Oleh: Paul Randjang
Tinggal di Ritapiret, Maumere
Problem politik identitas selalu menjadi topik hangat dalam diskursus politik nasional. Dalam kaitannya dengan pemilu mendatang, problem politik identitas kembali mencuat dan bahkan ternominasi sebagai tantangan terberat di tahun politik.
Problem Politik identitas
Felix Baghi dalam bukunya, “Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi” (2012: 15) mendefinisikan politik identitas sebagai politik afirmasi ke dalam, lahir dari semangat individu, kelompok sosial, agama atau komunitas tertentu.
Ia bertujuan menegaskan eksistensi dan otonomi diri dalam wujud agama, kultur, etnis, minoritas nasional, dan gerakan sosial.
Dalam hal ini, politik identitas menjadi bagian dari gerakan politik modern yang memperjuangkan hak-hak minoritas, komunitas, dan kelompok sosial tertentu di tengah gempuran arus liberalisme.
Lebih jauh, Nancy Faster, Rethinhking Recognition dalam New Left Review 3, Mei-Juni 2000 menjelaskan, perjuangan politik identitas, yang diistilahkan sebagai Recognition of difference, menjanjikan nilai-nilai perjuangan emansipatoris. Perjuangan paruh abad ke 20 misalnya, menunjukkan gerakan hak-hak sipil kulit hitam, serta gerakan gay dan lesbian atau gerakan suku Indian di Amerika.
Problemnya, gerakan politik identitas kerap kali terjerembab ke dalam format superioritas identitas kelompok tertentu. Ia menegasikan pencapaian bonum commune, dan bertendensi menampilkan nasionalisme agresif, intoleransi, chauvinisme, patriarki, separatisme dan autoritarisme.
Pastinya, problem ini mengingkari multikulturalisme serentak menimbulkan stagnansi dari perjuangan demokrasi yang dikonstruksikan lewat pembentukan demos; dan dalam konteks Indonesia yang beragam etnis, agama, bahasa, budaya, nilai dan identitas.
Fase krusial di Tahun Politik
Di tengah usaha menaikkan elektabilitas, popularitas dan akseptabilitas, elite politik begitu rentan mempolitisasi identitas. Karena itu, Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dalam diskusi publik Mufakat Budaya Indonesia bertema “Menimbang Kembali Konstitusi Indonesia” mengatakan, politik identitas menjadi tantangan terberat menjelang kontestasi politik (bdk. Kompas, 7/11/18). Lalu, pertanyaan yang muncul adalah, mengapa hegemoni politik identitas kelihatan menjadi momok yang sungguh menakutkan menjelang kontestasi politik mendatang?.
Pertama, mencuatnya problem politik identitas kembali mengfirmasi persoalan klasik negara Indonesia, yakni tentang bagaimana meramu diversitas kultural yang incommensurable antara satu dengan yang lain ke dalam satu nuansa politik demokrasi dengan level toleransi tingkat tinggi (Bhagi, op.cit., hlm.14.). Selama ini, dinamika politik dan pergerakan demokrasi kita lebih sering melihat keberagaman yang kaya dan kekayaan identitas, budaya, nilai, agama tidak sebagai rahmat atau berkat, tetapi sebagai laknat yang berkepanjangan.
Kedua, politisasi identitas membahayakan persatuan bangsa. Dalam kaitan ini, ia berpotensi mencedrai faktum multikultural sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 yang menjadi puncak pengakuan keberagaman dan dalam wadah yang satu, satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Seperti halnya dalam Pilkada DKI Jakarta, melalui pola mobilisasi dan polarisasi kekuatan politik, isu SARA mencuat tak terkendali, beranak-pinang membelah bangsa, warga, komunitas juga keluarga. Publik pun menjadi serba agresif, serba vulgar serba emotional bahkan sangat radikal menampakan letupan politis dengan narasi kebencian, penghinaan, gagasan provokasi, maupun antagonistik di ruang publik. Kondisi ini, meminjam Chantal Mouffe, dalam bukunya On The Political (2005), sebagai ranah di mana kekuasaan, konflik, dan antagonisme menjadi unsur pembentukan institusi masyarakat.
Ketiga, politisasi identitas menghambat demokratisasi. Ketika demokratisasi dikonstruksikan lewat strategi politisasi identititas, iklim politik dan diskursus di ruang publik rentan dironai ekspresi destruktif.
Pada level yang amat kronis, iklim demikian menelorkan demokrasi antagonis, demokrasi yang yang hanya memperkuat sirkulasi dendam, kebencian bahkan kekerasan di antara kelompok.
Pada titik ini, keterancaman demokrasi semakin menguat. Laporan freedom House (2018) misalnya menunjukan, bahwa demokrasi sedang diserang dan mengalami kemunduran di seluruh dunia, seiring standar demokrasi Amerika yang mengalami kemerosotan begitu cepat.
Menurut Francis Fukuyama (2018) dalam bukunya yang terbaru, Identity: Contemporary Identity Politics and Struggle for Recognition, sebagaimana dikutip Eko Sulistyo dalam salah satu artikelnya di HU Kompas (bdk. Kompas 13/10/2018) “Politik Identitas dan Resensi Demokrasi”, fenomena kemerosotan demokrasi dipicu oleh praktik politik identitas yang mana ditunjukan dalam pemilihan besar 2016, pemungutan suara di Inggris (Brexit) untuk meninggalkan Eropa, dan pemilihan presiden Amerika Serikat.
Keempat, pengaruh media sosial. Melalui pertumbuhan tekno-kapitalis media sosial yang amat cepat, media sosial menjadi kawasan potensial bagi setiap kelompok untuk berbicara dan pamer aksi. Karena itu, tak jarang kondisi ini turut “mendesain” massa yang menurut Gustave Le Bon, bapak psikologi massa, sebagai massa yang bodoh, bersikap seperti perempuan, mudah diprovokasi, bersifat rasistis atau singkatnya irasional (Hardiman, 2010: 75).
Mirisnya, kelompok massa ini tanpa melalui proses baca tulis yang kuat dan analisis informasi yang mendalam, kian mudah terjerembab ke dalam sikap nasionalisme agresif, serba fanatik dan sangat sensitif dengan isu identitas yang menyinggung eksistensi kelompok mereka. Karena itu, probabilitas terjadinya disharmonisasi relasi semakin menguat dan demokratisasi media sosial hanya akan diwarnai relasi antagonis, penuh permusuhan antarkelompok.
Memperkuat Nalar Publik
Nalar publik adalah konsepsi politik yang dikemukakan oleh John Rawls. Menurut Raws, nalar publik merupakan proposal pemikiran yang pantas digunakan untuk menyikapi setiap konflik pluralisme (Ibid., hlm. 259).
Lebih lanjut, Rawl meyakini bahwa setiap manusia mempunyai energi atau sumber daya untuk mencapai konsensus di tengah perbedaan. Pencapaian ini menjadi ciri utama dari warga negara yang demokratis, karena nalar publik berkenaan dengan nalar dari warga negara yang setara.
Dalam spirit menyikapi politisasi identitas, nalar publik memainkan perannya di dalam memadukan identitas masyarakat. Artinya, nalar publik menggagas dialektika yang mampu menciptakan kondisi “harmonis” antara perbedaaan-perbedaan, memberi penyadaran dan rasa tanggung jawab atas eksistensi “yang lain”.
Hal ini sejalan dengan alur pemikiran Filsuf Kontemporer, Charles Taylor, yang menekankan pentingnya aspek pengakuan dari yang lain dalam membangun identitas, baik individual maupun kolektif (Madung, 2011: 5). Taylor juga menambahkan, bahwa hanya dalam keunikan, entah keunikan ras, agama, suku, gender, atau aliran politik, manusia dapat menjadi dirinya sendiri.
Senada dengan pembahasan di atas, point penting yang harus diperhatikan juga adalah bagaimana nalar publik membentuk kesadaran diri untuk bergerak menuju kesadaran bersama. Karena itu, untuk masuk pada strategi ini, penguatan terhadap nalar publik adalah opsi yang amat penting dengan melibatkan pelbagai elemen fundamental.
Pertama, peran media. Melalui peran edukasi politik, media harus memberi penyadaran kritis bagi masyarakat dengan menjadi menjadi corong informasi yang sungguh objektif, tanpa berkonspirasi dengan kepentingan kandidat tertentu.
Kedua, kaum intelektual. Kehadiran kaum intelektual, kaum cerdik pandai, akademisi, dan cendikiawan melalui pemikiran kritisnya diharapakan mampu “menjernihkan” nalar publik dari praktik politisasi identitas yang berusaha mengaburkan rasionalitas publik.
Ketiga, peserta pemilu. Peserta pemilu diajak untuk berani membangun komunikasi sosial-politik bersih, tanpa memainkan isu identitas untuk kemudian dikonversikan menjadi electoral vote.
Pada akhirnya, problem politisasi identitas harus disikapi secara serius. Karena itu, harus disadari bahwa kekuatan politik elektoral mendatang terletak pada sejauh mana nalar publik sanggup mencermati strategi politisasi identitas.
Lebih dari itu, momentum pemilu mendatang harus mampu mengkombinasikan perbedaan agama, ras, etnis, kelompok sosial dan pandangan politis ke dalam format demokrasi yang benar-benar demokratis dan humanis. Mari menolak politisasi identitas!.