Oleh: Paul Randjang
Mahasiswa STFK ledalero
Mendekati pemilu 2019, suhu politik nasional semakin memanas. Ruang publik pun kian disesaki pelbagai ide, gagasan maupun visi-misi para petarung politik.
Beriringan dengannya, persaingan politik sulit dihindari. Walaupun persaingan politik menjadi corak dari sistem politik demokrasi, kita tetap membutuhkan sikap politis yang bersahabat.
Politik persahabatan
Diskursus filosofis mengenai persahabatan sebenarnya sudah dimulai sejak zaman pra Socrates. Empdokles, misalnya adalah orang pertama yang berbicara mengenai persahabatan serta melihat permusuhan atau kebencian sebagai lawannya.
Sementara itu, dalam konteks tradisi klasik, Aristoteles kembali membicarakan persahabatan dalam bukunya Etika Nikhomedia. Menurut Aristoteles, persahabatan yang benar adalah persahabatan yang dibimbing oleh kebajikan dan terarah pada pencapaian manfaat, hal-hal yang menyenangkan dan untuk mencapai yang baik dalam kehidupan (Baghi, 2012:110).
Lebih lanjut, pada tataran antropologis Plato kembali menggagas pemaknaan atas persahabatan. Dan menarik, ia menjelaskan bahwa persahabatan dapat terjadi apabila ada kekuatan rasional dan mengarah pada kebaikan. Artinya, orientasi hakiki dari persahabatan adalah keterarahaan pada dimensi kebaikan. Dan persis, keterarahaan ini bertalian erat dengan tujuan hidup berpolitik, yakni pengabdian terhadap bonum commune.
Namun, tak sedikit orang berpendapat bahwa nilai kebajikan persahabatan (sebagaimana diidealkan Aristoteles ataupun plato) kurang atau bahkan tidak mendapat tempat dalam aktus berpolitik. Alasanya, selain karena memang “politik itu kotor”, tetapi juga karena sulitnya menemukan aktus politik yang bersahabat.
Terkait hal ini, Filsuf Jacques Derrida, menaruh sikap psimis terhadap segala bentuk persahabatan dalam dunia politik dan demokrasi (Baghi, 2012:107). Menurutnya, orang bersahabat secara politik sejauh dia melihat ada kemungkinan kegunaan manfaat baginya. Karena itu, konsep teoritis politik maupun dalam praksisnya mesti diperbaharui.
Pemilu dan Hegemoni Kebencian
Esensi persabatan adalah adanya pengakuan etis terhadap eksistensi yang lain. Realitas histori perpolitikan kita mencatat, merebaknya industri hoaks beserta anak kandungnya, seperti: ujaran kebencian, penghinaan, gagasan provokasi maupun antagonistik di ruang publik, menampilkan menunjukan pengingkaran terhadap esensi persahabatan tersebut.
Pada momentum pemilu misalnya, substansi dan spirit demokrasi yang mengandaikan adanya penerimaan kebebasan mengungkapkan pendapat, tetap toleran terhadap perbedaan, kebebasan berkumpul dan tanpa menjadikan kumpulan massa sebagai senjata penindas mengalami degradasi yang mengerikan.
Pada skala lokal, potret buram ini pernah mencuat dalam kasus pengadilan Gubernur Jakarta, Ir. Basuki Tjahaja Purnama, yang dipicu oleh sepotong kliping video yang disunting secara tendensius pada YouTube. Pada konteks ini narasi kebencian menjadi bagian integral dari strategi pemenangan pemilu.
Dominasi media pun sulit dihindari. Pengalaman menunjukan, media yang terlampau dibebani misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayanan terkooptasi oleh kepentingan di luar kerangka profesionalisme (Mufid, 2009:299).
Pada titik ini, rentan terjadinya konflik kepentingan, karena media didominasi oleh kepentingan politik. Gagasan ini sangat beralasan, ketika kita menyaksikan perusahan media yang cendrung bersifat instrumentalistik mengahadapi persoalan hoaks dan politik.
Seperti apa yang dijelaskan Evegeny Morozov dalam tulisan berjudul “Moral panic over fake news hides the real enemy-the digital giants” (The Guardian, 8/1/2017), bagi perusahaan media sosial tidak penting apa dampak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS dan apa dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
Minat utama mereka adalah bagaimana kontroversi yang mewarnai dua peristiwa itu dapat meningkatkan kunjungan ke media sosial, sehingga menghasilkan rekaman data-prilaku dan potensi ekonomi lebih besar.
Bahkan David Levy, Direktur the Reuters Institute for the study of Jurnalism University Oxford , “Ruang Publik” mengatakan, dengan standar moralitas yang tipis sehingga ujaran kebencian, apatisme, dan sikap apriori diberi ruang sedemikian rupa adalah habitat alamiah media sosial.
Sikap politis
Memang banyak pakar politik berkeyakinan, bahwa peristiwa pemilu tak sekadar ajang perebutan kekuasaan oleh parpol atau elite politik, tetapi lebih dari itu menjadi sarana vital membangun nilai-nilai demokrasi yang dicita-citakan yang di dalamnya meliputi kebebebasan, toleransi, dan penghargaan akan nilai humanis.
Namun, tetap ada titik kerentanan di mana potensi pemilu yang dapat mengingkari esensi demokrasi. Karena itu, penulis merasa penting untuk menggagas politik persahabatan dengan memperhatikan beberapa proposal pemikiran berikut:
Pertama, kebijakan regulasi atau aturan perundangan. Paul Budi Kleden dalam Bukan Doping Politik menjelaskan, regulasi akan sungguh menjamin kedamaian dalam pelaksanaan sebuah peristiwa politik (pemilu), apabila regulasi itu menjamin masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar. Kemudian regulasi pemilu juga harus mengedepankan prinsip transparansi, demi mencegah kecurigaan di antara peserta pemilu, warga pemilih dan penyelenggara pemilu.
Kedua, sikap politis peserta pemilu. Gustave Le Bon, seorang bapak psikologi massa, pernah menulis bahwa massa itu bodoh, bersikap seperti perempuan, mudah diprovokasi, bersifat rasistis, dan irasional (Hardiman,2010:75).
Lanjutnya dalam Phychologie des Foules, bahwa massa senantiasa terkungkung dalam batas-batas ketidaksadaran, tunduk pada segala pengaruh, mudah diombang-ambingkan oleh emosi dan mudah percaya (Le Bon, 1951:25).
Seturut gagasan ini, warga pemilih pun diajak untuk bersikap kritis dan tidak mudah terprovokasi pada upaya polarisasi maupun mobilisasi kekuatan politik tertentu. Sikap kritis disini dibutuhkan untuk membangun power of self defense agar terhindar dari potensi-potensi pertikaian massa.
Ketiga, menjaga kewibawaan peserta pemilu. Sebagai petarung politik, peserta pemilu (legislatif dan eksekutif), harus dapat menjaga kewibawaan politis. Artinya, sikap politik harus ditunjukan dengan mengedepankan etika politik, kualitas, integritas, dan corak demokratis yang menghargai nilai kemanusiaan. Karena itu, para peserta pemilu tidak boleh terlibat dalam upaya memprovokasi massa demi kepentingan politik sektarian.
Keempat, peran sentral jurnalis. Dewey sebagaimana dikutip Agus Sudibyo menyatakan bahwa pers (baca;jurnalis) berperan membantu publik mendefinisikan apa yang dipercaya sebagai kebenaran serta menyediakan jawaban atas kontradiksi-kontradiksi kepentingan individu dan masyarakat dalam kehidupan sehari-sehari (Sudibyo, 2009:220).
Karena itu, di dalam usaha menyediakan kebenaran informasi, jurnalis harus berani menolak aneka praktik konspirasi yang berafiliasi dengan kepentingan politik tertentu. Sangat disayangkan, jikalau para jurnalislah yang memproduksi gagasan kebencian, memprovokasi massa dengan peryataan yang menyinggung, atau mendiskreditkan kandidat tertentu.
Pada akhirnya, politik persahabatan harus menjiwai aktivitas politik di tahun politik. Untuk itu, segenap elemen yang terlibat dalam di masa kampanye dan pemilu mendatang, harus mampu menerjemahkan konsep persahabatan ke dalam ranah praksis perpolitikan. Karena sesungguhnya, kekuatan politik persahabatan tidak terletak pada janji politis, tetapi pada tindakan praktis.