Oleh:Adrian Naur
Tinggal di Maumere
“Banyak sudah dijelaskan oleh ilmu. Karena itu, mungkin orang masih bertikai memperbutkan akhirat. Tuhan memberi Demokrasi. Manusia memilih Teokrasi.” Rocky Gerung.
Apakah jadinya jika tidak ada agama? Siapakah yang berani menggotong rasa tangung jawab atas perkara iman kita? Atau mengapa agama selalu dibela?
Pertanyaan eksistensial ini muncul dari keprihatinan kita merujuk fenomena agama yang gencar dipolitisasi di Indonesia.
Dalam kenyataan, agama terkadang dijadikan alat menyerang dan menghasut terciptanya situasi kaos.
Geliat menghasut dan menyerang agama tertentu, menurut Jawaharlal Nehru, selalu memihak “keyakinan buta” dan mendukung “kefanatikan” alias bigotry (Goenawan Mohamad, 1982).
Sikap Infantil
Secara tegas kita katakan bahwa perilaku agamawan yang turun ke jalan dan meneriaki lantang nama ‘Allah’ menunjukkan sikap kefanatikan.
Benarkah agama menjadi alasan mendasar pelbagai persoalan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak.
Pada dasarnya setiap agama tidak menginginkan situasi kaos. Dalam setiap agama diajarkan untuk tidak menjadikan ajaran agama sarana pemecahbelah.
Agama manapun diakui akan selalu menyiapkan jalan kebenaran dan keselamatan (kairos) menuju akhirat. Hanya jalan dan tujuan itu berdayaguna bagi setiap orang yang mau berjuang.
Merunut pada fakta politisasi agama saban hari, sejak masa Orde Baru, ruang agama diintervensi oleh pemerintah.
Kasus penindasan etnis Tionghoa membuktikan kebebasan agama dibredel. Di bawah rezim Soeharto, etnis Tionghoa mengalami tindakan diskriminasi dan aneka pembaharuan. Etnis Tionghoa mesti mengganti nama, dilarang memakai bahasa Cina, tidak diperkenankan merayakan perayaan Tionghoa dan lebih eksrim larangan terhadap pilihan agama yang akan dianut oleh orang Thionghoa.
Klimaks pelbagai persoalan ini pada peristiwa Mei 1998 dimana terjadi pemerkosaan terhadap perempuan etnis Thionghoa di banyak tempat.
Hemat saya, apa yang kerap diberitakan belakangan ini juga menunjukkan sikap infantil masyarakat beragama.
Sikap para agawaman yang memprovokasi massa membuktikan bahwa negara kita masih tunduk pada kepentingan agama atau kelompok tertentu.
Sikap infantil itu menjelma ke dalam kata-kata, tindakan, dan sikap tidak senonoh para provokator. Kalau mau jujur, terdapat banyak ketimpangan pada agama-agama mayoritas di Indonesia.
Bahkan bahaya kepentingan dan ketimpangan agama tertentu lebih kuat dibanding persoalan bersama sebangsa. Di sini kepentingan dan ketimpangan bisa menjelma ke dalam tindakan anarkis.
Kita melihat bahwa sikap seperti itu sebenarnya merupakan psikopati yang menyebabkan hubungan afektif normal dan selalu menjadi problem bagi yang lain (Abd Al’a: 2009).
Agama milik Siapa?
Kita senantiasa digelitik oleh pertanyaan, mengapa kebenaran agama diklaim hanya milik kelompok tertentu? Mengapa Tuhan masih terus saja dibela? Itulah fenomena saat ini.
Pembelaan Tuhan dijadikan urusan agama tertentu. Dan term agama yang benar seolah “ruang kamar” yang hanya dikhususkan bagi kelompok, etnis, dan golongan tertentu. Yang terjadi, ekses kepada Tuhan dikunci. Ada batas penyekat yang memberi jarak antaragama dan Tuhan.
Polemik seputar agama di Indonesia bukan persoalan tabu. Selain kasus dugaan penistaan agama, kita mendengar kelompok tertentu kerap membela Tuhan.
Anehnya tujuan melanggengkan kekerasan atas nama agama selalu disertakan dengan sebutan Allah atau Tuhan. Dalam konsep mereka barangkali Allah atau Tuhan adalah sosok yang haus darah, menginginkan kekerasan, peperangan, perpecahan, dan penindasan.
Kita merasa miris dan pesimis melihat tindakan seperti ini. Mereka yang disebut beragama sering turun ke jalan sekadar menyerukan kebenaran dan keadilan semu. Mereka selalu meneriaki agar keadilan dan kebenaran ditegakkan padahal di satu sisi mereka sedang menciptakan perpecahan.
Salah satu krisis yang dapat menimbulkan tumbuh suburnya kekerasan di Indonesia dipicu oleh rendahnya pengetahuan manusia. Manusia Indonesia mengalami krisis di pelbagai sendi, semisal, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Krisis di pelbagai bidang itu disebabkan, salah satunya, oleh proyek kemajuan mondernitas.
Dewasa ini, kesesatan berpikir merupakan krisis paling akut. Betapa tidak, terkadang kita tersesat dalam budaya modernitas yang terjelma melalui ekses budaya, ekonomi, sosial, dan agama.
Dalam hal ini, agama yang paling gampang dipengaruhi. Disinyalir isu-isu budaya, ekonomi, dan sosial bisa memperkuat adanya disintegrasi. Dan agama dijadikan batu loncatan munculnya krisis dan kekerasan.
Habermas melukiskan krisis tersebut sebagai sebuah Entlgleisung der Moderne, proyek modernitas yang melenceng keluar rel nilai-nilai kemanusiaan universal. Lantas, bagaimana kita membendung sikap irasional agamawan yang demikian?
Terasa amat mendesak kita membicarakan rasionalitas ketika ada bahaya politisasi agama. Pola relasi agama mesti dibangun di atas pola rasionalitas bukan rasionalisasi. Artinya cara beragama yang cenderung membelotkan diluruskan dengan pola argumentatif rasional.
Seorang agawaman tentunya tidak menjadikan dalil-dalil agama ketika berhadapan dengan persoalan intoleransi. Tidak serta-merta juga menggunakan alasan ajaran agama untuk kemudian menyerang agama atau pemeluk agama tertentu.
Hanya, ketakutan praksis kita sekarang ialah adanya pola relasi yang kuat sedang dibangun berdasarkan kepentingan di antara kelompok dan golongan tertentu (FPI, HTI dan Parpol).
Namun, di sisi lain kita melihat agama tidak begitu saja dipelintir oleh sikap dangkal manusia. Institusi agama memiliki daya taringnya untuk merombak segala kemaksiatan mental-mental infantil.
Karena itu, yang perlu digalangkan saat ini ialah memberikan keluasan kepada agama untuk menentukan sikapnya. Agama yang rasional membenarkan jalan kebenaran. Jalan kebenaran begitu luas membentang. Bukan dengan dalil perang, menggunakan bedil, memfitnah, dan apalagi menghujat kafir sesorang.
Jika demikian, kita bertanya Agama milik siapa? Agama milik mereka yang beragama secara rasional dan jauh dari kemaksiatan.