Oleh: Ichan Pryatno
(Anggota Centro John Paul II)
Dalam sejarah peradaban gereja, Karol Wojtyla (Paus Yohanes Paulus II) pernah tampil sebagai figure opsional. Ia menjadi sangat fenomenal sebab seringkali membawa ‘ruh’ pembaharuan dala ranah gereja dan negara.
Wojtyla menjadi sosok yang membawa pengaruh besar oleh karena banyak menyumbangkan pemikiran dalam tatanan kemanusiaan.
Karena itu melalui tulisan ini, penulis mencoba menghadirkan kembali sosok Wojtyla dengan maksud agar racikan pemikirannya bisa menggugah gereja dalam meresistensi kepungan korupsi akhir-akhir ini.
Korupsi sebagai Soal
Akhir-akhir ini narasi keindonesian kita kian dironai dengan rentetan persoalan korupsi. Dengan tampilan variatif korupsi merongrong lapisan birokrasi baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Bahkan tak jarang korupsi mengeja dalam konspirasi elite politik dengan kelompok kapitalis (pemodal). Karena itu, amanah reformasi suci 1999 yang konon membawa angin segar dengan mereformasi persoalan multi-dimensional, termasuk persoalan korupsi, nampak menjadi utopia belaka. Pasalnya korupsi tetap saja mengaras dan membudaya sekaligus mengeja dalam berbagai bentuk.
Gambaran terjadinya praktik korupsi di Indonesia setidaknya tercermin dalam indeks persepsi yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga survei diantaranya oleh Lembaga PERC. Dari hasil survei Lembaga PERC didapati sejak 2005 indeks persepsi korupsi Indonesia selalu mengalami peningkatan.
Bahkan PERC menetapkan Indonesia menjadi Negara terkorup di Asia Pasifik pada 2009 dan 2010 (Yusuf, 2013:1). Selanjutnya gambaran praktik korupsi tidak hanya berhenti seketika itu.
Di tingkat lokal (misalnya di Manggarai Timur), sejak September 2016 lalu sudah ada rentetan persoalan korupsi, diantaranya korupsi alat kesehatan dan terkait dugaan penyelewengan pembangunan inspektor matim (voxntt.com, diakses pada 07/08/2018).
Dari sejumlah kasus yang terjadi kita dapat menemukan sejumlah model korupsi seperti: korupsi individual yakni di mana seorang pejabat memanipulasi kepercayaan publik. Ia mengunci kebutuhan publik di atas kepentingan parsialnya semata. Juga ada korupsi yang dilakoni oleh dua pihak sekaligus.
Korupsi jenis ini menjabar dalam beberapa bentuk semisal: suap menyuap, gratifikasi, sogokan dan lain-lain. Dalam banyak kasus, korupsi jenis ini acapkali membanjiri kontestasi elektoral.
Hal ini berkenan dengan para pejabat yang membutuhkan dukungan dana, sementara para pengusaha membaca peluang yang terjadi demi merampas bisnis dana APBN/APBD .
Para pengusaha menaruh investasi dengan cara mendekati para calon kepala daerah. Imbalanya akan didapati nanti ketika kepala daerah terpilih memberikan hadiah proyek APBD (“Bohikrasi dan Politik Uang”, Kompas, 04 April 2018).
Karena itu peringatan Alberto Vannuci (2001) terkait persekongkolan para pemuncak kekuasaan ternyata benar. Ia menilai bahwa barter kepentingan membentuk arena permainan para mafia kekuasaan.
Politik sudah menjadi sirkuit perburuan rente sosial, ekonomi, dan hukum.
Korupsi yang dilakoni oleh para aparatus negara telah membuat rakyat memikul sebagian biaya pajak.
Selain itu, ia menyebabkan biaya hidup mahal, keterbatasan fasilitas pelayanan dan ketidakberesan soal infrastruktur jalan, jembatan, proyek rumah sakit dan proyek bangunan lainnya.
Korupsi menyebabkan gagalnya Negara menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga pengangguran dan kemiskinan mencuat.
Dalam hal ini peringatan Koffi Annan, sebagaimana Otto Gusti Madung, dibenarkan bahwa korupsi adalah wabah dengan spektrum dampak sangat luas, yang menghancurkan tatanan social (Madung, 2017:114). Ia menguburkan demokrasi dan kedulatan hukum. Ia adalah akar dari pelanggaran HAM, menghancurkan tatanan ekonomi pasar, menurunnya kualitas hidup dan menguburkan kejahatan terorganisir, terorisme, dan ancaman-ancaman kemanusiaan lainnya.
Wojtyla dan Gereja yang Terlibat
Karol Wojtyla (Paus Yohanes Paulus II), merupakan pria kelahiran Wadowice, Polandia, pada 18 Mei 1920.
Ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, yang juga merupakan ‘buah hati’ dari pasangan Karol Wojtyla dan Emilia Kaczorowska.
Ketika berumur 13 tahun, ibunya Emilia, meninggal dunia. Kakak sulungnya Edmund Wojtyla, seorang dokter, meninggal pada 1932 dan ayahnya, seorang pensiunan letnan, meninggal pada 1941 (Beetz, 1984:10).
Karol Wojtyla merupakan salah seorang paus terlama dan menjadi sangat terkenal dalam sejarah peradaban gereja dan dunia.
Ia menjadi salah seorang tokoh besar dan seringkali melakukan banyak perjalanan untuk menyapa umat di seluruh dunia.
Wojtyla telah banyak melakukan banyak pembaharuan melalui ide-ide yang ditulis dan diajarkannya. Ia menjadi sosok yang diakui sebab seringkali meyerukan dan memperjuangankan tegaknya keadilan dan kedamaian dalam tatanan kemanusiaan.
Singkatnya, Wojtyla merupakan sosok hebat yang tidak hanya menyerukan gagasan dalam tubuh gereja, namun juga turut menyumbangkan pemikiran dalam tatanan sosio-politis, termasuk soal bagaimana agama (gereja) mesti terlibat.
Bagi Yohanes Paulus II, agama sejati merupakan agama yang membawa orang pada kedamaian dan keadilan. Agama (gereja) mesti mesti berani terlibat dalam realitas sosio-politis, tanpa harus terlibat dalam politis praktis (kekuasaan).
Dalam Centesimus Annus, Yohanes Paulus II menegaskan bahwa agama (Gereja) sebagai pelayan bukan merupakan tubuh yang abstrak yang hanya memuat dimensi spiritual belaka (Cahyadi, 2011:3).
Gereja akan menjadi hidup dan berada manakala ia berani mencebur diri dalam konteks sejarah dan kehidupan dunia, tempat manusia hidup. Karena itu tugasnya ialah membela kemanusian (humanity), keperibadian, keberadaan, dan sekaligus situasi yang menjerat manusia, sebagai ciptaan Allah yang paling luhur dan mulia.
Dalam hal ini juga, jalan yang ditempuh gereja adalah jalan yang ditapaki umat manusia yakni membangun kehidupan pribadi dan sosial ke arah yang lebih mulia dan bermartabat.
Agama bukan sekadar melibatkan diri pada tataran spiritualitas, namun ia mesti melampaui itu, dengan berani mencebur diri pada dimensi sosio-politis.
Pada galibnya keprihatinan dan seruan Paus Yohanes Paulus II tidak bertolak dari interse sosio-politis, tetapi dari prinsip teologis dan iman.
Dasar pertimbanganya ialah manusia sebagai ciptaan Allah yang paling luhur dan diciptakan seturut citra Allah. Baginya Gereja mesti selalu menyerukan akan pentingnya kebijakan dalam bidang sosiopolitis, yang menjamin keadilan dan kemanusiaan.
Dengan demikian, tugas utama gereja ialah membawa pembebasan bagi dunia yang mengalami penindasan dan pergolakan.
Gereja hendaknya secara utuh hadir sebagai Garam dan Terang (bdk. Mat. 5:13-16) ke tengah dunia yang mengalami situasi pergolakan, kekacauan, dan pengabaian akan keadilan, termasuk secara khusus yang diangkat penulis yakni soal korupsi.
Karena itu dalam konteks persoalan yang diangkat penulis, gereja semestinya melibatkan diri dengan tampil meristensi persoalan korupsi.
Bagi penulis, dengan berpijak pada intisari seruan Yohanes Paulus II di atas, gereja mestinya berani mencebur diri dalam persoalan sosio-politis (korupsi) dengan alasan: korupsi itu merupakan akar dari pengabaian akan kemanusiaan.
Korupsi tidak berkiblat pada kepentingan universal, namun ia hanya bercokol pada kepentingan parsial oknum tertentu. Korupsi merupakan model lain dari pengabaian atas keadilan publik serentak turut mencederai nilai luhur kemanusiaan.
Oleh karena itu, seruan Wojtyla hendaknya menjadi basis spiritual yang memantik gereja turut meresistensi persoalan korupsi yang menjerat kemanusiaan dan keadilan publik.
Maka dari itu wujud perlawanan gereja tampak dalam: pertama, gereja mesti menggelar aksi demonstrasi. Hal ini disadari sebagai bentuk kritikan sekaligus penyadaran atas persoalan korupsi yang terjadi.
Kedua, gereja mesti melakukan aksi sosialisai atas masyarakat. Opsi ini diamini sebagai langkah konkret penyadaran atas kondisi yang terjadi dan sekaligus memantik animo mereka dalam meresistensi korupsi.
Ketiga, selain dari pada itu gereja hendaknya mengonstruksi upaya dialogal dengan institusi religius lain. Gereja mesti melibatkan kelompok agama lain, sehingga secara kolektif menyatakan perlawanan atas korupsi.***