Editorial, Vox NTT-Media nasional maupun lokal sedang ramai memperbincangkan musibah kabar bohong yang ternyata diproduksi Ratna Sarumpaet.
Ratna sebelumnya dikabarkan menjadi korban pemukulan orang tak dikenal saat berada di Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat pada Jumat (21/09/2018) lalu.
Kabar ini berhembus kencang sejak pertama kali diberitakan secara masif di berbagai media.
Semua orang yang mendengar kabar itu seakan terhanyut dalam narasi yang diungkapkan Ratna. Wajahnya lebam, memar, seperti ada luka yang mengganyangi wajahnya.
Siapapun yang menyaksikan gambar-gambar itu akan tenggelam dalam rasa kemanusiaan yang sama. Seorang ibu tua yang lantang berbicara keadilan itu harus menerima nasib buruk, dianiaya orang tak dikenal.
Bermacam interpretasi pun menukik di ruang publik. Kutukan datang dari segala arah. Intinya, musibah yang menimpa Ratna adalah prahara kemanusiaan dan demokrasi.
Menyinggung bias politik, lebih pelik lagi. Sejumlah politisi khususnya yang sekaki dengan Ratna menduga penganiayaan ini terkait pilpres 2019.
Diduga kubu Jokowi sedang menghalalkan segala cara untuk memenangkan Pilpres. Begitulah mereka berujar.
Namun apa daya, bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, para politisi dan siapapun yang termakan kabar ini harus menelan pil pahit.
Fakta-fakta yang diungkap polisi ternyata lebih keji dan memaksa Ratna untuk berkata apa adanya.
Perempuan kelahiran Tapanuli Utara, 16 Juli 1948 ini akhirnya mengakui penganiayaan itu hanyalah khayalan belaka alias hoaks.
“Saya dengan sangat memohon maaf kepada Pak Prabowo, terutama Pak Prabowo Subianto, yang kemarin dengan tulus membela saya, membela kebohongan yang saya buat,” ujar Ratna di kediamannya, Jl. Kampung Melayu Kecil V/24, Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu (03/10/2018).
Tak hanya ke Prabowo, Ratna juga meminta maaf ke Amin Rais.
“Saya memohon maaf kepada Pak Amien Rais yang dengan sabar mendengar kebohongan saya,” sambungnya.
Pengakuan Ratna tentu mengejutkan. Para politis yang telah berfantasi ria dalam ekstasi politiknya seperti menelan ludah sendiri. Semuanya itu ternyata hoaks. Sungguh Memalukan.
Begitu pula orang-orang yang sebelumnya terlanjur memberi rasa kemanusiaan, mereka merasa shock bahkan marah karena terlanjur berempati pada kabar hoaks buatan Ratna.
Hoaks yang diciptakan Ratna memang sempurna sebagaimana diakuinya sendiri. Secara kasat mata wajahnya memang terlihat lebam, memar dan bengkak.
Ditambah pengakuan dan narasi kekerasan yang beredar setelahnya, kasus ini memang terlihat benar adanya. Bungkusan begitu rapi sampai sulit membedakan mana yang benar dan mana yang bohong.
Namun justru disitulah celah masuk kabar hoaks. Otak kita lebih mudah berpikir ‘menyebarkan’ dari pada melacak kebenaran.
Perjalanan melacak kebenaran membutuhkan waktu yang relatif panjang, sementara ‘nafsu’ untuk menyebar apalagi dibumbu narasi yang menyentuh hati, tak perlu pikir panjang.
Anda tersentuh dan merasa yakin? Tools-nya sudah ada di ujung jari Anda, tinggal tekan ‘Share’ atau tidak. Tinggal bersuara atau bungkam menyelam sesaat.
Viral pun pada akhirnya tak terbendung di media sosial. Seperti gempa yang datang melanda, bencana hoaks menyambar siapa saja.
Korbannya, menyasar dari politisi kelas teri sampai kelas kakap, dari anak SD sampai profesor, dari penjual bakso di pinggir jalan sampai orang kantoran di ruang ber-AC.
Bahkan Roky Gerung, akademisi yang paling getol menyuarakan cara melawan hoaks dengan menaikan tingkat IQ, ternyata menjadi korban.
Roky dalam status Twitternya menyebut lawan politik Ratna Sarumpaet sebagai orang dungu.
“Tak cukup memfitnah? Tak puas memaki? Akhirnya kalian memakai tinju. Sungguh dangkal. Dan tetap dungu,” begitulah tulis Rocky Gerung.
Singkat kata, Hoaks Ratna berhasil menembus sekat dan status sosial. Lalu, siapa yang harus disalahkan?
Di sinilah ruang perdebatan itu sedang bergulir. Pro-kontra terbagi menjadi dua kubu sebagaima kubu pilpres 2019.
Kubu Prabowo ngotot menyalahkan Ratna sebagai produsen hoaks. Mereka menyebut dirinya sebagai korban berita bohong karena memberi opini atas kabar bohong yang diciptakan Ratna. Karenanya, tafsiran opini atas kabar itu menjadi tidak valid alias runtuh dengan sendirinya.
Sementara di kubu Jokowi, penyebar hoaks dan produsen hoaks harus sama-sama disalahkan alias dihukum. Kubu Jokowi pun telah melaporkan nama-nama papan atas yang disebut turut terlibat menyebarkan kabar bohong.
Perjalanan kasus ini tentu akan terus bergulir. Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, sama-sama bergantung di pundak hukum. Semua logika dan persepsi hukum akan dipertaruhkan di sini.
Kemana hukum bergulir? Kita tunggu saja. Namun yang pasti kabar bohong telah berhasil menciptakan disharmonis bangsa.
Kasus ini memberi pesan yang sangat kuat bahwa pelaku maupun penyebar ada di sekitar kita. Bahwa pesan bohong itu pandai memoles dan memodifikasi dirinya agar terlihat benar dan asli.
Bahwa, kita makin sulit menemukan kebohongan dan kebenaran, keaslian dan kepalsuan, ketika sebuah pesan memakai bungkusan yang sama, yang terlihat asli dan sempurna.
Karena itu, hati-hati menjaga jari, karena jari yang kurang hati-hati akan menghasilkan penyesalan nanti.
Hati-hati menjaga lidah, karena lidah yang tak beralaskan data, akan membawa bencana.
Menaikan IQ saja belum tentu tak termakan hoaks. Kita perlu menaikan Emotional Qutient (EQ) untuk lebih bersabar dan kontrol diri.
Kita juga perlu menaikan, spiritual Quotient (SQ) untuk lebih tenang membedakan suara hati. Semoga!
Penulis: Irvan K