Labuan Bajo, Vox NTT- Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat berencana akan menaikkan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) di Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), sebesar USD 500 (Rp 7,2 juta) untuk wisatawan mancanegara (wisman) dan USD 100 (Rp 1,4 juta) untuk wisatawan nusantara (wisnus).
Wacana Gubernur Viktor tersebut mendapat respon dari Matheus Siagian, pelaku pariwisata di Mabar.
“Hal ini termasuk harga yang 500 USD itu. Nilai tiket dan detail-detail seperti itu saya rasa harus diputuskan bersama,” ujar Mateus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (7/12/2018).
Menurut dia, wacana kenaikkan harga tiket ke TNK memang telalu dini untuk dilempar ke publik. Sebab, hal ini malah melahirkan beragam tanggapan dan komentar di kalayak.
Meski demikian, ia menilai beragam tanggapan tersebut sebenarnya menunjukkan geliat pembangunan pariwisata di Mabar lebih partisipatif ke depan.
“Melibatkan masyarakat Indonesia, yang membuat agar diskusi dapat dimulai. Inilah demokrasi! Dengan diskusi kita bisa lebih mendalami lagi, menyatukan pikiran, menentukan ke mana arah yang mau kita tuju dengan pengawalan masyarakat,” imbuh Matheus.
Menurut pemilik Restoran Tree Top Labuan Bajo itu, wacana kenaikkan harga tiket ke TNK, perlu ada upaya persamaan persepsi dari semua pihak. Semua pihak seperti, pemerintah, masyarakat dan pelaku pariwisata perlu duduk bersama.
“Intinya, berapa pun yang mau disepakati itu nanti menjadi kesepakatan bersama yang kita hormati. Turis akan tetap datang, berapapun harganya, jangan khawatir. Malah turis yang berbeda yang akan datang. Turis yang peduli lingkungan, turis yang peka terhadap sosial,” ujar Matheus.
Ia mencontohkan Bhutan, ekowisata nomor satu di dunia. Turis yang mau ke Bhutan harus merogoh kantung mereka sebesar 250 USD perharinya.
Contoh lain, kata dia, melihat Gorila di Rwuanda yakni sebesar 750 USD.
“Memang mahal sekali, namun apa jadinya? Apa tamu berkurang? Tidak! Justru sebaliknya orang rebutan mau datang. Justru dengan menaikkan, kita dapat menyeleksi kualitas turis yang datang,” katanya.
Metheus juga mengangkat contoh tentang Kepulauan Galapagos. Di sana airnya sunggu indah.
“Apa orang keberatan bayar mahal ke Galapagos? Tidak, bahkan lebih dari sebelumnya saat Galapagos diobral murah. Dan bagaimana di Galapagos mereka sangat melindungi tenaga kerja lokal mereka, dan juga pelaku pelaku pariwisatanya. Sehingga dampak dari pariwisata betul-betul bisa dirasakan semua orang bukan hanya mereka mereka yang bermodal besar saja,” ujar Matheus
Hal lain yang menjadi masukan Matheus adalah upaya pembenahan berbagai aspek penunjang pariwisata.
Ia menyebut, sebelum mamatok tarif tiket ke TNK secara bersama, maka perlu melakukan pembenahan sampah-sampah
Misalnya, kata dia, melarang semua hotel dan restoran di Mabar untuk memakai kantung kresek atau straw plastik. Perusahan akomodasi dan restoran ini pelan-pelan mengurangi penggunaan plastik.
Tak hanya itu, sebelum mematok tarif juga perlahan-lahan menetapkan aturan operasional kapal-kapal.
“Harus jelas di mana docking, mooring (tambat) permanen, berapa kapal maksimal per titik, dan lain-lain. Semua aturan harus dipatuhi dan pelaku pariwisata juga harus punya disiplin tinggi, disiplinkan turisnya, juga denda orang buang sampah sembarangan,” ujar Matheus.
“Kita bisa belajar dari Singapura kalau soal aturan-aturan, dan terlihat jelas bagaimana rapinya di sana. Bahkan walau Singapura itu kota dan semua obyek wisatanya buatan manusia, turis ramai datang ke sana,” sambung dia.
TNK Harus Dirawat
Dalam rilisnya pula, Matheus meminta agar merawat dengan baik TNK yang merupakan aset Indonesia.
Di TNK, kata dia, adalah tempat terakhir di mana makhluk tertua di dunia ((binatang Komodo) masih hidup. Komodo hanya hidup di atas bumi bumi Flores dan Indonesia.
Tidak hanya itu, TNK adalah rumah. Rumah bagi biota laut dan darat, serta masyarakat pulau. Belum lagi keindahan alamnya yang menjadi sumber penghasilan bagi banyak orang.
Sebab itu Matheus berpandangan, menjaga TNK berarti menjaga bumi Flores. Menjaga bumi Flores berarti menjaga ketahanan Republik Indonesia. Menjaga Indonesia berarti menyelamatkan paru-paru dunia untuk mencegah perubahan iklim.
“Kita semua punya tanggung jawab di sini. Tanggung jawab untuk anak cucu. Bagaimana jika kita lihat komodo sekarang, lalu anak kita hanya dengar dari cerita?” ujar Matheus.
Metheus sendiri sudah menyaksikan bagaimana aktivitas pawisata yang tidak bertanggung jawab merusak laut Bali. Bagaimana akhirnya masyarakat lokal yang tadinya memiliki, sekarang hanya menjadi penonton. Semua ini terjadi kurang dari 20 tahun.
Ia mengaku tumbuh di Bali. Tahun 1990-an, kata dia, banyak hal yang ia saksikan. Matheus melihat Legian Kaja yang dulunya hutan bambu tempat petani memanen rebung, sekarang menjadi pertokoan.
“Sunset Road, Seminyak, semuanya; dulunya tempat bersarang burung-burung yang migrasi. Sekarang? Berubah menjadi pertokoan, dan tak ada satupun yang dimiliki oleh orang yang saya kenal dulu,” katanya.
Bagi Matheus, Bali adalah bukti bahwa pembangunan kepariwisataan memiliki konsep proteksi yang baik. Proteksi antara lain, melindungi masyarakat, budaya, dan ekosistem alam.
Ironisnya, wilayah yang dikonsepkan oleh pemerintah seperti Nusa Dua malah tidak berkembang. Sementara perkembangan area Kuta yang di luar rencana malah sangat pesat.
“Tapi ya begitu, karena tidak direncanakan dengan baik, jalannya sempit, saluran air tidak benar, gang-gangnya gelap, macet; prinsipnya perkembangannya tidak memiliki sifat proteksi,” ucap dia.
“Belum lagi bicara soal kriminalitasnya. Atau efek negatif wisatanya. Saya berdoa semoga Ubud dan area lainnya dapat direncanakan dengan lebih baik agar masyarakat dapat lebih berpartisipasi,” sambung Matheus.
Ia meminta, orang Flores bisa belajar banyak dari pembangunan kepariwisataan di Bali. Tentu saja belajar pembangunan yang baik di Bali. Sedangkan yang buruknya bisa menjadi pelajaran yang tidak perlu dilalui lagi dalam pembangunan pariwisata ke depan.
“Ke mana arah pembangunan pariwisata di Flores ini? Apa kita mau ke arah mass tourism, menjadi Kuta kedua? Halong Bay kedua, yang air lautnya berubah keruh karena warna oli? Thailand kedua, yang pantainya rusak karena filmnya Leonardo Di Caprio yang The Beach itu?” tandasnya.
“Saya rasa, kita di Flores bisa belajar dari best practice yang lain di dunia, yang sesuai dengan misi kepariwisataan Indonesia, wisata berbasis lingkungan yang berkelanjutan. Yang berpihak pada masyarakat. Yang berpihak pada proteksi alam. Apa tuh namanya? Sustainable eco-tourism,” sambung Matheus.
Ia pun mengajak agar menyepakati bahwa keindahan alam dan satwa Komodo adalah sesuatu yang tidak ternilai dan harus dijaga. Mass tourism tidak bisa menjadi tujuan pembangunan pariwisata.
Dikatakan, dahulu TNK pernah melakukan assessment. Jumlah pengunjung maksimal pertahun 50.000 orang. Itu kapasitas carrying capacity Taman Nasional Komodo.
“Kata mereka, 50.000 orang pertahun masih aman, di luar itu bisa membahayakan keseimbangan alamnya. 50.000 pengunjung pertahun ini adalah angka yang lama sudah kita lampaui. Bagaimana kita bisa memajukan pariwisata tanpa kita membahayakan atau coba-coba sama alam? Di sini semua pihak harus duduk bersama, pemerintah dan semua pelaku pariwisata duduk bersama,” pungkas Matheus.
“Perencanaan yang matang adalah kunci keberhasilan. Konsep yang jelas menjadi dasar fondasi, semacam kompas yang bisa menjadi arahan dari perencanaan perencanaan kita. Tanpa perencanaan dan konsep yang jelas tempat ini akan jalan tanpa arah. Mari bersama kita arahkan pembangunan pariwisata pulau Flores ke arah yang lebih baik, semua masukan masukan akan bernilai sekali. Jangan bosan-bosan beri pemerintahmu masukan,” tutup Matheus.
Penulis: Ardy Abba