Oleh: Defri Ngo
(Mahasiswa Semester I STFK Ledalero-Tinggal di Wisma Mikhael)
Akhir-akhir ini, geliat sastra di NTT sedang booming. Hampir setiap saat media lokal dipenuhi dengan karya sastra dari anak-anak NTT.
Mereka menghadirkan sejumlah tulisan yang khas, unik dan penuh gebrakan pada realitas.
Tak jarang tulisan mereka itu menggebu-gebu dan penuh semangat yang meletup dari luapan jiwa terdalam.
Namun demikian, satu hal yang disayangkan adalah kurang adanya apresiasi atas setiap karya sastra yang mereka ciptakan.
Tulisan-tulisan mereka menjadi semacam bahan mentah tanpa kajian dan penilaian konstruktif yang sanggup memberi bentuk ke arah yang lebih baik.
Apresiasi terhadap karya sastra yang diciptakan tampaknya minim. Media-media lokal jarang sekali menyediakan ruang yang khusus bagi terbentuknya apresiasi terhadap karya sastra yang diciptakan.
Hal ini akan membawa dampak yang serius bagi perkembangan kesusastraan di NTT. Eduardus Sateng Tanis dalam opini di Pos Kupang berjudul Dokumentasi, Apresiasi, dan Kritik Sastra (08 September 2016) memberi penegasan tentang pentingnya apresiasi terhadap karya sastra.
Apresiasi yang dimaksudkan adalah upaya untuk memberikan tanggapan, penilaian dan solusi untuk sebuah karya sastra.
Berkaitan dengan penegasan ini, saya merasa perlu untuk mengangkat kembali pengaruh apresiasi sastra di NTT sebagai suatu jalan untuk membangkitkan semangat dan kepekaan dari para penulis untuk terus menulis dan mengabdikan diri pada kebenaran.
Opini ini tetap berpusat pada dua pertanyaannya mendasar, “ bagaimana perkembangan sastra di NTT dan mengapa apresiasi sastra di NTT perlu dibangkitkan?”
Apresiasi Sastra
Secara etimologis, term apresiasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi II cet-X) diartikan sebagai suatu tindakan penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu.
Selanjutnya, dalam terminologi kesusastraan, apresiasi lalu diartikan sebagai suatu upaya untuk mengenal, memberi tanggapan dan solusi yang konstruktif terhadap sebuah karya sastra.
Roestam Efendi (1998) menyebut apresiasi sebagai sebuah kegiatan untuk mengakrabi sebuah karya sastra secara sungguh-sunnguh.
Dalam proses pengakraban itu, seorang pengapresiasi (apresiator) terlebih dahulu harus mengenal, memahami dan selanjutnya memberi apresiasi terhadap karya sastra yang telah dibacanya.
Pada titik ini, apresiator dituntut untuk secara obyektif melakukan apresiasi terhadap sebuah karya sastra. Ia harus menghindarkan diri dari kemauan subyektifnya dan berusaha secara jujur memberi apresiasi terhadap sebuah karya sastra.
Sebelum melakukan apresiasi terhadap sebuah karya sastra, seorang apresiator perlu melakukan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan parafratis, pendekatan emotif, pendekatan analitis, pendekatan hostoris, pendekatan sosiopsikologis dan pendekatan didaktis.
Semua pendekatan ini dimaksudkan sebagai suatu sarana untuk mengenal secara lebih dekat penciptaan sebuah karya sastra beserta setiap realistas baik internal maupun eksternal yang turut berperan dan mempengaruhi sesorang dalam menciptakan sebuah karya sastra.
Pendekatan-pendekatan tersebut perlu dilakukan oleh seorang apresiator untuk mewujudkan kualitas obyektif dan kejelasan dalam apresiasinya.
Selain beberapa pendekatan yang disebutkan di atas, seorang apresiator jug diharapkan agar memiliki beberapa bekal awal, semisal kepekaan emosi atau perasaan, pemilikan pengetahuan dan pemahaman yang berhubungan dengan pengalaman kemanusiaan, pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan pemahaman terhadap unsur-unsur instrinsik cipta sastra (Handayani 2004: 63).
Sejumlah pemahaman dan pendoman dalam melakukaan apresiasi terhadap karya sastra diharapkan agar menjadi patokan bagi para apresiator untuk mewujudkan suatu proses apresiasi yang jujur dan obyektif
Sastra di NTT
Geliat sastra di NTT mulai tampak sejak munculnya karya-karya dari Gerson Poyk (1931). Karir kesusastraannya dimulai dengan menerbitkan Mutiara Di Tengah Sawah yang dimuat oleh majalah Horison ( Edisi tahun I, Nomor 6, Oktober 1961).
Selanjutnya hadir sejumlah karya sastra yang ditulis oleh Dami N. Toda, Mathildis Banda, Mezra E. Pellondou, Mario F. Lawi dan Erich Langobelen. Karya-karya mereka memberi warna dalam perkembangan kesusastraan baik di ranah lokal maupun nasional.
Selain nama-nama yang disebutkan di atas, geliat sastra di NTT juga semakin terlihat dengan munculnya sejumlah penulis muda yang karya-karya mereka sering diterbitkan oleh media lokal di NTT, baik Flores Pos, Pos Kupang, maupun media daring seperti Flores Sastra dan VOX NTT.
Adapula perkembangan sastra dalam dunia lakon, seperti tampak pada sejumlah pementasan teater, drama dan monolog yang kerap menghiasi wajah daerah NTT.
Atas geliat dan kemajuan kesusastraan ini, kita patut berbangga dan memberikan apresiasi yang positif, sembari tidak menutup ruang bagi terbukanya kritik yang konstruktif atas karya-karya mereka.
Progresifitas dan kemajuan sastra di NTT, setidaknya memberi kita pemahaman tentang adanya suatu peradaban baru dalam diri masyarakat NTT untuk terlibat dalam khazanah kesusastraan yang esensinya adalah pengabdian pada kebenaran.
Pada titik ini, sastra tidak hanya-meminjam ungkapan Horatius, filosof estetika- bergerak dalam upaya untuk “menghibur karena manisnya” (dulce et utile) tetapi juga membawa masyarakat untuk berperan dalam upaya penegakan terhadap nilai kebenaran.
Sastra berkompoten memberi refleksi yang mendalam dengan gayanya yang magnis, namun mengikat, juga kritis dan menyadarkan.
Di pihak lain, sastra tetap berkompoten untuk memurnikan kejiwaan (catharsis) pribadi yang terjebak dalam kegelapan dan kebobrokan pada paham-paham yang sekularis dan cendrung individualis.
Karena itu, geliat sastra di NTT seyogianya terus berpatokan pada prinsip-prinsip di atas demi perkembangannya ke arah yang lebih baik lagi.
Membangkitkan Apresiasi Sastra
Pertanyaan mendasar yang diajukan disini adalah, “mengapa apresiasi sastra di NTT perlu dibangkitkan? Apakah ada gejala tentang matinya apresiasi sastra di NTT?”
Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap progresifitas sastra di NTT, maka dua model pertanyaan ini sesungguhnya berusaha untuk menggali kesadaran kita tentang pentingnya fungsi apresiasi dalam sebuah karya sastra.
Keberadaan apresiasi sastra sangat berperan dalam memberi patokan, arahan dan kemajuan penulisan sebuah karya sastra. Sebuah karya sastra yang semakin sering diapresiasi, maka semakin berkualitaslah karya tersebut.
Peran apresiasi ini dapat dipahami sebagai sebuah keterarahan bagi penulis dalam membentuk sebuah karya sastra. Boleh jadi, apresiasi dipahami sebagai upaya memberi bentuk terhadap sebuah cipta sastra.
Dengan memberi apresiasi, karya sastra akan tampak lebih berbobot, baik secara materi maupun bentuk (forma) yang diciptakan.
Apresiasi sama sekali tidak bermaksud meninabobohkan penulis terhadap sebuah karya yang dihasilkannya, tetapi memberi arah, patokan dan jalan baru bagi penulis dalam menciptakan sebuah karya sastra.
Dengan memberi apresiasi terhadap sebuah karya sastra, maka penulis akan memperoleh suatu daya baru dan geliat yang besar untuk terus menulis sebuah karya sastra. Pada pemahaman ini, apresiasi terhadap sebuah karya sastra dinilai penting untuk dilakukan.
Lalu, bagaimana dengan apresiasi sastra di NTT? Apakah kesusastraan di NTT kental terhadap apresiasi dalam setiap karyanya?
Perlu diakui bahwa progresifitas penulisan karya sastra di NTT, belum dibarengi dengan ruang apresiasi yang mumpuni. Setiap media masa, masih nyaman dalam usahanya untuk menerbitkan setiap karya sastra tanpa ruang apresiasi.
Barangkali, ini lebih disebabkan oleh kurangnya para apresiator yang dapat mengkaji dan memberi penilaian terhadap karya sastra yang diciptakan. Namun di lain pihak, timbul pula suatu kecurigaan bahwa media terkait, semacam merasa takut dirugikan dengan adanya penambahan kolom apresiasi.
Pendapat ini dimungkinkan, karena adanya upaya ekonomis yang diemban hampir oleh setiap media. Pun demikian, hal ini patut dipikirkan lagi secara matang demi progresifitas sastra di NTT.
Lain halnya dengan fenomena di atas, suatu tendensi negatif baru yang muncul adalah kurang adanya pertanggungjawaban kritis rasional terhadap sebuah karya sastra yang diciptakan.
Karya-karya yang dikirim ke media masa dan tidak dimuat, dikembalikan ke tangan penulis tanpa disertai dengan alasan yang komprehensif dan dipertangggungjawabkan secara jelas.
Kenyataan ini pada akhirnya mematikan daya kreatifitas dan imajinasi penulis untuk terus menciptakan sebuah karya sastra. Wahyu Wibowo dalam Catarsis (1984) menyebut kenyataan ini dengan istilah , “pembunuhan kreativitas.”
Jika demikian jadinya, maka para penulis yang telah mengalami ancaman terhadap imajinasi dan daya kreativitasnya, cendrung mengurungkan pena dan tidak mau menulis lagi. Sastra sebagai “bahasa yang menyejarah”, demikian Heideggar akan berhenti dan menjumpai akhirnya yang naas.
Menghadapi kenyataan-kenyataan ini, maka perlu dilakukan dua hal berikut ini
Pertama media sebagai sarana penyalur karya sastra perlu menciptakan kembali ruang apresiasi yang kritis, solutif dan konstruktif terhadap sebuah karya sastra yang diciptakan.
Penyediaan ruang apresiasi juga berguna untuk memberi patokan, arahan dan solusi sebagai pembelajaran untuk menciptakan karya sastra yang lebih kompeten lagi.
Kedua para guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah memiliki peran penting dalam mengarahkan para siswanya untuk terus menulis dan memberikan apresiasi berupa penilaian dan pertimbangan terhadap karya sastra yang diciptakan.
Tentu, para guru perlu dibekalai terlebih dahulu dengan pengetahuan yang cukup pada sebuah karya sastra, semisal tentang teori-teori sastra, bentuk dan isinya, sejarah sastra, juga perkembangannya.
Di atas semua saran ini, para penulis pun harus selalu dipacu untuk tekun berlatih dalam menulis. Dengan demikian, maka progresifitas sastra di NTT akan menghasilkan sejumlah penulis yang kompoten dan matang dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu. Salam sastra NTT.