Ruteng, Vox NTT- Terlapor kasus penyerobotan lahan di Lingko Rohak, Kampung Rohak, Desa Bangka Dese, Kecamatan Lelak segera dipanggil untuk dimintai keterangan oleh Polres Manggarai.
Terlapor yang diduga telah melakukan penyerobotan tanah milik Gabriel Gandur tersebut terdiri dari tujuh orang.
Ketujuh orang tersebut, masing-masing, Sabinus Syukur, Paulus Lagem, Hendrikus Budiman, Tobias Gande, Kanisius Mahur, Paskalis Ripa, dan Ambros Midal. Mereka dilaporkan Damasus Jehani (46), anak dari Gabriel Gandur.
Kasat Reskrim Polres Manggarai, AKP Satria Wira Yudha mengaku, pihaknya tengah melakukan pemeriksaan laporan Damasus Jehani tersebut.
Kata dia, penyidik sudah mengambil keterangan pelapor. Sedangkan para terlapor sedang diundang untuk dimintai keterangannya.
“Dalam tahap pemeriksaan, kemarin pelapor sudah kita ambil keterangan. Tinggal terlapor sedang kita undang untuk diambil keterangan,” kata Kasat Yudha saat dihubungi VoxNtt.com, Kamis (11/10/2018).
Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, meski sudah ada keputusan hukum tetap oleh Pengadilan Negeri Ruteng, tanah di Lingko Rohak masih saja diserobot sekelompok warga.
Sekelompok warga Kampung Rohak tersebut sudah dilaporkan ke Polres Manggarai oleh ahli waris Damasus Jehani (46).
Damasus Jehani kepada sejumlah awak media di Ruteng, Minggu (7/10/2018), menjelaskan, tanah satu patok yang berlokasi di Lingko Rohak itu milik kakeknya bernama Pintal. Anak dari Pintal bernama Gabriel Gandur, ayah dari Damasus Jehani.
Pintal mendapatkan tanah satu patok itu saat pembagian ulayat oleh tua adat Kampung Rohak.
Jehani menguraikan, bagian timur tanah tersebut berbatasan dengan tanah milik Matias Ni’a, ayah dari tu’a gendang (tua adat) Kampung Rohak, Rofinus Mago.
Bagian baratnya berbatasan dengan tanah milik Mbutung.
Bagian selatannya berbatasan dengan lodok (titik model pembagian tanah orang Manggarai) Lingko Nggeng.
Sedangkan, bagian utaranya dengan lodok Lingko Rohak.
Jehani mengisahkan, sejak tanah itu dibagi oleh tua adat Kampung Rohak kepada kakeknya Pintal, tak ada masalah apapun hingga dikuasai oleh ayahnya Gabriel Gandur. Sementara di bagian pinggir (cicing) tanah mereka terdapat pasir alam.
Pada tahun 1992 silam, Ketua Dewan Paroki Rejeng datang menemui tu’a gendang Kampung Rohak, Rofinus Mago.
Ia datang meminta pasir untuk merenovasi gereja Rejeng dengan membawa satu bungkus rokok sebagai media adat Manggarai.
Oleh Rofinus Mago, tu’a gendang Rohak kala itu bertanya ke Ketua Dewan di mana pasir yang dimaksud.
Selanjutnya, seiring permintaan tersebut kemudian menunjuklah tanah milik Gabriel Ganggur yang menjadi lokasi penggalian pasir.
Kepada Ketua Dewan, atas nama tua adat Rohak, Rofinus Mago kemudian memberitahukan bahwa dirinya akan meminta kepada Gabriel Ganggur terlebih dahulu.
Saat dimintai untuk menggali pasir di tanahnya, Gabriel Ganggur lantas menolak. Konon, kala itu Gabriel Ganggur menolak dengan alasan bahwa ia tidak menginginkan ada masalah di kemudian hari atas tanah hak miliknya.
Namun demikian, respon tu’a gendang Rofinus Mago saat ditolak langsung menyatakan siap berperkara dengan Gabriel Gandur.
Rofinus Mago kemudian meminta seluruh warga untuk mengumpulkan uang senilai Rp 1.000 untuk biaya perkara dengan Gabriel Gandur.
Proses perkara saat itu pun sampai di tangan Kepala Desa Gelong Philipus Riberu. Atas nama pemimpin di tingkat desa, Philipus Riberu kemudian memediasi perkara tanah tersebut.
Solusi dalam perkara itu yakni, penggalian pasir untuk pembangunan gereja Rejeng tetap dilakukan di atas tanah milik Gabriel Gandur.
“Dengan catatan ayah saya (Gabriel Gandur) memutuskan kalau anak saya sudah dewasa saya ambil kembali ini pasir. Oleh Rofinus Mago juga mengatakan, saya di depan kalau tidak kasih kembali pasir ini. Dan ini, disetujui oleh ayah saya Gabriel Gandur,” beber Damasus Jehani.
Seiring perjalanan waktu, kesepakatan tersebut malah diingkari.
Pasalnya, ada banyak warga yang masuk untuk menggali pasir di atas tanah milik Gabriel Gandur.
Bahkan, pasir tak lagi untuk kepentingan membangun gereja Rejeng sesuai kesepakatan awal, tetapi digunakan untuk berbagai pembagunan dengan pola bisnis.
Damasus Jehani melanjutkan, tahun 1992, tu’a gendang Rohak Rofinus Mago membentuk kelompok mengelola pasir di atas milik Gabriel Gandur untuk kepentingan bisnis.
Kelompok yang dibentuk itu kemudian memungut retribusi setiap orang yang membutuhkan pasir.
Rofinus Mago mengelola keuangan retribusi pasir dengan membeli alat dan sarana umum seperti, genset, piring, sendok, dan lain-lain. Sedangkan sisa uangnya dimasukan ke dalam rekening kelompok.
”Dalam perjalanan sarana umum ini sudah menjadi milik pribadi Rofinus Mago,” kata Damasus Jehani
Dikatakan, pada November 2016 lalu terjadi konflik internal antara Rofinus Mago dengan kelompok gali pasir.
Pasalnya, Rofinus Mago merasa dilecehkan oleh pengelola keuangan kelompok Stefanus Jeharut. Uang di rekening yang seharusnya menjadi milik bersama itu pun tidak pernah dievaluasi.
Damasus Jehani menduga atas dasar konflik internal itulah Rofinus Mago kemudian mengingat kembali sejarah tanah pasir milik Gabriel Gandur tersebut.
Selama 29 tahun tanah pasir itu dikuasai umum, pihak Damasus Jehani merasa takut mengambil kembali karena harus berlawanan dengan tu’a gendang Rofinus Mago.
“Rofinus Mago kemudian bilang, daripada saya salah di kemudian hari, maka suruhlah Gabriel Ganggur ayah saya untuk ambil kembali tanah ini,” cerita Damasus Jehani.
Karena disuruh Rofinus Mago, pada 19 November 2016 Damasus Jehani dan keluarganya kemudian memagar lokasi pasir tersebut.
Aksi Damasus Jehani dan keluarganya kemudian memantik reaksi kelompok penggali pasir. Mereka kemudian mengadu ke Rofinus Mago, tu’a gendang Kampung Rohak.
Menyikapi pengaduan itu, Rofinus Mago kemudian menyuruh pengadu agar pergi ke rumah adat untuk memukul gong, memanggil seluruh warga Kampung Rohak.
Selanjutnya pada 20 November 2016, hampir sebagian besar warga melakukan pertemuan membahas tanah tersebut di rumah adat.
“Saat pertemuan Rofinus Mago sebagai tua adat kemudian, bertanya kepada tua-tua panga (sub dari gedang) apa yang mereka tahu tentang tanah itu. Namun, jawaban tua-tua panga bahwa mereka tahu sejarah atas tanah itu,” kisah Damasus Jehani.
Ia menambahkan, belakangan munculah satu kelompok yang beranggotakan 10 orang gugat kembali tanah itu dan melaporkan ke Plt. Kepala Desa Bangka Dese (pemekaran Desa Gelong), Agus Dahor.
Laporan itu sekitar Januari tahun 2017 lalu. Namun, penyelesaian di tingkat Desa Bangka Dese seakan memihak kepada 10 orang tersebut.
Tak puas dengan keputusan tersebut, Gabriel Ganggur kemudian melaporkan ke Camat Lelak, Lorensius Santu.
Oleh Camat Lorensius persoalan ini dimediasi dengan melahirkan kesepakatan bahwa tanah itu dikembalikan ke pemiliknya Gabriel Gandur.
Dalam surat kesepakatan itu, anggota kelompok tidak lagi berjumlah 10 orang, namun 8 orang. Mereka kemudian menandatangani surat pernyataan penyerahan tanah kepada Gabriel Gandur.
Kesepakatan lain ialah pihak Gabriel Gandur meminta ganti rugi selama 29 tahun tanah pasir itu dikerjakan umum sebesar Rp 10 juta.
“Namun sampai saat ini uang itu tidak dibayar,” kata Damasus Jehani.
Kemudian, tanah itu diukur kembali dengan membuat garis lurus selayaknya pembagian tanah sistem lodok bagi masyarakat adat Manggarai.
Seiring perjalanan waktu, muncul lagi penggugat lain berjumlah 5 orang yang mengatasnamakan tua adat Kampung Rohak. Mereka menggugat eksistensi hukum dari 8 orang sebelumnya yang sempat mengikuti perkara hingga ke Camat Lelak.
Kelompok itu kemudian menggugat Gabriel Gandur ke PN Ruteng.
Selanjutnya, hasil keputusan perkara di PN Ruteng menyatakan, menolak semua gugatan penggugat.
Tak puas dengan keputusan tersebut, penggugat bersama kuasa hukumnya kemudian melakukan naik banding di pengadilan tinggi.
Keputusan di pengadilan tinggi atas proses naik banding tersebut yakni menguatkan keputusan PN Ruteng.
“Karena tidak naik kasasi, keluarlah surat kepastian hukum tetap,” terang Damasus Jehani.
Baca Juga: Meski Ada Putusan Hukum, Tanah di Rohak Tetap Diserobot Warga
Saat ini, tanah tersebut tidak lagi diserobot oleh 5 orang warga yang kalah di PN Ruteng. Namun, ada orang lain lagi yang melakukan penyerobotan.
Penulis: Ardy Abba