Oleh: Efrem Dianto
Perhelatan pesta akbar demokrasi secara serentak akan kembali tersaji di tahun 2019. Pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan Pemilihan Legislatif dari tingkat daerah sampai Nasional akan menjadi sajian yang menarik.
Beragam strategi politik untuk mendulang suara mulai ditabuh. Baliho dan stiker berbagai ukuran berseliweran di mana-mana. Suhu politik semakin memuncak. Perang opini, perang klaim, perang tagar menghiasi media akhir-akhir ini.
Pada bulan-bulan ini, diskursus seputar perhelatan pesta demokrasi menjadi sajian istimewa di ruang publik.
Ruang publik menjadi hunian penuh amunisi politik. Wacana politik seputar perhelelatan pesta demokrasi berada dan berjalan pada dua garis lurus yang seimbang. Antara kesucian dan kebobrokan politik.
Ketika politik dimanipulasi dan dikerangkeng dalam ruang privat, maka politik akan menjadi boomerang bagi pelaku politik. Pada tataran tertentu, kesucian politik menjadi “mas kawin terlampau mahal” bagi demokrasi.
Kesuciannya direnggut secara paksa oleh aktor politik untuk memuluskan niat politiknya. Kebobrokan politik didesain sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah pembenaran absolut. Metode berpolitik seperti inilah yang menjadi ancaman dan sekaligus keprihatinan banyak kalangan yang mengaku diri sebagai pemangku ‘politik bersih’.
Pemerkosaan terhadap kesucian politik inilah yang sedang menggelinding di ruang publik, seiring dengan persiapan perhelatan pesta demokrasi lima tahunan.
Terdengar cerita miris terkait blusukan para calon yang membawa ‘bekal’ untuk mendulang suara, menyalagunakan jabatan, para PNS terlibat konsolidasi dan bahkan “orang pintar” dengan ritual supranaturalnya pun tidak ketinggalan kereta meramaikan pesta demokrasi.
Politik ‘terkerangkeng’ dalam kepentingan tertentu. Politik tidak lagi menjadi sarana untuk kesejahteraan, akan tetapi mengarah kepada banalisasi politik. Politik menjadi pertarungan dan sekaligus pemecah belah masyarakat. Para calon sebagai representasi dari suara rakyat, mestinya hadir sebagai pembawa persatuan dan bukan memecah belah dengan berbagai macam cara.
Safrianus Suhardi (Pengamat Politik) dalam artikelnya Membangun Politik Pro-eksistensi di Indonesia dalam majalah Gita Sang Surya Vol.13, No. 4 Juli-Agustus 2018 menggambarkan politik menjadi sebuah konstestasi yang menggelikan.
Konsestasi atau pertarungan politik di Indonesia seringkali mengindetikan lawan politik dengan musuh politik. Sumber daya dan strategi politik yang dikerahkan pun lebih bersifat sektarian dan berbasis kepentingan kelompok dan isu-isu primordial.
Upaya-upaya pelemahan kapasitas lawan lewat pemojokan, penyebaran fitnah dan kekerasan primordial semakin menjadi-jadi. Prinsip-prinsip etika pun turut disingkirkan dari ruang pertarungan. Memaknai pertarungan ini akan berdampak pada lahirnya model pertarungan yang tidak peduli dengan eksistensi yang lain. Inikah model komunikasi politik yang hidup di negeri penganut setia demokrasi?
Pesan Untuk Caleg
Salah satu tolok ukur keberhasilan seorang Caleg adalah bagaimana ia mampu membangun komunikasi politik yang disukai rakyat dan bukan mencampakkan visi dan misi politiknya dalam kerangkengnya sendiri.
Komunikasi merupakan media untuk menyampaikan visi dan misi politik ke tengah rakyat. Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa (Astrid, S. Soesanto, 1980:2).
Komunikasi tersebut tidak terlepas dari tata aturan yang mengikat dalam berkomunikasi, seperti etika berkomunikasi. Inilah yang menjadi kunci terwujudnya orientasi politik seseorang.
Komunikasi politik yang dibangun para kandidat tidaklah diragukan. Pilihan kata dan bahasa tubuh yang digunakan sangat memukau dan meyakinkan. Ketika politik dikomunikasikan ke ranah publik, hal yang hendak dituntut di sana adalah seni berorasi.
Nilai seni dari politik, tampak pada usaha memperebutkan kekaguman rakyat. Dengan kekaguman tersebut, rakyat akan digiring pada keinginan untuk mendengar dan menjadikan ketokohannya sebagai figur harapan.
Namun, tidak dapat diinkari bahwa komunikasi politik yang dibangun para kandidat memunculkan persepsi negatif dari rakyat, ketika menjadikan komunikasi politik sebagai ajang menjelekkan kandidat yang lainnya.
Di tengah gemuruh persiapan Pemiu serentak tahun 2019, ada beberapa hal yang menjadi catatan, pertama, komunikasi politik lahir dari pengalaman nyata rakyat. Pemahamana politik rakyat dengan para caleg, sedikit berbeda. Pemahaman politik yang hidup di tengah masyarakat adalah situasi nyata.
Di sini, para caleg harus mampu membaca apa yang terjadi di masyarakat. Mengangkat hal-hal sederhana dan menyentuh kehidupan rakyat, akan mengundang simpatik dan daya tarik tersendiri, karena masyarakat akan merasa tersentuh.
Kedua, komunikasi politik bukan mengumbar janji-janji politik yang mentereng, tetapi lebih pada memberi pemahaman tentang regulasi politik lokal dan nasional. Janji-janji politik tidak lagi menjadi seesuatu yang membawa kemenangan, justru akan menjadi bumerang bagi caleg, karena rakyat saat ini sudah menjadi pemilih cerdas. Janji sudah menjadi lagu lama, yang perlu ditinggalkan.
Ketiga, komunikasi politik harus mampu membangun kesadaran akan pentingnya berpolitik yang benar. Berpolitik secara benar dan dewasa bukanlah pekerjaan mudah. Memberi kesadaran bahwa politik pada dasarnya baik dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak dan bukan sekelompok orang, karena pada dasarnya politik itu baik. Memberi pemahaman politik seperti inilah yang tidak menimbulkan konflik horinsontal di antar masyarakat.
Keempat, komunikasi politik, tidak menjadi ajang menjelek-jelekan calon lainnya. Tolok ukur bagi masyarakat, bukan terletak pada kita bisa menjatuhkan seseorang, tetapi bagaimana komunikasi itu meyakinkan rakyat.
Menurut Efendi Gazali, komunikasi politik yang terjadi di Indonesia pada pergelaran pesta demokrasi menandung dua orientasi yaitu komunikasi politik negatif dengan menggambarkan kejelekan kandidat lain dan komunikasi positifnya terletak pada orientasi murni dari perjuangannya.
Kedua orientasi ini selalu ada pada setiap kandidat, baik yang terang-terangan maupun secara tertutup (Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 2004). Orientasi komunikasi politik negatif ini menjadi tantangan dan sekaligus awasan bagi para kandidat, karena pandangan politisnya akan runtuh. Dia akan menjadi bom waktu, yang setiap saat akan meledak dan menjatuhkan reputasinya di tengah rakyat dan perjuangannya.
Sesungguhnya, komunikasi politik baik secara formal maupun informal yang di bangun para calon haruslah menjadi jalan baginya untuk membuka simpatik rakyat dan bukan menjadi bomerang bagi perjalanannya menuju kursi parlemen.
Di sinilah dibutuhkan komitmen para calon untuk membangun komunikasi yang efektif, efisien dan bersinergi dengan kepentingan rakyat, dengan tidak mengesampingkan etika berkomunikasi. Komunikasi politik yang beretika akan melahirkan kesucian politik. Sebab, politik pada dasarnya merupakan dimensi konstitutif dari hidup manusia.
Ketika manusia memilih untuk hidup bersama dengan yang lain serentak dia menjadi mahluk politis. Perhelatan pesta demokrasi ini, hendaknya tetap menjaga esensi dan kesucian dari politik itu sendiri.
****