Oleh: Yustina Salsinha
Mahasiswi Program Doktor (S3) Fakultas Biologi UGM asal Nusa Tenggara Timur
Tanaman serelia termasuk padi, jagung dan sorghum merupakan makanan pokok dengan persentase konsumsi sebesar 50-80% di wilayah Asia.
Seiring perkembangannya, budidaya tanaman tersebut mengalami hambatan besar berupa kekeringan akibat perubahan iklim. Sebelum adanya revolusi hijau, varietas serelia lokal lebih teradaptasi pada lingkungan semi-arid.
Sayangnya pasca revolusi hijau tanaman ini terpusat pada wilayah ekosistem teririgasi sehingga menyebabkan adanya penurunan produksi tanaman serelia ketika terpapar pada kondisi iklim yang kering.
Sebagai salah satu wilayah dengan kondisi geografis kering, NTT didominasi wilayah dengan curah hujan rendah dalam periode yang pendek. Adanya fenomena El-Nino-Osilasi Selatan (ENSO) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi variabilitas iklim dan curah hujan di wilayah ini.
Dampak yang ditimbulkan mengarah pada peningkatan luasan lahan kering, penurunan produktivitas pertanian serta degradasi keragaman vegetasi lokal.
Di wilayah NTT sendiri, lahan kering mencakup lebih dari 1,5juta ha, sangat jauh dibandingkan potensi lahan basahnya sebesar 284.103ha.
Dengan asumsi jumlah penduduk sebesar 4,9 juta jiwa, jumlah makanan pokok berupa padi yang dibutuhkan untuk konsumsi masyarakat NTT adalah sebesar 552,4 ribu ton yang akan terus mengalami peningkatan sejalan pertambahan populasi manusia.
Dengan lahan potensial yang demikian terbatas, tuntutan untuk menghasilkan 40 persen lebih banyak hasil pertanian pada tahun 2020 untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dalamnya juga semakin mendesak.
Untuk mengatasi masalah keterbatasan pangan akibat perubahan iklim, upaya peningkatan produksi pangan sektoral seperti padi dan jagung telah mulai dicanangkan. Beberapa di antaranya yakni pemanfaatan teknik budidaya seperti SRI (System of Rice Intensification) untuk padi dan double track untuk jagung, serta upaya pemuliaan benih melalui persilangan konvensional.
Intensifikasi pertanian melalui langkah yang telah dilakukan sedikit-banyak telah memberikan dampak positif bagi peningkatan produksi pertanian, meskipun di lain sisi, introduksi benih serelia luar juga turut mengikis keberadaan benih asli di wilayah NTT.
Hal yang disayangkan adalah secara genetis (pewarisan sifat tanaman), keunggulan khusus lainnya seperti ketahanan terhadap penyakit, kandungan nutrisional yang tinggi, ketahanan terhadap cekaman lingkungan (kering, salinitas dan logam berat) yang terdapat pada benih lokal juga ikut hilang akibat introduksi tersebut.
Jika ditelusuri, beberapa jenis benih lokal memiliki karakter ketahanan yang tinggi terhadap perubahan iklim termasuk hama dan kekeringan, meskipun hingga saat ini budidayanya hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat adat tertentu sebagai bagian dari warisan budaya.
Secara teoritis, tanaman serelia dengan jenis tradisional umumnya memiliki kemampuan adaptasi terhadap wilayah iklim kering ekstrem yang diperoleh melalui evolusi dalam jangka waktu yang lama dalam ekosistem tersebut.
Berdasarkan data penelitian dalam jurnal Litbang Pertanian, NTT memiliki lebih dari 20 jenis padi Gogo yang dibudidayakan di wilayah Sumba, khususnya Sumba Barat Daya. Belum termasuk di antaranya 19 jenis padi lokal hasil eksplorasi yang tersebar di wilayah pulau Timor, Flores, dan Sumba.
Benih lokal potensial di NTT juga mencakup sorghum di wilayah Pulau Flores yang toleran terhadap kondisi lingkungan defisit air, dan jagung lokal di wilayah Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Belu, Timor Tengah Utara (TTU), Manggarai Timur, Nagekeo, Kabupaten Sikka, Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Sumba Barat Daya.
Selain potensi ketahanan yang dimiliki, benih serelia lokal juga telah teradaptasi melalui sistem pertanian tradisional-organik. Hal ini memberikan keuntungan karena bersifat lebih ramah lingkungan, mudah dilakukan oleh masyarakat dan tidak menimbulkan efek degradasi tanah akibat penggunaan pupuk kimia anorganik.
Melalui pelestarian jenis serelia lokal dan sosialisasinya, pengadaan benih oleh masyarakat setempat dapat dilakukan secara mandiri sehingga mendukung kedaulatan benih untuk mengantisipasi kelangkaan benih pada masa tanam.
Untuk itu, keberlanjutan pelestarian benih tanaman lokal perlu mendapat perhatian demi tercapainya kedaulatan benih, pemenuhan kebutuhan masyarakat dan mitigasi terhadap kondisi rawan pangan akibat perubahan iklim.