Oleh: Defri Ngo
Anggota KMK Ledalero
Manuver politik di Indonesia telah membentuk suatu pola yang khas, serempak miris dan membahayakan. Politik di Indonesia telah mempunyai dunianya sendiri.
Dunia perpolitikan ini sesungguhnya membuka pemahaman baru tentang adanya pertautan yang intim antara politik dan isu-isu sentimental, seperti agama, kebudayaan dan etnis.
Pertanyaannya, “Mengapa politik perlu menggandeng isu-isu sentimen ini dalam mencapai kesuksesannya? Apakah isu-isu sentimen mengandung dalam dirinya suatu jalan yang memuluskan motif politik?”
Politik yang menggandeng isu agama adalah sebuah situasi yang problematis dan mengganggu kohesi kehidupan berbangsa. Karena itu, kita perlu meneropong persoalan ini secara tepat agar bangsa dan negara kita tetap berada dalam situasi hidup yang harmonis dan kondusif.
Agama sebagai Sentimen Publik
Secara eksistensial, agama dapat dipahami sebagai jawaban dari keluhan manusia sebagai makhluk yang terbatas untuk mencapai kodrat yang Ilahi.
Henry Newman melengkapi defensi ini dengan menyebut agama sebagai suatu sistem relasi antara manusia dan kekuatan tertinggi (supreme power) yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia (exterior) dan yang melampaui manusia (superior) (Remegius Ceme, 1983: 29).
Karena berhubungan dengan suatu kekuatan tertinggi yang bersifat adikodrati, agama tumbuh sebagai kerinduan yang senantiasa hadir dalam diri seorang manusia. Manusia dengan kemampuannya selalu berupaya untuk mencapai keberadaan dari Yang Ilahi.
Pada titik ini, agama tidak sekedar berwujud kepercayaan yang rasional, tetapi telah menjadi pegangan iman yang membatin dalam diri manusia. Agama telah menyentuh sisi sentimentalitas publik.
Sebagai suatu wujud yang sentimen, agama tak jarang memantik perdebatan, kekerasan dan sejumlah persoalan yang berujung pada kematian. Cukup jelas bagi kita situasi abad pertengahan dimana banyak filsuf dan teolog berupaya mengajukan pembelaan radikal tentang keberadaan agama.
Mereka percaya bahwa agama menjadi suatu jawaban total atas segenap persoalan yang membelenggu kehidupan manusia. Historisitas pembelaan agama tampak dalam munculnya teologi apologetik dalam agama Kristen yang berupaya melakukan perlawanan terhadap paham fideisme dan rasionalisme yang muncul pada abad ke-19.
Gereja Katholik dengan tegas mengungkapakan suatu faktum bahwa “extra ecclesia nulla salus”. Dunia dipersepsi sebagai sesuatu yang jahat, sementara Gereja adalah suatu institusi yang tepat dan benar.
Isu tentang sentimentalitas agama kembali mengemuka di Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita, segerombolan massa yang tergabung dalam gerakan 212 dan 411 turun ke jalan-jalan dan memerotes tindakan Basuki Tjhaja Purnama (Ahok), mantan gubernur DKI Jakarta.
Ahok “dituduh” menistai agama Islam dengan menyinggung surat Al-Madinah nomor 51. Sikap ala-martirian itu pada akhirnya berhasil meringkus Ahok dan menjebloskannya dengan naif ke dalam sel penjara.
Massa yang dipengaruhi oleh sentimen agama telah berhasil menyuarakan diri mereka sebagai pribadi yang patut dihargai religiositasnya. Dalam bahasa Karl Marx (1818), agama jenis ini telah berhasil menjadi candu bagi masyarakat.
Hal yang terjadi dengan provinsi DKI Jakarta sebagaimana terlihat di atas adalah kenyataan yang membuka diskurus baru tentang apa sesungguhnya sikap ala-martirian yang dilakukan masyarakat itu. Sikap ala-martirian tidak lain dari ekspresi tentang sentimentalitas agama atas keberadaan publik.
Agama dan Politik: Sebuah Kontradiksi?
Diskursus tentang agama dalam korelasinya dengan politik mencuat ketika peran agama telah merebak dan menjadi suatu kekuatan politik yang baru.
Agama menjadi suatu sarana yang digunakan dalam memuluskan ide politik yang oligarkis, totaliter dan barbarian. Agama menjadi sebuah wajah baru yang berupaya menarik sentimen publik agar turut berpacu dalam model politik para elit penguasa. Pada titik ini, agama telah berubah peran menjadi sebuah instrumen politik.
Dalam kontestasi kehidupan negara Indonesia, pengaruh agama dalam ruang publik telah cukup membuktikan adanya keberhasilan.
Para elit penguasa dengan mudah menggaet suara masyarakat dalam sebuah kontestasi politik agar memilih jagoan yang mereka usungkan. Agama menjadi alat politik yang memicu sentimen publik.
Jika ditelisik lebih jauh, karakteristik ini terlihat dari adanya kampanye dengan isu-isu seputar agama. Calon yang hendak bertarung dalam kontestasi politik berusaha menyulut aspirasi masyarakat dengan membeberkan sejumlah kampanye politik beraroma agama.
Mereka menjanjikan pembangunan rumah ibadat dan sejumlah sumbangan lain untuk meningkatkan dan menunjang ibadah agama tersebut. Hal ini menjadi agenda politik yang dilakukan oleh para elit penguasa untuk memperoleh simpati dari rakyat. Agama menjadi the legal point yang memungkinkan suksesi pemilihan calon pemimpin.
Jika dilihat dari fenomena ini, eksistensi agama tidak lagi berperan sebagai institusi yang memurnikan jalan politik. Agama telah berubah rupa menjadi kekuatan terselubung yang di dalamnya bersembunyi intensi politik para elit penguasa.
Agama telah diinstrumentasi menjadi kekuatan baru yang berupaya menggolkan rancangan dan agenda politik sebuah partai.
Pada titik ini, agama dan politik tidak lagi bertautan secara tepat sebagai kekuatan konstruktif yang membangun keadaban hidup berbangsa. Agama telah memainkan peran yang kondradiktoris dalam peradaban politik.
Mencegah Bahaya Instrumentasi Politik
Berhadapan dengan kenyataan miris pertautan antara politik dan agama, maka sudah sepantasnya masyarakat diberikan pemahaman yang benar tentang realitas eksistensial agama dan politik. Agama sesungguhnya dapat menjadi lembaga pembaharu manakala politik tidak lagi berjalan pada ranah yang benar.
Problematisasi yang menautkan peran agama dalam politik adalah suatu kenyataan yang harus direfleksikan secara tepat.
Karena itu, masyarakat perlu menyadari bahwa institusi agama dan politik mempunyai otoritasnya masing-masing. Otoritas agama adalah kehidupan beriman umatnya, sementara itu politik berupaya membangun dan menyejaterahkan kehidupan masyarakat umum.
Kedua ototritas ini mempunyai suatu paralesasi yang tampak, yakni adanya daya dorong untuk membangun dan memajukan kehidupan guna mencapai kebaikan bersama (common good).
Selain itu, upaya mencegah bahaya instrumentalisasi politik juga dapat dilakukan dengan menanamkan sikap kritis terhadap setiap persoalan yang terjadi.
Kritik dalam konteks ini dipahami sebagai suatu cara menghancurkan obyek kritik dan mengubahnya menjadi baru. Martin Suryajaya menyebut hal ini dengan istilah laku destruksi kreatif (2016:12).
Bahaya instrumentalisasi politik yang menggandeng agama perlu dikritik secara tepat demi mencapai suatu kebaruan dalam tubuh politik di negara kita. Upaya ini menjadi demikian penting ketika kita sedang dihadapkan pada suatu nuansa pesta demokrasi.
Tugas kita semakin berat karena harus memilih satu diantara dua calon presiden yang akan memimpin bangsa kita selama lima tahun kedepan.
Mereka menjadi tongkat estafet yang menentukan kehidupan berbangsa. Karena itu, pertanyaannya, “sudah siapkah kita menjadi warga negara yang antisipatif dan selektif dalam memilih calon pemimpin? Beranikah kita menyelidiki setiap bentuk kampanye dan program yang dicanangkan demi suatu jalan mencapai kebaikan bersama?”
Kiranya, kita tidak tersesat dalam nuansa sentimen yang ditawarkan politik. Salam perubahan!