Ruteng, Vox NTT- Frans Sarong, Wakil Ketua DPD I Golkar NTT mengatakan, di DPR RI partainya telah mengusulkan agar penggunaan dana optimalisasi difokuskan untuk mengatasi krisis fiskal yang sedang melanda Indonesia saat ini.
Usulan tersebut telah disampaikan partai beringin lewat fraksinya di DPR RI, Jumat, 21 September lalu.
Menurut Frans, usulan yang disampaikan oleh Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto itu tentu saja tidak hanya layak dianggap sebagai langkah bijak, tetapi juga berani dan menantang.
Ketua Satgas Anti Korupsi Golkar NTT itu berlasan, dana optimalisasi bernilai puluhan triliun.
Sejauh ini dana optimalisasi ditengarai sebagai lahan bancakan kalangan oknum DPR di Senayan. Itu terutama untuk memburu rente melalui mafia pengaturan proyek yang bersumber dari dana tersebut.
Alasan lainnya, kata Frans, DPR bersama pemerintah saat ini sedang membahas APBN tahun 2019.
Melalui proses pembahasan itu terungkap pendapatan negara senilai Rp 2.142, 5 triliun. Sementara belanja negara sebesar Rp 2.439,7 triliun. Itu berarti mengalami defisit hampir Rp 300 triliun (persisnya Rp 297,2 triliun atau 1,84 persen).
Frans Sarong menegaskan, dari langkah bijak namun menantang melalui usulan Ketum Golkar tersebut, setidaknya menyiratkan dua pesan khusus.
Pertama, Golkar hadir membawa solusi bersama pemerintah mengatasi krisis fiskal yang sedang mendera.
Kedua, sikap tegas atau komitmen Golkar mau berubah. Golkar ingin menjadi partai yang bersih dari korupsi. Upaya ini juga dinilai untuk mencegah mafia korupsi yang terus meraja lela.
Frans Sarong menambahkan, dana optimalisasi yang mulai dianggarkan melalui APBN sejak sekitar lima tahun lalu, nilainya tidak kecil.
“Sebagai contoh tahun 2013 nilainya sebesar Rp 11,8 triliun. Tahun berikutnya (2014) naik menjadi Rp 27 triliun, lalu melambung tinggi hingga hampir menyentuh Rp 60 triliun (persisnya Rp 58,36 triliun) pada tahun 2016,” ujar Frans Sarong kepada VoxNtt.com di Ruteng, Rabu sore (03/10/2018).
Ia menjelaskan, sejauh ini dana optimalisasi menjadi tambahan belanja jajaran kementerian, lembaga negara dan belanja transfer daerah.
Pengelolaannya yang langsung oleh jajaran kementerian dan berbagai lembaga lainnya tersebut, menjadi lahan rawan korupsi yang melibatkan oknum DPR.
Frans mencontohkan, kasus korupsi proyek 12 ruas jalan senilai Rp 300 miliar di Sumatera Barat tahun 2016.
Dalam kasus tersebut menjerat mantan Anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana.
Oleh Pengadilan Tipikor di Jakarta Maret tahun lalu, kata dia, Putu telah divonis enam tahun penjara.
Menurut Frans Sarong, mantan anggota Fraksi Partai Demokrat itu dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp 500 juta.
Selain itu, Putu juga dinilai terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 2,1 miliar dan 40.000 dollar Singapura.
Penulis: Ardy Abba