*)Prosa Puisi Karya Martinus Meli
Matahari kemarin menangis tersedu-sedu bersama semburan jingga yang melongo pada buritan kata, menghempas tepas pada makna, selepas senja. Itulah prolog kemarin yang kupinjamkan pada sang empunya kata.
Hari ini sedikit kupinjamkan kisahnya tentang syarat hidup dan syahadat nisan, mungkin dia tahu, pengorbanannya tak seampuh nyawanya, tapi yang pasti kisahnya begitu menghidupkan hingga detik ini, bahkan masih tersimpan bagi yang merasakan arti hidupnya dulu. Namun, ada juga yang menjadikan itu sebagai kiasan belaka dan mengatakan bahwa itulah takdir kaum hawa yang mesti diterimanya.
Dia juga bukan sekejam kata yang menukik ataupun menusuk dirimu saat awal persinggahanmu. Tapi, dia adalah sang pemberi kehidupan kedua yang selalu mencintai dan menyayangimu hingga kini dan bahkan selamanya.
Tahukah kau tentang dia yang kumaksud?.
Ah… Aku terlalu memaksamu untuk mengerti isiku dan bahkan namanya tak asing lagi bagimu untukku paksakan. Tapi, pada kata dan sajakku akan tetap menjadi namanya hingga kini.
Sebulan yang lalu, seorang sahabat karibku mengatakan bahwa hidup ini adalah serangkaian kata yang mesti bermula dari abjad A dan kau harus melaluinya hingga berakhir pada abjad Z. Dan kau tahu sobat, kau pernah melalui semuanya dengan ongkahan-ongkahan tanganmu tanpa melewati jurang dan lembah yang ia lalui, bahkan ia menanggung beban dan memikul setiap abjad, angka hingga kisah kecilmu dulu dalam pelukannya.
Dia rela mengorbankan bagian tubuhnya pada khalayak, agar kau dapat memperoleh kehidupan dari setiap tetes air susu yang mungkin bagimu tidak senikmat bir dan miras yang kau teguk. Namun, dia mampu menahan rasa malunya dan mungkin dia tak pernah malu demi buah hatinya.
Kini, sepotong rindu dan sekumpulan puisi manismu tak mampu memberikan makna yang hanya bertengger pada bibirmu.
Kau hanya mencoba mencicipi setiap makan yang kau lalui bersama waktu sobat. Kau bahkan menangis karena merasa diperbudakan oleh rekayasa sifatmu yang baginya bukan dirimu yang sesungguhnya. Dan kau tahu, tubuhmu telah egois dimakan waktu.
Kau bahkan terlalu pandai merangkai kata dan menenun sajak hingga lupa memberikan kisahnya pada dirimu dan kehidupanmu.
Selepas senja nanti, dia yang kumaksud datang membawakan kisah pergelutannya dengan diarynya hari ini. Sebut saja, dia adalah Sophia, ibu yang menjadi ibu kami.
Ibu yang menenun kisah kami bermula, berbagi sajak pada canda dan tawa, mengiringi hidup kami untuk membagi kasih, menyulam tali persaudaraan. Sebuah puisi epilogku padamu:
Seuntaian senyum mengalir lembut di pelupuk matamu, membasahi air mukaku yang kusam, mendandani artinya hidup, bahwa aku telah terjatuh pada mimpi dan impianmu.***
*Martinus Meli, penikmat kata dalam tanya. Pernah mengenyam inspirasi pada secangkir kopi pahit. Memiliki hoby dengan memungut setiap sajak yang berhamburan dan menenun lirik-lirik kata dan merangkainya menjadi puisi. Lahir dengan selamat pada 11 Mei. Sekarang ini, sedang menekunkan mintanya dengan berjalan mengitari waktu. Pernah menjadi malaikat dalam dunia mimpi dan bahkan berperan sebagai penikmat senja.