Oleh: N. Rengka Johanes
Penulis, pernah bekerja di Citibank Jakarta
Ada kecenderungan yang menarik pada lima tahun belakangan ini. Yaitu bank-bank besar sudah mulai mengurangi membuka kantor cabang.
Berbeda dengan 15 atau 20 tahun lalu, bank-bank justru sangat ekspansif. Ingin membuka cabang sebanyak-banyaknya. Kalau mungkin sampai seluruh pelosok Indonesia. Sehingga tidak heran, hampir di setiap sudut jalan, kita mudah menemukan kantor cabang atau cabang pembantu sebuah bank.
Tapi itu dulu. Karena konsepnya bank harus mendekatkan diri kepada masyarakat. Agar memudahkan masyarakat menjangkau dan bertransaksi dengan bank. Sekarang sudah berubah. Teknologi semakin maju. Orang bisa bertransaksi keuangan cukup dari telepon genggam. Hanya hitungan detik, transaksi selesai.
Inilah zaman disrupsi, di mana perubahan itu tidak diduga sebelumnya dan kita sudah memasuki Revolusi Induustri 4.0.
Bukan soal disrupsi atau Revolusi Industri 4.0 yang ingin saya tulis. Tetapi masih tentang perbankan konvensional. Mengapa? Karena masih ada hantu yang dihadapi oleh perbankan kita, khususnya bank kelas menangah.
Klasifikasi Bank
Seperti kita semua tahu, Bank Indonesia sudah membuat klasifikasi bank sesuai dengan ukurannya. Secara Umum ada empat kategori yaitu Bank Buku I, Bank Buku II, Bank Buku III, dan Bank Buku IV.
BUKU singkatan dari Bank Umum Kegiatan Usaha dengan kriteria sebagai berikut : Bank Buku I dengan total Modal inti kurang dari 1 triliun, Buku II dengan modal inti 1 – 5 triliun, Buku III dengan modal inti 5 – 30 triliun, dan Buku IV lebih dari 30 triliun.
Patokannya adalah modal inti yang secara sederhana adalah total modal disetor plus laba. Mengapa hal ini penting ? Karena ini menyangkut ekspansi suatu bank. Bagaimana mungkin Bank Buku I, bisa berkembang cepat, kalau modal intinya masih kecil. Kita bisa lihat di Indonesia ada banyak bank Buku I, justru sudah disalib oleh BPR ( Bank Perkreditan Rakyat ). Sama halnya dengan bank Buku II, mereka harus berebut pasar dengan BPR atau perusahaan Multi Finance yang kini juga menjual produk perbankan. Kondisi seperti ini, tentu membutuhkan inovasi-inovasi baru dalam operasional bank.
Lingkaran Setan Bank Kelas Menengah
Paling tidak ada empat hal yang selalu menghantui bank-bank kelas menengah ( Buku II ) dalam menjalankan usaha atau ketika mau melakukan ekspansi yaitu sebagai berikut :
Pertama, rasio CASA ( Current Account dan Saving Account ) terhadap total Deposito. Rasio CASA bank-bank menengah relatif kecil. Rasio yang kecil ini akan menyulitkan bank-bank kelas menengah untuk melakukan ekspansi. Biaya dana ( cost of fund ) cenderung mahal. Karena itu cenderung memberikan kredit dengan bunga tinggi.
Tentu ini akan menyulitkan bank-bank kelas menengah untuk melakukan terobosan dalam penyaluran kredit. Berbeda dengan bank-bank besar ( Buku III atau Buku IV ) yang mana rasio CASA relatif besar, sehingga memberikan banyak pilihan kepada calon nasabah atau debitur. Bunga yang ditawarkan pun relatif lebih kecil.
Kedua, akibat dari Rasio CASA yang kecil seperti disebutkan pada poin pertama, maka konsekuensinya bank-bank ukuran sedang seperti itu akan sulit mencapai skala ekonomi yang besar. Karena sulit mendapat skala ekonomi yang besar ( economic of scale ) maka cenderung berjalan di tempat.
Dalam jangka pendek, akan cenderung menghadapi resiko kredit yang lebih besar. Jika dalam kondisi seperti ini, maka tidaklah bijak apabila pemilik atau pemegang saham memaksa para pengurus bank untuk melakukan ekspansi yang berlebihan. Ini justru akan membuat para pengurus bisa melakukan hal-hal yang tidak lazim.
Ketiga, rendahnya pencapaian laba. Tentu ini konsekuensi logis dari tingginya cost of fund ( biaya dana ) dan skala ekonomi yang kecil seperti dikemukakan di atas. Dalam kondisi seperti ini, agak sulit untuk melakukan diversifikasi usaha.
Keempat, pertumbuhan terbatas. Akibat dari, rasio CASA yang rendah, lalu skala ekonomi yang terbatas, dan pencapaian laba yang kecil maka bank kelas menengah akan terus berkutat pada jejak langkah yang kecil ( smaller footprint ). Artinya ruang gerak bank kurang bebas untuk melakukan terobosan dan terus bergulat dengan persoalan-persoalan klasik perbankan seperti ini.
Terkait Bank NTT
Penulis coba mengintip Laporan Keuangan Publikasi Bank Daerah NTT yang dipublikasikan di Harian Umum Timor Express, tanggal 28 Maret 2018.
Dari angka-angka yang tercantum, ada kenaikan pertumbuhan asset dari Desember 2016 ke Desember 2017, yaitu sekitar 8 persen. NPL ( Non Performing Loan ) net atau kredit Macet cukup rendah yaitu sebesar 1,37 persen. Namun rasio Return on Asset ( ROA ) hanya sebesar 2,98 persen, di mana ini menunjukan kualitas kredit yang diberikan. Mungkin banyak kredit yang kurang lancar, tetapi belum masuk kategori macet.
Tentu ini akan berpengaruh terhadap laba perusahaan. Tetapi yang lebih menarik perhatian penulis adalah rasio LDR ( Loan to Deposit Ratio ) 114,01 persen, yang berarti banyak kredit yang diberikan jauh melampaui dana yang tersedia.
Kebijakan ini merupakan salah satu indikasi bagaimana bank NTT mencoba mengejar pertumbuhan tetapi pada pihak lain menabrak ketentuan OJK ( Otoritas Jasa Keuangan ). Tentu praktek-praktek seperti ini akan tidak menguntungkan dalam pertumbuhan bank itu sendiri. Contoh Bank NTT di atas tentu bukan saja terjadi di NTT, tetapi terjadi di beberapa bank daerah lain di Indonesia
Melihat lingkaran setan yang dijelaskan di atas, lalu apa yang perlu dilakukan? Kalau mau gampang, banknya harus naik kelas, pindah ke bank yang modal intinya lebih besar. Berarti perlu ada tambahan modal. Namun hal ini sering tidak mudah.
People, Product, Policy
Penulis mencoba mengajukan beberapa hal yang barangkali dapat menjadi bahan diskusi yaitu fokus pada pembenahan 3 P (People, Product, Policy / Procedure ).
Tentang People atau manusia, sering menjadi sumber utama ketidakefektifan dalam mengelola bank kecil menengah. Manusia di sini tidak saja pegawai atau staff biasa, tetapi seluruh sumber daya manusia yang ada dalam struktur organisasi termasuk direksi dan komisaris.
Karena itu, pelatihan berkesinambungan menjadi penting. Kita sering mendengar keluhan atau anggapan bahwa pelatihan hanya membuang-buang biaya. Padahal pelatihan adalah kunci utama untuk meningkatkan kualitas manusia dalam suatu bank.
Contoh yang paling sederhana, pelatihan tentang service excellence. Training seperti ini tidak saja hanya untuk customer service, tetapi mulai dari office boy hingga direktur utama. Demikian pun dengan pelatihan-pelatihan lainnya.
Training biasanya mampu membuat orang lebih produktif. Produktivitas selalu bicara hasil. Produktivitas selalu dalam angka dan dapat diukur. Alat ukur produktivitas harus diterapkan untuk semua jenjang, tidak terkecuali. Penerapan Key Performance Indicator ( KPI ) dan Key Behavior Indicator ( KBI ) menjadi faktor penting. Tentu ini perlu disusun secara mendetail dan memerlukan sistem monitoring yang konsisten.
P yang kedua adalah Product. Produk perbankan saat ini harus dibuat lebih inovatif dan lebih menarik. Dengan kemajuan teknologi informasi yang kian pesat sekarang ini, maka bank akan segera digerus oleh perusahaan fintech yang menawarkan jenis produk yang lebih mudah dengan proses yang cepat.
Jika perbankan kelas menengah masih tetap berkutat dengan jenis produk lama, maka ia akan tetap terbelit dalam lingkaran setan yang sama. Karena itu, cara membuat product program harus lebih inovatif dan cepat. Tentu ini tidak mudah bagi bank, karena harus tetap mengikuti regulasi-regulasi dari lembaga otoritas.
P yang ketiga adalah Policy atau Procedure. Kebijakan dan prosedur menjadi kunci penting agar proses bisa berjalan sesuai aturan. Ada formula dalam dunia perbankan yang mengatakan bahwa dalam membuat kebijakan dan prosedur tidak boleh menghambat ekspansi atau pertumbuhan. Semoga !