetapi kita tidak pernah benar-benar berkekurangan. Mungkin saja itu cara Tuhan mengingatkan kita bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang mengalami kekurangan di luar sana. Tuhan mengambil kelebihan kita dengan cara-cara yang penuh misteri,” jawab Bapak.
Aku termenung beberapa saat mendengar ucapan Bapak. Memang selama ini, walaupun Ibu sering ditipu sehingga kehilangan sejumlah uang, tetapi keluarga kami tidak pernah merasakan kekurangan yang berlebihan walaupun ketika keadaan kami sedang sulit. Baik kebutuhan primer ataupun skunder selalu dapat terpenuhi dengan baik.
“Mungkin saja selama ini kita tidak mencari Tuhan, sehingga Tuhan yang akhirnya datang mencari kita. Ia datang mengambil kelebihan kita dan membaginya pada yang berkekurangan,” lanjut Bapak.
Bapak selalu bijaksana menyikapi berbagai hal yang terjadi di dalam keluarga kami. Hari ini ia kembali menunjukan kebijaksanaannya atas peristiwa penipuan yang dialami ibu.
Bapak mungkin saja berpikir bahwa tidak ada sesuatu yang jahat secara esensial. Bahwa kejahatan akan selalu hadir dalam kebaikan, walaupun pada akhirnya akan mengurangi kebaikan itu sendiri.
Bagi bapak dan juga ibu, kejahatan merupakan kebutuhan untuk dapat mengartikan kebaikan. Bahwa kejahatan dengan sendirinya akan menimbulkan kebaikan. Dengan adanya kejahatan maka akan timbul sifat memaafkan, dan lebih daripada itu akan ada sebuah pengampunan.
Adakalanya aku dapat memahami pemikiran bapak dan ibu. Namun, adakalanya juga aku berpikir bahwa pemikiran bapak dan ibu bisa saja keliru. Mereka cenderung berusaha mencari jalan damai dengan mendamaikan antara kejahatan dan kebaikan. Hal ini tentu tidak aku setujui.
“Ya sudah kalau begitu. Nasi sudah jadi bubur. Mudah-mudahan besok atau lusa tidak ada lagi ‘tuhan yesus’ yang datang lagi dan menyamar jadi penjual jam, penjual sayur atau jadi siapa saja,” ucapku kesal.
Bapak hanya terdiam dan seolah tidak mendengar ucapanku. Ia sibuk membolak-balik halaman koran yang ada di hadapannya.
*******
Kepalaku terasa berat dan sakit luar biasa. Dadaku terasa remuk dihantam palu dan godam. Mataku berkunang-kunang. Darah mengucur pelan dari hidungku. Samar-samar aku melihat sesosok pria yang tampak familier membopong tubuhku ke arah trotoar.
“Bung tidak apa-apa?”
Kupandangi wajah pria asing yang sedang berbicara kepadaku. Wajahnya seperti pernah kujumpai entah dimana.
Setelah beberapa saat berpikir, aku tiba-tiba teringat wajah penjual Seiko 5 abal-abal yang sebulan lalu datang ke rumahku. Wajahnya sangat mirip dengan pria asing yang membopongku tadi. Wajah pria jangkung, usia sekitar lima puluhan dengan rambut yang mulai kelabu.
“Kamu…?”
“Tenang, Bung. Istirahat dulu,” kata pria asing itu seraya menyandarkan tubuhku ke sebuah batang pohon di pinggir jalan.
Tiba-tiba segerombolan orang datang mengelilingiku. Mereka mengerumuniku seolah-olah ada yang aneh pada diriku. Baru kusadari bahwa aku sempat mengalami kecelakaan tadi. Aku hampir ditabrak sebuah bus metromini dan kemudian terjungkal ke pinggir jalan karena didorong oleh seseorang dari belakang. Nyawaku diselamatkan oleh orang yang mendorongku dari belakang.
“Apakah Bapak yang menolongku?”
Aku menoleh dan bertanya kepada pria asing yang membopongku. Namun ternyata pria itu tidak berada disampingku lagi.
Sakit di kepalaku mulai berkurang. Pandanganku mulai jelas. Aku berdiri dan kemudian mencari pria tua tadi yang menolongku. Aku mencarinya di tengah kerumunan orang yang mengelilingiku.
Pria asing itu seperti menguap begitu saja. Ia seperti ditelan bumi dalam sekejap mata.
“Kemana pria tua itu?”
Pria itu menghilang begitu saja.
“Jangan-jangan pria itu adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan selembar nyawaku. Bukan malaikat, mungkin juga Tuhan Yesus yang sedang menyamar untuk datang menyelamatkanku.”
Mengingat wajah pria itu, membuatku tiba-tiba teringat pada Ibu.
“Ah, apakah mungkin Tuhan Yesus benar-benar menyamar dan datang menolongku?” gumamku seraya teringat ibu.
*Penulis penikmat sastra dan tinggal di Bajawa. Saat ini bekerja sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara pada Bagian Hukum Setda Ngada.