Oleh: Adrian Naur
Tinggal di Maumere
Dalam Filosofi Kopi karya Dee Lestari, Rico De Coro adalah seekor lipas. Ia jatuh cinta dengan seorang manusia. Di tengah perjumpaan ragawi, ia terkesima dengan paras berjenis kelamin perempuan. Nama perempuan dimaksud, Sarah. Sarah mempunyai rambut sebahu, sedikit ikal, kulitnya cerah, dan wangi. Dialah, menurut Rico De Coro, satu-satunya manusia paling menawan di kolong bumi ini. Kisah romantisme, Rico De Coro pun berakhir tragis. Ia memilih mati ditimpuk sandal alih-alih menyelamatkan Sarah. Mati adalah pilihan keadilan paling hakiki Rico De Coro.
Kita sepakat bahwa kehidupan selalu diperhadapkan pada pilihan. Sokrates meneguk racun karena ia mementingkan pilihannya. Ia memilih mati daripada tunduk pasi pada dewa-dewa yang diakui negara. Filosof tua itu merasa lebih baik mati ketimbang berangkat pikun pada umurnya yang mau lewat 70. Mereka yang takut mati, demikian konon ia berujar, membayangkan dirinya mengetahui apa yang tidak diketahui siapa pun juga. Heidegger berbicara kematian. Menurutnya kehidupan adalah pilihan menuju kematian. Begitu seseorang manusia lahir ia sudah terlalu tua untuk mati, demikian Heidegger. Mati adalah keniscayaan. Tidak perlu berdebat soal kematian. Toh, kematian tetap ditempatkan sebagai jalan purna. Tidak ada seorang pun mengelak kematian.
Pernahkah kita menyaksikan keadilan mati di Indonesia? Ya. Demikian jawaban singkat kita atas persoalan pembunuhan masyarakat di Papua, misalnya, yang belum pernah tuntas. Sebagai masyarakat Indonesia, kita kecewa dan sedih lantaran melihat saudara-saudari kita di Papua kerap mendapat perlakuan tidak adil. Mereka menjadi korban ketidakadilan negara yang menjelma bentuknya berupa tindakan kekerasan, intimidasi dan pembunuhan. Sementara kita merasa aneh bin ajaib di sisi lain, para koruptor masih berkeliaran dan bebas mengerus uang masyararakat.
Syahdan, para koruptor dihukum mati di China. Pertanyaan kita, mengapa para koruptor masih dibela? Sebab muasab apa, sehingga tidak sedikit orang melantangkan keadilan bagi para tikus uang? Merujuk ke fakta Indonesia adalah negara tidak adil. Politikus tidak adil. Birokrasi tidak adil. Masyarakat tidak adil. Seluruh tatanan NKRI senantiasa berkecimpung ketidakdilan.
Fenomena ketidakadilan pun merambah hingga ke pelosok. Saat ini sedang ramai dipergunjing tuntutan keadilan terhadap kematian Munir. Sudah sejak lama banyak pihak angkat bicara. Namun, karena ketidakpastian hukum serta ketidaktegasan pemerintah semakin memperuncing masalah. Tidak salah jika pemerintah dinilai lamban dan tidak adil di hadapan hukum. Ditambah kasus Novel Baswedan yang hingga saat ini memasuki hari 500, aktor dibalik penyerangan belum diproses. Kita tidak bisa berandai-andai. Apalagi soal hukum dan keadilan. Pemerintah mesti tegas dan mengambil sikap terhadap kasus Munir dan Novel. Hukum harus ditegakkan.
Kita merasa ketidakadilan itu tampak, pertama-tama, dari para elit. Para elit, adalah para politisi dan aparat kepolisian, yang hanya stagnan menjalankan tugasnya, Entah sampai kapan persoalan Munir dan Novel terus mengambang, kita pun menanti dalam cemas. Ibarat dagelan, mereka adalah aktor di balik pementasan wayang. Seluruh panggung mereka kuasai dan hanya satu orang yang mengontrol aktivitas dagelan yakni, syah. Setelah adegan selesai, tuntaslah pula pementasan. Begitu berita pembunuhan dan penyerangan terhadap kedua aktivis, setelah berita mencuat sejalan dengan itu penetapan pelaku berkakhir. Selesai. Habis. Dimanakah keadilan? Hanya berupa pertanyaan teroritis.
Kekhawatiran kita sangat mendasar saat ini, bahwa pemerintah merasa tidak bersalah atas protes ketidakadilan masyarakat. Kekhawatiran kita beralasan, mengingat tidak ditemukan titik temu ketika masyarkat mengangkat isu keadilan dan penutasan terhadap kasus Munir dan Novel. Mereka sering berorasi. Turun ke jalan. Bersuara. Berteriak. Dilakukan terus-menerus. Sebab masyarakat melihat keadilan didiamkan. Masyarakat berhak menyoalkan segala perkara mereka. Akan tetapi, selalu terpental oleh nafsu kekuasaan.
Kita mengamini kasus demi kasus dibungkus kerangkeng kekuasaan. Tampak bahwa pemerintah seolah lepas tanggung jawab soal ketidakadilan Munir dan Novel. Memang menjadi aktivis adalah pilihan. Para aktivis memilih untuk menjadi corong masyarakat. Tidak salah. Tidak ada satu orang atau komunitas berhak memperkarakan nasib dan pilihan hidup seseorang. Risiko pun ada. Sekalipun nyawa dipertaruhkan. Yang dipersoalkan jika nasib para aktivitis dipelintir oleh nafsu-nafsu kekuasaan, yang bentuknya koruptif, kolusi, dan nepotisme. Dikangkangi dan diperlakukan tidak adil.
Kekuasaan digandrung sebagai puncak kehidupan. Orang yang memiliki kekuasaan berarti menguasai segalanya. Kita berasumsi miris terhadap pemerintahaan lantaran persoalan ketidakadilan HAM terus mencuat dan diamkan oleh kaum elitis. Jika didiamkan terus, akan akan ada letupan pertikaian dan gejolak sosial sewaktu-waktu. Dan itu akan sangat fatal bagi kedaulatan NKRI. Bisa berujung disintegrasi. Korban kemungkinan berseliweran. Kematian tidak wajar menjelma seperti Orde Baru. Bisa jadi nyata terjadi, sebab peristiwa pembunuhan Munir dan penyiraman air keras yang berujung cacat fisik Novel Baswedan adalah satu contoh ketidakadilan dan tumpulnya penengakkan hukum. Semua orang pun mulai cemas. Kita tercenung oleh ketidakwajaran hukum yang berlaku. Manusia justru hadir sebagai homo homini lupus. Mungkin kita kemudian berujar, karena demi memperjuangkan keadilan di hadapan hukum tidak sedikit mati seperti Rico De Coro. Kasihan.