Oleh: Alexander Aur Apelaby
Dosen Filsafat pada Fakultas Liberal Arts Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten
Dalam tulisannya yang berjudul “Wisata Nonton Paus”: Terobosan atau Kebodohan?” (Pos Kupang, 16/6/2017), sosiolog Charles Beraf mengritik Pemerintah Provinsi NTT yang bekerja sama dengan The Nature Concervacy yang melaksanakan “Lokakarya Business Plan Wisata Menonton Paus di Provinsi NTT.” Pelaksanaan lokakarya itu berkaitan dengan program pengembangan pariwisata di NTT.
Sekurang-kurangnya ada dua poin yang dikemukakan oleh Charles Beraf.
Pertama, pariwisata (turisme) yang dikembangkan di NTT merupakan komodifikasi budaya NTT. Melalui aktivitas pariwisata, Pemerintah Provinsi NTT mengubah budaya NTT dari budaya sebagai laku kehidupan dan laku spiritual masyarakat NTT menjadi komoditi yang dijual kepada para wisatawan demi memperoleh uang.
Charles Beraf mengidentifikasi bahwa sedang dan akan terjadi reduksi ugal-ugalan terhadap budaya NTT melalui aktivitas pariwisata.
Kedua, jika masyarakat tidak dilibatkan sebagai subjek pariwisata, maka aktivitas pariwisata hanya akan mengasingkan masyarakat NTT dari pariwisata itu sendiri dan dari budayanya.
Untuk itu bila hendak mengembangkan pariwisata, maka harus melibatkan masyarakat sebagai subjek dari pariwisata. Dengan demikian, pengembangan pariwisata berkarakter demokratis-partisipatoris.
Jika dipandang dari perspektif antropologi-filosofis, hal-hal yang dikemukakan Charles Beraf sesungguhnya berakar pada hasrat akan kenikmatan.
Hasrat itu terkandung dalam diri manusia. Dalam konteks pariwisata/turisme, hasrat itu disiasati sedemikian rupa oleh para pihak yang berkepentingan secara langsung dengan pariwisata (turisme) untuk tujuan akhir masing-masing pihak.
Ada dua pertanyaan yang dapat ditujukan kepada para pihak yang terkait langsung dengan aktivitas turisme. Apa itu turisme? Apa motif dasar aktivitas turisme? Pertanyaan pertama berkaitan dengan hakekat (ontologi) turisme. Pertanyaan kedua berkaitan dengan motivasi aktivitas turisme.
Terhadap dua pertanyaan tersebut, ada dua jawaban yang mungkin datang dari para pihak yang terkait langsung dengan aktivitas turisme.
Pertama, turisme adalah kegiatan bepergian ke tempat-tempat tertentu oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menikmati segala hal di tempat-tempat yang didatanginya.
Jawaban pertama ini sudah mengandung pula jawaban untuk pertanyaan kedua, yakni motif dasar turisme adalah memenuhi hasrat akan kenikmatan dan memperoleh keuntungan ekonomi.
Bagi para turis, dengan berwisata mereka memperoleh kenikmatan mengunjungi tempat tertentu dan melihat budaya terentu.
Bagi para pelaku pariwisata, mereka memperoleh keuntungan finansial (memperoleh uang) dari aktivitas pariwisata yang mereka selenggarakan.
Dengan demikian, ada dua logika yang beroperasi dalam jawaban-jawaban tersebut, yakni logika hasrat dan logika mendagangkan hasrat.
Logika Kurang Hasrat
Logika dasar turisme adalah hasrat akan kenikmatan. Perihal hasrat akan kenikmatan dan hubungannya dengan turisme, kita dapat menggunakan metode psikoanalisis Sigmund Freud untuk memahaminya. Freud memetakan tiga dimensi metafisis diri manusia, yakni dimensi hasrat (id), dimensi sadar (ego), dan dimensi alam bawah sadar (superego).
Dimensi hasrat bekerja dalam diri manusia secara mekanistik dengan prinsip enak-tidak enak, nikmat-tidak nikmat, dan suka-tidak suka.
Dimensi sadar bekerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan nalar dengan prinsip reflektif, kalkulatif, prediktif, dan antisipatif.
Sedangkan dimensi alam bawah sadar berhubungan dengan dunia nilai yang tertanam dalam diri manusia melalui proses represi terhadap hasrat oleh aparat moral. Dimensi alam bawah sadar bekerja berdasarkan perasaan bersalah saat manusia merasa melanggar tatanan nilai tertentu.
Dengan bantuan pemetaan tiga dimensi metafisis diri manusia oleh Freud tersebut, menjadi jelas bahwa turisme merupakan upaya manusia untuk memenuhi hasratnya akan kenikmatan. Akan tetapi logika hasrat adalah logika kurang. Artinya, pemenuhan hasrat tidak pernah tuntas.
Setiap kali manusia memenuhi hasratnya itu, hasrat itu selalu kurang dan terus-menerus minta dipenuhi tanpa henti. Jika manusia mengikutinya, maka ia terjebak dalam logika kurang hasrat, yakni menjadi budak hasrat.
Logika Mendagangkan Hasrat
Para kapitalis sangat paham mengenai logika kurang hasrat manusia tersebut. Untuk itu mereka mensiasati sedemikian rupa hasrat manusia untuk memperoleh keuntungan finansial.
Siasat yang mereka jalankan adalah melakukan pengkondisian sedemikian rupa, misalnya melalui iklan, agar siapapun menerima bahwa pemenuhan hasrat merupakan hal mutlak. Hasrat yang termanifestasi dalam keinginan (want) diubah oleh mereka menjadi kebutuhan (need).
Pemenuhan hasrat adalah kebutuhan dasar. Para pemilik modal (kapitalis) sudah barang tentu melakukan pengkondisian sedemikian rupa, supaya turisme yang demikian diterima masyarakat.
Pengkondisian itu dengan mudah terlihat pada iklan-iklan destinasi tempat-tempat wisata dengan menonjolkan eksotisme alam dan keunikan budaya.
Iklan-iklan tentang hal itu memenuhi ruang-ruang publik, seperti televisi, koran, radio, internet, seminar, sekolah pariwisata, penyelenggaraan berbagai festival atau ekspo budaya dan alam.
Pengkondisian itu merupakan usaha mengindustrialisasikan turisme. Industrialisasi merupakan modus perdagangan. Industrialisasi turisme adalah mendagangkan aktivitas turisme dan objek-objek tujuan turisme.
Para kapitalis bermaksud menyakinkan masyarakat bahwa turisme bersifat massal dan massif di berbagai belahan dunia dan negara.
Hal itu berarti mendagangkan turisme merupakan sesuatu yang niscaya. Tetapi karena turisme berakar pada hasrat manusia, maka industrialisasi turisme adalah modus mendagangkan hasrat manusia secara massal dan massif.
Pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, ketika mendorong dan mengembangkan pariwisata, sesungguhnya berada dalam alur logika kurang hasrat dan logika mendagangkan hasrat.
Dengan dalil mendorong pertumbuhan ekonomi daerah agar kesejahteraan hidup masyarakat meningkat, pemerintah daerah berupaya meyakinkan masyarakat bahwa turisme adalah cara untuk keluar dari sangkar kemiskinan.
Dalil pemerintah daerah itu terdengar sangat “mulia”. Mungkin karena begitu “mulia” dalil itu, maka jalan yang ditempuh pemerintah daerah adalah mengindustrialisasikan turisme meskipun logika yang beroperasi di baliknya adalah logika hasrat yang selalu kurang dan mendagangkan hasrat.
Cepat atau lambat, kebijakan industrialisasi pariwisata yang bertumpu logika yang demikian menggiring masyarakat dan kebudayaannya berada pada posisi sebagai objek. Artinya, masyarakat dan kebudayaanya dijadikan sebagai objek yang bisa dijual melalui festival atau ekspo budaya. Para turis menontonnya dan membayarnya.
Pada titik itu, hakekat masyarakat dan kebudayaannya hanyalah barang yang bisa didagangkan di dalam industri pariwisata.