Oleh: Ichan Pryatno
Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere
Dalam sejarah demokratisasi bangsa mahasiswa pernah menjadi kelompok opsional, dengan tampil menjadi pelopor dalam pelbagai gerakan resistensial, dan diantaranya nyata dalam momentum revolusi suci 1998.
Karena itu melalui tulisan ini, penulis mau menyoroti kembali gerakan demikian, dengan maksud spirit gerakan tersebut mengunggah mahasiswa kontemporer agar tidak segan ‘mencebur diri’ dalam varian polemik politik aktual, salah satunya ialah soal polemik politik identitas.
Problematisasi Politik Identitas
Akhir-akhir ini, wacana politik identitas kian menyeruak dalam ruang publik. Secara gamblang, menyeruaknya perkara politik identitas dalam skala global erat kaitannya dengan kemengan Donal Trump dalam momentum elektoral Amerika Serikat pada medio 2016 lalu.
Saat itu, kemenangan Trump dalam pemilu AS menimbulkan kontroversi masif. Diduga kuat, para Blue-Collar Worker kulit putih memilih Trump karena ucapan-ucapannya yang primitif dan sekaligus bernada rasistik.
Trump mengedepankan populisme kanan-anti kemapanan- dengan kombinasi janji politiknya “make america great again” dengan sindiran bahwa yang mencuri kesempatan-kesempatan para perkerja itu adalah orang-orang Negro, para imigran Meksiko, dan para pendatang Latino lain, ditambah ancaman islam (Islam-fobia) (Suseno prolog dalam Madung, 2017:iv).
Ucapan-ucapan rasistik demikian dilontarkan hanya demi menyentuh sentimen mereka yakni membawa kembali kejayaan ekonomis pada masa lampau dari bangsa Amerika Serikat. Trump mempolitisasi identitas massa untuk tujuan kemenangan politiknya.
Selain itu, dalam ranah nasional wacana politik identitas menyeruak pada momentum pilkada DKI pada 2017 lalu. Persoalan identitas muncul dalam ruang publik demokratis setelah Ahok dituduh menista agama.
Lantas kemudian gelombang penolakan dan tuntutan memenjarakan Ahok pun meningkat, sehingga akhirnya ia dihukum dengan vonis hukuman 2 tahun penjara.
Namun sejatinya yang terjadi proteksionisme agama digiring untuk menjegal Ahok dalam bursa Pilkada DKI. Maka yang terjadi Ahok gagal menjadi ikon pemimpin saat itu.
Dalam hal ini persoalan Ahok merepresentasikan bagaimana identitas dipolitisasi oleh aktor-aktor politik yang sekarat. Politik identitas dikedepankan dan dijadikan sebagai taktik demi memintal kemenangan politis.
Dengan berkaca pada dua fenomena akbar di atas dapat ditarik benang merah pemahaman bahwa politik identitas diamini sebagai politisasi identitas bersama atau ‘perasaan kekitaan’.
Dalam soal ini, Identitas itu diinstrumentalisasi sekaligus diinterpretasi secara ekstrem guna memperoleh dukungan dari orang-orang yang merasa sama, baik secara ras, etnisitas, agama, kelompok kebudayaan, dan elemen perekat lainnya.
Aktor-aktor politik berusaha memainkan kekuatan perekat kolektivitas demikian dan mengoversikan itu menjadi suara electoral (electoral vote) serta pada akhirnya demi memintal suatu kemenangan politik dalam kontestasi.
Karena itu, karakteristik utama kawasan ini ialah pemanfaatan isu-isu identitas (SARA) sebagai medium meraih dukungan publik dalam kontestasi politik (Masdar Hilmy, Kompas,23 November 2017).
Lebih lanjut, Susan George, seorang pemikir politik, menandaskan bahwa tujuan politik identitas adalah menciptakan dan memperparah keterpecahan, memberi penekanan pada perbedaan dengan orang lain tanpa peduli apakah semuanya itu hanya fantasi atau berdasarkan fakta serta tradisi.
Ia hanyalah sebuah taktik memecah-untuk menguasai (a divide-and-rule tactic) (Priyono dalam Budi Hardiman (ed.), 2014:382). Karena itu, yang perlu dipahami bahwa politik identitas merupakan strategi yang diracik oleh para aktor politik.
Ia berusaha mempolitisasi identitas bersama dan dijadikan sebagai basis perekat kelompok. Ia hanya menjadi taktik politik yang tidak menciptakan bonum commune dan hanya bercokol kepentingan sang calon.
Sejatinya wacana politik identitas diamini sebagai momok menakutkan sebab ia menjadi advocatus diaboli kemapanan demokrasi. Politik identitas menjadi polemik akut bagi demokrasi sebab ia mengebiri nilai dasariah demokrasi.
Jika menelisik lebih jauh politik identitas mengisyaratkan pengabaian konsep pengakuan dan sekaligus adanya usaha memarginalisasi serentak mengabaikan yang lain.
Kelompok lain tidak diakui keberadaan, hak politik, dan hak asasi yang melekat di dalamnya. Pengabaian akan konsep pengakuan dalam kebersamaan ini justru memupuk keretakan sosial dalam frame demokrasi.
Selain itu, politik identitas nampaknya membukam corak kebebasan dalam demokrasi. Politik identitas justru memenggal kebebasan yang pada galibnya menjadi prinsip dasariah dalam demokrasi.
Ia merenggut kebebasan untuk hidup, mematikan partisipasi dalam politik, membungkam kebebasan memilih dan dipilih, dan lain sebagainya. Lebih jauh, persoalan ini mengisyaratkan adanya usaha memobilisasi massa dan mengintimidasi kelompok lain agar preferensi politiknya jatuh ke kalangan aktor politik tertentu.
Radikalisasi Gerakan Mahasiswa
Pasca-kemerdekaan, animo gerakan mahasiwa kian membuncah. Saat era-orde lama misalnya, para mahasiswa sangat gencar melakukan gerakan demonstrasi menetang Soekarno.
Gerakkan tersebut mengatasnamakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), atas anjuran Mayor Jenderal Syarif Thayib. Mereka melakukan banyak demonstrasi, arak-arakkan, dan melakukan konfortasi massif.
Selain itu, pada penghujung kekuasaan Presiden Soekarno, mereka mengetengahkan Tri Tuntutan Rakyat (TRI TURA) dan Tuntutan Hati Nurani Rakyat (TUNHANURA).
Bahkan juga pada medio Oktober 1965; saat soekarno mengalami krisis kepercayaan, tatkala ia mengubah haluan politik ke arah blok komunis, apalagi ditambah massifnya pengaruh PKI saat itu, para mahasiswa melakukan demonstrasi guna menyampaikan isi hati nurani rakyat (Sanit, 1981:87).
Tidak hanya itu, rentetan catatan mengemuka tentang gerakan mahasiswa nyata dalam era-orde baru. Semenjak keganasan Orde Baru mulai merembes, aksi protes mahasiswa kian menyesaki ruang publik demokrasi guna melabrak keculasan rezim Soeharto.
Mereka hadir sebagai peoples power, karena atas kemurnian idealismenya memperjuangankan nasib rakyat. Mereka secara utuh menyelamatkan rakyat dan demokrasi itu sendiri. Mereka secara kolektif bersatu meresistensi berbagai pergolakan dan situasi kebablasan demokrasi saat itu.
Secara historis, dua gerakan besar-besaran yang mengekor protes terjadi pada bulan Juli 1996 dan saat gerakan reformasi Mei 1998, yang pada akhirnya berhasil menggulingkan kediktatoran negeri ini (Lane, 2014:141).
Berkaca pada uraian historis di atas, diyakini betapa mahasiswa berhasil membidik sejumlah predikat mupung dalam mengadabkan perpolitikkan demokratis bangsa.
Dalam pelbagai model gerakan perjuangan, mahasiswa berhasil menjelma menjadi advocatus angeli ketamakkan penguasa.
Karena itu, dengan berpijak pada kaleidoskop gerakan perjuangan demikian, sudah sepatutnya mahasiswa sekarang menghidupkan kembali semangatnya dalam mengadabkan lanskap politik.
Dengan berkaca pada prestasi gerakan mahasiswa di atas, hemat penulis, mahasiswa mesti kembali ‘menggong’ serentak ‘menggigit’ pelbagai polemik dalam politik, salah satunya soal problem politik identitas.
Karena itu, berhadapan dengan persoalan politik identitas wujud resistensi itu nyata dalam: pertama, mahasiswa mesti berdisposisi sebagai seorang intelektual yang mengemansipasi demokrasi dari jebakan politik identitas.
Mahasiswa seyogianya hadir sebagai agen yang membebaskan dan mesti hadir dalam pelbagai usaha kritik publik. Alangkah tidak elok, jika yang terjadi mahasiswa justru menjadi agen tindakan destruktif yang mendistorsi ranah publik dengan mengekalkan dan melegitimasi politik identitas.
Kedua, sebagai akademisi hendaknya mahasiswa mesti turut menggong publik atas problem politik identitas yang terjadi. Konkretisasi atas hal ini nyata dalam usaha sosialiasasi atas problem aktual yang terjadi. Karena itu, mahasiswa mesti mengedepankan panggilan mulianya sebagai agen penyadaran serentak pengadaban publik.
Ketiga, di atas semuannya itu mahasiswa mesti mengdepankan kebajikan intelektualnya (Inosentius Mansur, Kompas, 22 Oktober 2018).
Kekuatan utama dalam frame ini ialah memutlakan semangat kontemplasi atas problem politik identitas yang terjadi. Selain itu juga yang dikedepankan ialah kontruksi sikap kritis mahasiswa atas problem politik identitas itu sendiri.
Di sini penalaran mahasiswa dikedepankan sehingga dengan mudah membedah persoalan yang terjadi dan sekaligus mereka kemudian tidak menjadi alat politik dari para care taker.
Keempat, kelompok mahasiswa mesti mengedepankan semangat kolektif sebagai kekuatan perekatan dalam gerakan perlawanan. Mahasiswa mesti mengepankan persatuan yang disadari sebagai basis utama agar menggoalkan usaha perlawanan.