Bajawa, Vox NTT- Saat ini Kepolisian RI terus melakukan upaya melawan berita hoaks atau bohong yang disampaikan melalui media sosial (medsos).
Upaya perlawanan berita hoaks hingga kini juga gencar dilakukan pihak Polres Ngada, NTT. Itu terutama menjelang pemilu tahun 2019 mendatang.
Buktinya, Polres yang menangani Kabupaten Ngada dan Nagekeo itu melakukan rapat koordinasi mencegah berita hoaks bersama para pekerja pers dan sejumlah admin group facebook, Senin (15/10/2018).
Dalam rapat itu Polres Ngada menekankan bagi orang yang menebarkan informasi palsu atau hoaks di dunia maya akan dikenakan hukum positif.
“Hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku. Maka, penebar hoaks akan dikenakan KUHP, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial,” tegas Kasat Reskrim Polres Ngada, Iptu Anggoro C. Wibowo di hadapan awak media saat rapat koordinasi yang digelar di Aula Polres Ngada itu.
Dia mengatakan, penebar hoaks di dunia maya juga bisa dikenakan ujaran kebencian yang telah diatur dalam KUHP dan Undang-undang lain di luar KUHP.
Baca Juga: Polres Ngada Gelar Rapat Koordinasi Cegah Berita Hoaks
Menurut Iptu Anggoro, ujaran kebencian ini meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.
“Jadi, hoaks ini harus ada yang dirugikan, baik itu seseorang atau korporasi yang merasa dirugikan. Kalau tidak ada, ya cenderung gosip di dunia maya. Perlu ada obyek dan subyek dari hoaks ini,” terangnya.
Kasat Anggoro menjelaskan, ujaran kebencian ini biasanya bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat.
Itu antara lain suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, hingga orientasi seksual.
“Ujaran kebencian atau hate speech ini dapat dilakukan dalam bentuk orasi kampanye, spanduk, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, sampai pamflet,” tuturnya.
Dia menambahkan, hoaks itu ada dua hal. Pertama, berita bohong harus punya nilai subyek dan obyek yang dirugikan.
Kedua, melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 28 ayat (2) itu berbunyi, “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
“Kalau berita-berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat, sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp 1 miliar,” tegasnya.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba