*)Cerpen Berry Unggas
Kedai Kopi Jujur, begitu namanya. Ramai-ramai para muda-tua datang menghampiri kedai ini. Tentang tujuan, entahlah. Yang tahu hanya Tuhan dan mereka yang sedang menyeruput kopi di sini.
Tidak ada aturan di kedai ini. Tuan kedai kopi tidak melarang bila kau datang sendiri, atau berdua, pun beramai-ramai. Kau bisa menyeruput berapa pun gelas kopi asal kau mampu saja. Toh setiap penjual selalu mencari keuntungan. Kedai kopi ini dibuka mulai dari pukul 15.00-2.00.
Pak Teus, tuan kedai kopi ini, tidak menyediakan waktu pagi bagi para penikmat kopi.
“Pagi terlalu dini untuk jujur”, katanya ketika aku datang menghabiskan sore yang hendak berujung di tempat ini.
Kopinya sederhana. Sama seperti kopi-kopi lain, kopi di kedai ini pun masih berwarna hitam. Kau tetap akan meninggalkan ampas pada dasar gelas. Semuanya hampir sama. Hampir. Satu rahasia besar dari kopi ini yang berbeda dari kopi-kopi lain adalah setelah menyeruput, kau sangat pandai berkata jujur. Lidah kau tiba-tiba sudah melupakan tipu. Jujur kau pun bukan asal-asalan. Jujur kau bersumber dari tanya. Ah barangkali bahasaku terlalu rumit. Maksudku, kau hanya bisa jujur apabila ada yang bertanya. Bukan berbicara jujur tentang segalanya kepada setiap orang, seperti orang gila. Bukan itu maksudku. Jujur kau tak berjangka panjang, hanya tiga puluh menit untuk segelas kopi, sejam untuk dua gelas kopi. Aku tidak begitu percaya ketika pertama kali mendengar berita tentang supernya kedai kopi ini. Barangkali sama seperti kau yang tengah membaca cerita ini.
Kita hanya perlu tahu bahwa ada begitu banyak hal yang melampaui akal sehat, salah satunya adalah segala hal tentang kedai kopi jujur ini. Kedai kopi ini membongkar segala rahasia-rahasia yang kau tanam dalam benak. Maka tak heran bila setiap sore ada penampakan wanita menangis yang dikejar oleh seorang pria, barangkali kekasihnya, di depan kedai kopi ini. Mereka baru saja menuntaskan hubungan karena semuanya telah jujur di kedai kopi ini.
“Dalam gelas ini tak hanya kutaruhi kopi, gula, dan air. Ada juga bubuhan pil jujur. Coba kau minum segelas. Jangan cemas untuk bayarannya. Anggap saja ini pembuktian sekaligus awal jumpa yang mesrah dengan kedai ini”, tawar bapak Teus.
“Apakah setelahnya aku akan jujur”, tanyaku
“Tergantung. Jika kau mempersilahkan aku untuk bertanya, maka aku dan kopi ini akan menjamin bahwa kau akan berkata jujur”.
“Oke aku coba. Segelas kopi gratis dan sebuah pertanyaan darimu. Impas bukan?” ujarku. Bapak Teus hanya tersenyum saja.
Sore itu aku tuntas menyeruput segelas kopi di kedai ini. Setelah kopinya habis, aku tidak merasakan apa-apa. Rasanya sama, aku juga tidak pusing. Aku masih bisa menghitung, di kedai itu sepuluh meja terisi penuh. Di meja nomor 2, 6, 7, dan 8 sebuah ungkap pisah keluar dari mulut empat orang wanita. Pasangannya selingkuh, itu nyata. Sedangkan pada enam meja lain, masing-masing pasangan saling berbagi senyum. Rupanya mereka telah jujur menjalin kasih. Aku lihat, bapak Teus masih membuat segelas kopi lagi. Barangkali dia lupa bahwa dia harus memberikan sebuah pertanyaan kepadaku. Aku mengambil sebuah kursi lalu duduk dekat jendela dalam kedai itu. Pada kaca jendela itu aku melihat sebuah ukiran huruf dari debu-debu yang melekat pada kaca jendela itu. Pikiranku langsung jauh kepada sebuah surat yang kemarin sore menghampiri teras rumah.
“Aku selalu punya mimpi bahwa di suatu hari kita bisa menyeruput banyak gelas kopi agar malam menjadi panjang tanpa harus menutup mata, dan yang kita lihat hanya sepasang mata yang teduh dan pandai berkata jujur”
“Apakah gelasmu sudah selesai?” tanya bapak Teus yang berhasil membuyar lamunanku
“Sudah pak, sepuluh menit yang lalu”
“Sebelum aku bertanya, aku ingin memberitahu bahwa kursi yang tengah kau tempati adalah kursi favorit seorang gadis. Biasanya dia datang jam-jam begini. Datang juga dengan keluh. Sama sepertimu, ia juga datang dengan keraguan pada tempat ini. Ia pernah menyebut sebuah nama ketika aku menanyakan pria yang paling ia rindukan.’ Kata pak Teus.
“Siapa nama wanita itu pak?”
“Ah, tugasku hanya menyediakan kopi jujur, bukan untuk menyeruputnya. Jadi aku tidak harus jujur bukan?”
“Ah, bapak payah sekali”, keluhku. Bapak Teus hanya tertawa
“Kalau begitu, apakah aku sudah bisa mulai bertanya?”
“Silahkan pak, tersisa 20 menit untuk jujurku. Ingat, hanya satu pertanyaan”
“Kau tidak membutuhkan waktu yang lama untuk jujur sebab tanyaku singkat saja. Pertanyaan yang sama untuk gadis itu, siapa wanita yang tengah kau rindukan?”
“Henitma”
Henitma, dialah gadis pengirim surat kala sore hampir habis. Itu sebulan yang lalu sebelum akhirnya kami benar-benar pisah. Alasannya sederhana, dia tidak suka aku menulis puisi. Baginya penulis puisi sama halnya dengan orang yang suka memberi harapan, suka bermain dengan kata-kata indah dan serta menanggalkan janji dan jujur. Demikian kesannya. Setelahnya baru kuketahui bahwa ayahnya, seorang penulis puisi, telah meninggalkan ia dan ibunya saat usianya baru enam tahun. Luka memang. Banyak gadis melihat seorang pria dengan bercermin pada ayahnya. Ayah selalu menjadi cinta pertama seorang gadis.
Henitma bilang ketiadaan jumpa bersamaku lagi adalah suatu cara menghilangkan rasa dan hati yang terpaksa harus patah. Makanya kami tak berkomunikasi lagi, walau pada jumpa setelah pisah di halte bus aku bisa membaca tanda dari matanya yang teduh bahwa kisah sudah mengakar dalam hati dan sanubarinya. Saban hari, aku selalu berdoa agar berani lebih kuat daripada keengganan untuk mengajak Henitma bercengkerama pada suatu sore. Hingga suatu hari berani itu datang walau cukup diselimuti oleh ragu.
“Henitma, apakah bisa menghabiskan suatu sore dengan menyeruput banyak gelas kopi seperti yang kau minta dahulu? Setidaknya aku ingin menggenapkan niat kau, juga niat aku,” ajakku via telepon. Henitma cukup ragu sebelum mengiyakan. Maka ketika ia mengaminkan, aku memberikan alamat kedai kopi jujur.
Maka terjadilah demikian pada hari minggu pertengahan Juli. Bapak Teus menyambut kami dengan senyum, sebab sebelumnya aku sudah bilang padanya bahwa suatu rahasia tentang jujur dalam hidupku akan terungkap di tempat ini. Kami memesan 4 gelas kopi. Izinkanlah aku menamainya kopi kenangan.
“Henitma, apakah kita bisa berbagai tanya setelah menyeruput kopi ini?” tanyaku sebelum menyeruput.
“Boleh, mulai dari tanya kau,” ajaknya
Kami mulai menyeruput. Lebih banyak hening di dalamnya, kecuali bunyi-bunyi seruput yang menyatu dalam bibir kami. Aku melihat jauh pada mata Henitma, ada luka sekaligus kerinduan. Ah, matanya masih saja tak pandai menyimpan rahasia, kataku. Lalu kutatap keningnya, berharap masih dengan kening yang sama, yang pernah merindukan aku dalam-dalam. Bibir mungilnya pernah mengeluarkan litani syukur sebab katanya bibirnya adalah satu dari sekian banyak ketulusan.
Kepada telinganya aku pernah berujar demikian, Henitma, kau pasti diciptakan Tuhan saat Ia sedang tersenyum. Sungguh, satu bagian dari karya Tuhan paling langkah di dunia. Wanita di depanku ini ternyata masih Henitma.
Lamat-lamat menatap, dua gelas kami habis. Ah, sesungguhnya dia duluan yang menghabiskannya. Toh dalam dunia ini selalu ada yang mendahului dan mengikuti yang terdahulu.
“Apakah kau bisa memulai pertanyaanmu?” pinta Henitma yang menciptakan cukup lama hening.
“Mmm, apakah kau masih merindukan aku?” tanyaku ragu. Sebenarnya bukan ragu, aku hanya mau memastikan bahwa ia benar rindu aku.
“Tidak”, jawabnya.
Tidak, ini pasti bualan. Tapi bukankah ini kedai kopi jujur? Aku melihat bapak Teus mulai meninggalkan tempatnya dengan rada kecewa. Ditinggalkannya kami dengan empat gelas kopi yang masih meninggalkan ampas di dasar gelas. Barangkali aku sudah salah memesan kopi? Tapi kenapa rasanya sama seperti jumpa pertama kami? Atau mungkin ada suatu hal yang mengganjal di tempat ini.
“Kalau begitu izinkan aku satu tanya” pinta henitma. “Siapa gadis yang paling kau rindukan?” tanya Henitma tanpa meminta persetujuanku akan tanyanya.
“Henitma” jawabku tulus
Kemarin,
Pagi-pagi sekali seorang wanita bertandang ke kedai kopi jujur. Ia ingin mengembalikan kerinduannya dengan tempat paling teduh. “Kedai kopi jujur tutup”, tulisan depan kedai ini. Tak dihiraukannya tulisan itu. Diambilnya sebuah kunci cadangan lalu membuka kedai itu.
“Henitma, pagi terlalu dini untuk jujur” kata seorang bapak.
“Tapi tidak terlalu dini untuk menyangkal kan ayah? Buktinya ayah meninggalkan aku dan ibu saat pagi hari” ujar wanita itu. Dia anak sang tuan pemilik kedai. Pria itu hanya menatapnya iba sekaligus pasrah.
Wanita itu mengambil tempat dekat jendela, tempat yang paling ia sukai. Dilihatnya ukiran huruf lain di samping ukiran namanya, J ukiran huruf oleh debu itu. Ia jadi ingat akan mimpi besarnya, bisa duduk bersama pria yang paling ia kagumi, menghabiskan banyak kopi lalu berbagi kata dan kalimat jujur. Di tempat ini pula ia pernah menulis pinta kepada kekasihnya untuk meluangkan sore bersama. Ah, ia tidak pandai melupakan bahkan ketika ia harus sekaligus membenci ayahnya.
“Ayah, aku ingin pil penyangkal jujur. Kekasihku dulu ingin mengajakku menghabiskan kopi dan sore di tempat ini besok” pinta gadis itu.
“Untuk apa berbual kalau laki-laki itu adalah pria yang kagumi. Ayah mengenal pria itu cukup baik. Ia tulus. Penulis puisi punya gaya penulisan yang berbeda, begitu pun dengan kehidupannya. Jangan samakkan ayah dengan pria itu. Ia tak pandai melupakan dan meninggalkan kisah” saran seorang pria paruh baya.
“Kalau ayah tak memberikan pil penyangkal, aku tidak akan bertemu ayah lagi” kecam wanita itu.
Maka diberikannya pil penyangkal itu oleh seorang pria paruh baya dengan hati-hati sekaligus tak tega. “Maafkan aku Janu, soremu esok tak seindah anganmu hari ini”, ujar bapak itu setelah anaknya meninggalkan Kedai Kopi Jujur.
*Berry Unggas, sekarang tinggal di Ritapiret, anggota Teater Tanya Ritapiret.