Oleh: Pius Rengka
Politik birokrasi di NTT, sebulan belakangan ini, mendidih. Bagaimana tidak. Belum genap sebulan kepemimpinannya, Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat, sudah membuat 8 pernyataan dan tindakan penting. Akibatnya, birokrat di kantor Gubernur NTT, waspada dan awas. Harapan dan risau tampaknya berjalan seiring. Bahkan menegangkan.
Hari itu, Senin (22/10/2018) telah senja. Sejumlah gosip meruak masif di sebuh warung kopi. Gosip lama pun bersemi kembali, lekas menyebar luas. Digosipkan, birokrat rezim lama, gelisah menunggu. Mereka pun agak risau. Bahkan disebutkan, cukup beralasan jika mereka tegang. Maklum, 15 tahun bersama Frans Leburaya, mereka hidup nyaman dan berjalan normatif. Meski angka kemiskinan NTT tak banyak beranjak, kasus human trafficking kian merisaukan, dan jalan-jalan propinsi tak tuntas diurus meski Frans Leburaya berkuasa 10 tahun berjalan.
Gosip itu terus melangkah. Konon kabarnya, bagi para pejabat, yang penting Frans Leburaya dan keluarga masih senyum mesra, semua berjalan nyaman-nyaman saja. Jika mereka masih diajak tenggak wine import dengan derai tawa di rumah jabatan, itu sudah lebih dari cukup dalam lingkungan bebas hambatan untuk semua perkara. Jauh dari soal dan persoalan.
Bahkan, konon kabarnya, senyuman boss itu ditentukan jumlah pujian dan setoran. Gosip sejenis ini, tentu saja bak api disiram bensin, cepat meluas dan masif menjalar di mana-mana. Juga digosipkan, promosi jabatan di lingkungan kantor gubernur, nyaris tak luput dari pungutan dan keterlibatan sanak keluarga. Itulah serial gosip petang itu. Hari-hari pun terasa kian terasa bergegas.
Saya teringat pidato perdana Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat. Dari mimbar utama Beliau jelas menandaskan, tak boleh ada loby jabatan melalui istrinya Julie Laiskodat. “Istri saya tak boleh terlibat dalam urusan sirkulasi birokrasi pemerintahan,” tandas Victor kala itu.
Ia menambahkan, jika ada orang menggunakan cara loby melalui istri, maka dipastikan orang tersebut atau calon pejabat yang dipromosikan lewat istri gubernur itu tak bakal pernah diberi jabatan sampai kapan pun selama kuasa gubernur ada pada dirinya.
Saya mencatat pidato Gubernur NTT Victor B. Laiskodat itu diam-diam di tengah kepungan undangan yang hening mendengar. Apakah pidato itu ada hubungan dengan aneka gosip sebelumnya perihal promosi jabatan itu? Saya tak tahu pasti. Tetapi yang sudah pasti, Gubernur Victor tak mungkin mengucapkan pidato itu tanpa desas-desus yang akurat sebelumnya, persis sama gosip yang didengar kembali petang Senin, 22 Oktober 2018 itu.
Marilah kita mencermati catatan ini. Tercatat, 8 pernyataan penting Gubernur Victor selama sebulan ini.
Dikatakan, status Pantai Pede di Labuanbajo segera ditinjau ulang (1), moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dari NTT (2), moratorium semua ijin tambang di NTT (3), mencermati ulang manajemen Bank NTT yang konon katanya dililit credit macet dan beraroma syarat nepotisme dan kolusiisme (4), memangkas birokrasi level eselon II yang dinilai teramat gemuk yang berakibat birokrasi bergerak lamban dan berjalan terseok-seok kurang profesional (5), pembangunan infrastruktur jalan propinsi dipercepat dan fokus sehingga menelan sebagian besar APBD NTT (6), lokasi tanah Lippo Mall ditinjau ulang lantaran pembagian keuntungan dinilai tidak sensitif keadilan (7) dan (8) memastikan pemerintahan propinsi bekerja transparan, bersih, profesional sehingga diperlukan kerja sama dengan KPK. Komisi antirasuah itu, konon telah mengadakan pertemuan penting dengan Gubernur NTT belum lama ini.
Jika 8 isu itu dicermati serius, tampaknya delapan pernyataan tersebut, semacam koreksi terhadap kebijakan rejim Frans Leburaya sebelumnya. Misalnya, kemelut Bank NTT, tidak lepas dari imajinasi politik Frans Leburaya terkait manajemen pengelolaan Bank NTT.
Macam-macam orang yang dikariakan ke dalam bank itu antara lain komisaris independen, dikesankan jauh dari kriteria profesional. Placement orang-orang penting di bank itu, terkesan nihil obyektivitas, syarat unsur perkoncoan tetapi diberi gaji sangat tinggi. Gosip ini tambah meluas. Ditemukan serpihan protes para petinggi pensiunan Bank NTT, tetapi tak digubris rejim sebelumnya. Istimewanya, para pemegang saham dapat melangsungkan serial pertemuan tanpa dinamika protes dan minderhait nota. Kantor cabang Bank NTT di Surabaya, juga dilihat Gubernur Victor menyimpan bom masalah. Jadi perlu dicermati ulang.
Contoh lain. Kasus Pantai Pede di Labuan Bajo. Kuat terkesan Pantai Pede menyimpan banyak masalah. Konon kabarnya, masalah berlarut-larut atas Pantai Pede karena disinyalir ada saham pejabat penting NTT yang bermain-main di dalam sengketa Pantai Pede.
Keriuhan rakyat di Labuan Bajo antikebijakan pemerintah, sesungguhnya resistensi rakyat yang diakibatkan pertarungan kepentingan para calon pemegang saham itu sendiri. Jadi, di balik sengketa Pantai Pede, sesungguhnya ada motif privatisasi atas lahan publik. Caranya tentu saja main di aturan main.
Begitu pun kasus pengiriman tenaga kerja ke luar negeri konon beraroma padat masalah karena terkait politik elektoral sebelumnya. Moratorium izin tambang, juga tak jauh dari lilitan rent seeking pada rezim sebelumnya.
Gubernur Victor menginginkan agar tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri bukan tenaga kerja sekelas babu bodoh nan dungu, melainkan tenaga kerja profesional yang layak dibayar mahal. Karena itu, sebelum mereka dikirim ke luar negeri harus dilatih oleh tenaga profesional melalui Balai Latihan Kerja. Moratorium diperlukan untuk melihat dan mencermati kembali siapa saja para pemain yang terlibat dalam jaringan kejahatan ini.
Kesan saya, Gubernur Victor B. Laiskodat sudah mengantongi informasi lengkap. Dia punya data akurat. Tinggal tunggu waktu terbaik kapan Gubernur Victor mengeksekusi para pecundang pemain bajingan antikemanusiaan itu.
Lalu postur birokrasi di NTT digosipkan berbau nepostisme dan perkoncoan atau perkauman. Penempatan orang-orang tertentu di BUMD, tak jauh dari imajinasi distribusi rejeki para kaum. Percikan gosip lain disebutkan, komisaris di salah satu perusahaan semen di Kupang diisi keluarga sendiri yang sama sekali goblok akuntansi. Posisi komisaris itu menjadi bagian dari imajinasi distribusi pangkat dengan cara malas dan bodoh demi mendapatkan rejeki.
Padahal Gubernur Victor B. Laiskodat mendambakan persis sebaliknya. Dia menginginkan team birokrasinya kuat, liat, ramping dan profesional. Jadi semacam superteam begitu.
Sekali lagi, aneka kasus human trafficking yang marak terjadi di NTT tak jauh dari persekongkolan jejaring hubungan bisnis keluarga dan bagi-bagi keuntungan bersama dalam arena dagang manusia NTT, dagang rakyat jelata. Sinyalemen sekitar kasus ini meluas, tak hanya melibatkan orang sipil, juga melibatkan beberapa aparat hukum dan perusahaan terkait pengiriman tenaga kerja NTT ke luar negeri itu. Keuntungan dari bisnis pengiriman tenaga kerja itu melibatkan aneka aktor dari berbagai entitas politik. Ada mantan aktivis organisasi mahasiswa yang sering demonstrasi (padahal itu hanya semacam sandiwara). Ada aparat penegak hukum yang bertalian dengan bisnis keuntungan pengiriman tenaga kerja itu. Yang jadi korban dari permainan ini adalah polisi Rudy Soik. Semua isu ini terjadi pada rejim pemerintahan Frans Leburaya. Kalangan luas menganggap Frans Leburaya sebagai contoh terbaik untuk melihat rejim gagal nan fatal.
Konon, nama-nama para pemain di TKI dan human trafficking, diduga sudah ada di laci meja Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat.
Karena itu, bagi saya, delapan isu penting yang dilontarkan Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat bukan sekadar hentakan dadakan yang baru untuk perubahan NTT, tetapi sebuah langkah taktis yang sudah dihitung pasti dalam skema yang matang. Saya menduga tahapan langkah Gubernur Victor ini sejenis peringatan serius sekaligus tudingan keras terhadap komplotan jaringan mafia TKI yang bermain-main pada rejim lama. Jadi yang diserang antara lain komplotan politik keluarga rejim lama dan kompradornya.
Jatuh Korban
Belum lama ini, korban mulai berjatuhan. Pekan lalu, Victor Manek, pejabat di Kantor Gubernur NTT, dinonaktifkan dari jabatannya menyusul tindakan pacaran paksa saat berdinas dengan staf magang di kantornya. Kemudian, dua hari silam, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans), Bruno Kupok diperintahkan Gubernur untuk segera dinonaktifkan menyusul pengiriman beberapa TKI paska moratorium diumumkan.
“Saya minta Pak Sekda tadi untuk berhentikan Kadis Nakertrans itu. Saya tidak boleh lihat lagi orang itu besok. Jika besok masih menjabat sebagai kepala dinas, saya tendang kepalanya,” ujar Viktor yang saat itu didampingi Sekda NTT, Benyamin Polomaing.
Apa reaksi khalayak? Reaksi khalayak ramai beragam. Tetapi hanya ada dua blok besar. Blok pertama adalah mereka yang memuji tindakan dan langkah Gubernur Victor B. Laiskodat. Mereka berpendapat, langkah cepat dan tegas Gubernur itu memang harus dilakukan menyusul problem akut yang terjadi pada rejim sebelumnya. Mereka berpandangan, rejim Frans Leburaya, gagal dan lemah. Akibatnya NTT terpuruk di posisi propinsi miskin, derita dan melarat.
Intelektual Universitas Flores, Yohanes Sehandi, di akun facebooknya menulis, Gubernur NTT Pantas Geram. Sangatlah pantas dan wajar kalau Gubernur NTT Viktor Laiskodat di awal pemerintahannya marah dan geram. Mengapa? Karena pendahulunya Gubernur Frans Lebu Raya dan Wakilnya Benny Litelnoni “mewarisi” NTT sebagai Provinsi kinerja terburuk ke-3 dari 34 Provinsi di Indonesia. Lihatlah SK Mendagri Nomor 100-53 Tahun 2018 tentang Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah Secara Nasional, tertanggal 1 Januari 2018. Dalam SK itu, NTT urutan ke-3 kinerja terburuk dengan skor 2.4772, urutan ke-2 Bengkulu dengan skor 2.4444, dan urutan ke-1 Papua dengan skor 2.3086. Gubernur Viktor Laiskodat memulai pemerintahannya di atas fundasi kinerja birokrasi yang bobrok dan amburadul.
Blok kedua, berpandangan bahwa langkah dan tindakan gubernur melanggar hukum. Kata mereka, tindakan Gubernur atas Kadis Nakertrans, Bruno Kupok itu sangat jelas melanggar hukum. Karena itu, Gubernur Victor dapat digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Dua blok ini, memang, memiliki argumentasi masuk akal. Meski demikian, kalangan masyarakat sederhana melihat dan merasakan langkah dan tindakan Gubernur Victor telah membawa suasana sangat baru di NTT, berbeda dengan langgam gubernur Frans Leburaya sebelumnya.
Disebutkan, suasana baru itu antara lain karena Victor B. Laiskodat adalah pemimpin tegas, lugas dan tandas tanpa memperhitungkan risiko resistensi sosial. Dia dinilai sebagai pemimpin yang tidak mencari nyaman dalam kemunafikan, tetapi fokus pada pembebasan rakyat NTT dari derita amat sangat panjang selama ini. Victor Laiskodat tidak takut tidak populer, karena baginya kepentingan rakyat jauh lebih penting dari sekadar kuasa Gubernur lima tahunan itu. Karena itu, Victor tidak takut kehilangan dukungan politik dari blok rejim lama atau para sekutunya.
Rakyat menginginkan pemimpin yang berbeda cara, gaya dan langkah dengan pemimpin lama. Mereka haus perubahan dan tentu saja haus pemimpin tanpa sekat sosial yang rijid. Bebas dari kungkungan suku, agama dan kelompok dukungan politik. Tak perlu ada balas jasa dan balas dendam politik. Bagi Victor, balas dendam yang mulia itu hanyalah melawan semua jenis permainan kaum munafik yang membelenggu rakyat NTT begitu lama.
Tambahan lagi tersebar warta berita bahwa Gubernur NTT, Victor B. Laiskodat, tidak menggunakan sepeser pun uang APBD NTT untuk semua jenis perjalanan kunjungan dinas ke daerah selama sebulan ini.
Disebutkan, pemimpin seperti Bung Victor B. Laiskodat membawa keuntungan bagi rakyat NTT. Alasannya, karena Bung Victor sendiri sudah kaya raya sebelum menjadi Gubernur. Sehingga tidak mungkin kuasa sebagai Gubernur dipakainya sebagai alat untuk memperkaya dirinya sendiri dengan cara bisnis wewenang sebagaimana praktek orang lain.
Menurut mereka, Gubernur kaya sebelum berkuasa biasanya akan berusaha menjalankan pemerintahannya secara profesional dan bersih, sehingga dia tidak mengambil keuntungan melalui mekanisme sirkulasi jabatan staf di kantor Gubernur.
“Tak ada bisnis promosi jabatan, dan tak ada istri dan keluarga terlibat dalam bisnis promosi jabatan,” begitu kata mereka.
Birokrasi yang berbasis bisnis dan perkoncoan itulah justru yang menjadi sebab korupsi di NTT meluas. Korupsi yang berjemaah itu pula mengakibatkan rakyat NTT tetap miskin. Hal itu ditampakkannya melalui pidato 10 September 2018 pada Rapat Paripurna Istimewa DPRD NTT.
“Yang pilih Victor atau tidak itu tidak ada urusan. Suku yang sama dengan Victor itu tidak ada urusan. Agamanya sama pun tidak ada urusan. Selama dia profesional, berkomitmen untuk visi ini, maka kita akan pakai,” tegas Victor.
Tentu saja, Kadis Nakertrans, Bruno Kupok, belum tentu mutlak bersalah. Tetapi, kasus pengiriman TKI paska moratorium TKI, jelas dirasakan Gubernur NTT semacam pembangkangan atau sejenisnya atas instruksi moratorium TKI.
Saya tahu, Bruno Kupok itu orang baik. Dia hanya ingin bekerja sesuai tugasnya. Dia termasuk pegawai setia kepada pemimpinnya. Mungkin dia lalai atau sejenisnya, tetapi secara moral dia tidak sedikit pun berniat untuk melawan perintah moratorium Gubernur NTT.