Oleh: Vinsen Belawa Making
(Wakil Ketua Stikes CHMK –Sekretaris Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia–IAKMI Provinsi NTT)
Anda peserta BPJS Kesehatan? Dalam sebulan berapa kali Anda memanfaatkan jaminan kesehatan tersebut? Jika dikalkulasi, berapa pengeluaran yang dikeluarkan jika anda tidak memiliki kartu BPJS? Apakah menguntungkan atau sebaliknya merugikan?
Inilah pertanyaan yang sering muncul ketika mendengar kata BPJS kesehatan.
Pada Tahun 2014 yang lalu ketika BPJS baru diperkenalkan sebagai sebuah sistem asuransi, saya sempat pesimis dan memberikan awasan lewat beberapa Opini.
Kerisauan saya ternyata terbukti benar bahwa Indonesia belum siap dengan sistem seperti ini. Ketika bertanya pada orang-orang, mereka lebih banyak memilih Jamkesmas/Jamkesda/Jampersal ketimbang BPJS Kesehatan.
Mengapa demikian? Jawabannya terletak pada nilai yang diusung oleh BPJS sendiri yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Nilai ini yang kemudian tidak diaminkan oleh BPJS Kesehatan.
Benarkah ada ketidakadilan didalam sistem ini? Mari kita telusuri.
Saat ini di akhir Tahun 2018, BPJS telah mengalami Defisit sebesar Rp.10 Triliun. Defisit ini telah ditalangi oleh pemerintah sebesar Rp. 4,9 Triliun.
Selanjutnya Pemerintah menyerahkan sisanya kepada BPJS untuk menanganinya tanpa harus meminta lagi pada Pemerintah. Ini kondisi yang sangat miris dan memerlukan solusi segera.
Sebelum mencari solusinya marilah kita mencari akar persoalan mengapa bisa defisit seperti ini terjadi. Siapa penyebab utamanya?
Dalam BPJS Kesehatan terdapat tiga golongan besar: yaitu pertama Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayar pemerintah, kedua Pekerja Penerima Upah (PPU) yang dibayar oleh pekerja dan lembaga tempat bekerja, dan Pekerja Bukan Penerima upah (PBPU), yaitu masyarakat yang membayar sendiri dengan 3 level kelas.
Berdasarkan data dari Wakil Menteri Keuangan yang dibahas di DPR, beberapa waktu lalu, tampak bahwa premi yang dibayarkan pemerintah untuk masyarakat miskin dan tidak mampu (PBI) tidak merugikan.
Hal ini jelas terlihat di Tahun 2017 masih ada Rp 4,6 triliun yang tersisa. Bahkan, sejak tahun 2014, selalu ada sisa dengan nilai total selama empat tahun sekitar Rp 23,3 triliun. Artinya dana pemerintah untuk masyarakat miskin dan tidak mampu tidak digunakan seluruhnya oleh masyarakat tersebut.
Hal ini jelas, sebab pada umumnya warga yang tidak mampu ada di pedesaan dan jauh dari akses pada layanan kesehatan. Jika ada pun umumnya hanya berupa pustu atau Puskesmas. Tidak lebih.
Golongan berikutnya adalah Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) di mana ada Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pekerja formal swasta. Setelah dilihat ini juga tidak merugikan. Selama empat tahun, iuran yang diterima dibandingkan dengan beban yang dikeluarkan BPJS Kesehatan masih ada sekitar Rp 12,1 triliun yang tersisa.
Artinya golongan ini memang berada pada jenjang menengah dan tidak sering menggunakan fasilitas layanan kesehatan. Jikapun ada yang sering tetapi telah disubsidi oleh sesama yang lainnya sehingga tidak memberikan kerugian.
Golongan terakhir adalah Segmen pekerja informal Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Inilah golongan yang merugikan dengan jumlah sangat besar (minus Rp 16,6 triliun tahun 2017).
Total selama 4 tahun ini pekerja informal minus sampai Rp 47,3 triliun. Tampaklah bahwa sejak 2014, PBPU bermasalah. Data di Kementerian Kesehatan (dibahas di Munas Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia di Makassar tahun 2016) menunjukkan hal serupa.
Rasio klaim PBPU di atas 1.300 persen pada 2014, sementara PBI di bawah 80 persen. Artinya golongan ini yang nota bene adalah para orang kaya atau kelas menengah atas paling banyak menghabiskan dana.
Mereka mayoritas berada di kota-kota besar dengan akses yang sangat mudah ke fasilitas terbaik dan dijamin oleh BPJS. Sebagai contoh seorang yang kaya didiagnosa gagal ginjal. Artinya ia hanya cukup membayar Rp. 80.000 perbulan ia mendapatkan pelayanan cuci darah 8 kali sebulan.
Belum lagi berbagai penyakit katarostropik lainnya yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini juga sebenarnya berhubungan dengan upaya pencarian layanan kesehatan.
Golongan menengah ke bawah cenderung untuk pasrah pada keadaan karena jika dihitung biaya perjalanan (rujukan) lebih mahal dan kebanyakan tidak mampu untuk membayar biaya tersebut.
Sebaliknya golongan menengah ke atas lebih agresif mencari pertolongan hingga batas kemampuan dunia medis.
Akar persoalan sudah ditemukan yaitu persoalan ada pada BPPU.
Solusi awal yang ditawarkan yaitu dengan menaikan iuran PBI (dari APBN) jelas tidak bisa. Alasannya, bukan untuk mereka yang miskin dan tidak mampu dan bertentangan dengan asas keadilan sosial.
Apabila kebijakan ini dipaksakan maka sama halnya orang miskin mengsubsidi orang kaya.
Solusi Ada di BPJS Kesehatan
Manajemen BPJS harus terus mengevaluasi semua hal yang ada. Dalam hal peserta PBPU, sesuai UU SJSN dan UU BPJS, BPJS Kesehatan punya tanggung jawab mengumpulkan premi dari masyarakat melalui pembayaran langsung.
Tahun 2017, peserta PBPU 25 juta. Berdasarkan data Wamenkeu, peserta yang rutin membayar hanya 54 persen. Ini persoalanya.
Saya sangat setuju dengan saran yang ditawarkan oleh Prof. Laksono Trisnantoro bahwa BPJS Kesehatan harus mengelola peserta PBPU agar defisit di kelompok ini tidak terus membesar.
Peserta PBPU perlu diteliti dan dikelompokkan kembali. Peserta PBPU yang tidak membayar teratur benar-benar tidak mampu, perlu dimasukkan ke kelompok PBI dengan didanai pemerintah (APBN-APBD).
Aspek lain yang perlu dilihat kembali adalah kebanyakan dari PBPU adalah orang dengan golongan menengah ke bawah. Ketika sakit mereka berusaha untuk membayar iuran tetapi setelah pulih mereka tidak lagi membayar.
Jadi sekali lagi apabila terbukti tidak mampu segera koordinasikan dengan pihak terkait untuk memindahkannya ke PBI, sedangkan bagi yang mampu (PBPU) wajib membayar teratur dengan premi dan dinaikkan berdasarkan manfaat yang diterima.
Celakanya kebanyakan mereka yang mampu (kelas menengah ke atas/orang kaya) berbuat seolah-olah tidak mampu. Kenaikan tarif pada segmen PBPU memang diperlukan untuk mengimbangi defisit yang sedang terjadi.
Selain itu unsur jasa juga perlu diperhatikan lagi sehingga tidak menambah beban defisit yang sudah ada.
BPJS Kesehatan sebenarnya adalah suatu sistem yang sangat baik untuk mengatasi semua persoalan dalam dunia kesehatan.
Kelemahannya hanya terletak pada kesadaran seluruh masyarakat Indonesia tentang pentingnya Asuransi. Contoh sederhana, apabila kita hendak bepergian dengan menggunakan pesawat terbang, berapa dari kita yang secara sadar tahu dan mau membayar asuransi?
Inilah Indonesia dan inilah kita yang selalu terlambat dalam mengambil keputusan awal. Kita lebih suka mengobati dari pada mencegah.
Persoalan PBPU semakin jelas menunjukkan bahwa untuk mencapai rakyat yang adil, makmur dan sentosa masih sulit di Indonesia. Sebab orang mampu/kaya sulit memberi kepada mereka yang tidak mampu dan dengan rasa tak bersalah menggunakan jatah dari mereka yang tidak mampu.
Semoga tulisan sederhana ini memberikan masukan yang berarti bagi kita semua terutama bagi pihak BPJS untuk mengambil kebijakan yang terbaik. Salam Sehat selalu.