Oleh: Viktorius P. Feka
Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM
Beberapa hari belakangan ini, UGM digemparkan dengan berita kasus kekerasan seksual (pemerkosaan) kala mahasiswa melakukan kerja kuliah nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku pada Juni 2017.
Walau peristiwa itu terjadi setahun silam, kasus ini menguak kembali. Hal ini karena penanganan kasus itu belum tuntas hingga saat ini. Sebagaimana diberitakan media kampus, http://www.balairungpress.com// edisi November 2018 bertajuk “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan”, kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh HS terhadap Agni (nama samaran) itu sepertinya tetap jalan di tempat.
Agni merasa di-‘cuekin’ pihak Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM, dulunya LPPM), sehingga ia terus mencari keadilan dengan melaporkan kasus yang menimpanya kepada pejabat fakultas (Fisipol) dan pejabat rektorat. Laporannya ke pihak fakultas dan rektorat memang disambut baik dan diproses sesuai dengan mekanisme yang berlaku—menurut saya—cukup adil—kasus ini tetap tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja.
Ada hal urgen yang perlu digugat. Gugatan itu ditujukan kepada Koordinator Mahasiswa Subunit (Kormasit), Koordinator Mahasiswa Unit (Kormanit), Dosen Pendamping Lapangan (DPL) KKN, dan lebih khusus lagi kepada salah seorang pejabat DPkM UGM. Pihak-pihak terkait ini, dalam pembacaan saya, seakan membiarkan peristiwa pemerkosaan itu. Pemerkosaan itu seolah dianggap hal yang remeh-temeh. Tak ada masalah apapun.
Itulah sebabnya, penanganan kasus tersebut tetap mandek. Tapi, syukurlah Agni dan Tim Badan Pers dan Penerbitan Mahasiswa (BPPM) Balairung masih terus berjuang untuk meraih keadilan. Alhasil, kasus tersebut saat ini sudah masuk dan sedang dalam tahap penyelidikan aparat kepolisian, baik dari Polda Maluku maupun Polda DIY (detiknews.com, Kamis 22 November 2018).
Tulisan ini tidak akan membahas proses penyelidikan kasus tersebut, tapi secara khusus hendak menggugat pernyataan salah satu pejabat di DPkM UGM yang tidak disebutkan identitasnya dalam pemberitaan balairungpress.com, lantaran ia menilai Agni turut bersalah. Selain menilai bahwa Agni ikut berperan atas kasus pemerkosaan, ia juga menyayangkan Agni yang melibatkan pihak luar, yaitu Rifka Annisa.
Menurutnya, kasus Agni lebih baik diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan, sehingga tidak mengakibatkan keributan. Yang lebih fatal daripada itu adalah ketika ia menganalogikan Agni ibarat kucing yang diberi gereh (ikan asin) seperti kutipan berikut:
“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa Jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” tuturnya menganalogikan.
Analogi ini, menurut saya, sangatlah prematur disematkan kepada Agni selaku korban dugaan tindakan pemerkosaan. Analogi ini seolah dilihat sebagai alasan paling top untuk menghentikan kasus itu, padahal belum tuntas penanganannya.
Sedih memang ketika Agni dianggap seperti kucing yang selalu mencari gereh (ikan asin). Analogi semacam ini patut digugat, dan saya akan menggugatnya dari sudut pandang kajian Wacana Kritis. Hal ini karena analogi itu adalah wacana yang telah diproduksi dan didistribusikan media kepada khalayak ramai (masyarakat luas) untuk dikonsumsi, walau ada ketimpangan dalam praktik kewacanaan dan sosiokultural.
Analogi Bias Gender
Analogi itu, dalam kajian Wacana Kritis, membuntingi ketimpangan sosial yang perlu diaborsi. Ketimpangan itu adalah perendahan (peminggiran) terhadap Agni selaku representasi kaum perempuan.
Agni dan perempuan dianggap sebagai pelaku utama kasus pemerkosaan. Agni dan perempuan dipandang sebagai penyebab utama kasus kekerasan seksual. Harkat, derajat, dan martabat Agni dan perempuan seakan diletakkan di bawah telapak kaki dominasi laki-laki. Perempuan, dalam kasus kekerasan seksual, misalnya, seolah menjadi pihak utama yang mesti bertanggung jawab, laki-laki tidak perlu.
Logika analogis seperti ini harus diperiksa ulang karena mencetus bias gender dan sosial. Disebut demikian karena perempuan, bila tak berlebihan, seolah adalah manusia pendosa dalam pelbagai aksi kejahatan seksual, baik yang berupa fisik maupun yang berupa verbal.
Perempuan, walau menjadi korban dalam kasus kekerasan seksual, misalnya, tetap saja dianggap sebagai pelaku (utama). Ketimpangan sosial seperti ini, menurut Fairclough (1995:46), bisa saja dipicu oleh kuasa dan status.
Pandangan ini mungkin bisa saja benar karena bila melihat latar belakang Agni dan salah seorang pejabat DkPM itu, ada jarak kuasa dan status sosial yang jauh berbeda: Agni adalah mahasiswi, sedangkan salah seorang pejabat DkPM itu adalah ‘orang penting’ di UGM. Relasi kuasa dan status yang berbeda seperti ini kerap memproduksi wacana yang timpang.
Fakta ketimpangan itu bisa dilihat dari analogi yang digunakan. Analogi itu dari kacamata linguistik fungsional sistemik (LSF) ala Halliday (2004), mengandung satuan lingual (kata-kata) yang timpang. misalnya, kata ‘jangan’.
Kata ‘jangan’ dalam penggalan analogi di atas sesungguhnya mengandung perintah dan larangan. Perintah agar Agni menerima saja kenyataan yang dialaminya dan mungkin saja agar Agni mengaku sebagai pelaku tindakan pemerkosaan yang menimpanya; dan larangan agar Agni tak boleh lagi mencari keadilan atau menggempar-gemporkan kasus itu, karena Agni bukanlah korban.
Hal ini juga bisa diketahui dari penggunaan kata ‘pasti’ sebagai modalitas untuk menegaskan adanya kepelakuan Agni dalam kasus tersebut. Sampai di sini, Agni mungkin saja sudah dicap sebagai pelaku aktif dalam kasus perkosaan, sedangkan HS dianggap sebagai objek pasif. Semacam verba (kata kerja) ‘memperkosa’ itu hadir karena Agni yang menimbulkannya; dan karenanya, Agni adalah pelaku dari verba itu. Sementara itu, HS menjadi objek yang dikenai verba ‘memperkosa’. HS seolah menjadi ‘penderita (pasien)’.
Agni dianggap sebagai pendampak (baca: pemerkosa) dan HS sebagai terdampak (baca: terperkosa). Saya kira, analogi itu keliru besar dan pantas ditentang.
Soalnya, dari sisi fitur makna (semantik), Agni itu adalah manusia, berjenis kelamin perempuan, remaja (dewasa), yang tak boleh diibaratkan dengan kucing. Kucing, dalam fitur semantik, adalah binatang, entah jantan atau betina. Ibarat kucing yang bisa mencium-cium atau memakan gereh¸ Agni pun dianggap sebagai pihak yang menginginkan adanya tindakan pemerkosaan kala menerima rangsangan dari HS. Agni dilihat sebagai pihak pertama yang memulai dan kian aktif dalam kasus pemerkosaan itu, sedangkan HS tidak demikian. HS semacam hanya dilihat sebagai pihak yang diam menerima aksi perkosaan alias objek pasif.
Maka, sampai di sini, saya sepakat dengan pernyataan sikap BEM UGM sebagaimana diberitakan tirto.id edisi 8 November 2018 sebagai berikut: pertama, BEM UGM “mendesak UGM untuk menyusun regulasi terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang jelas dengan menggunakan perspektif keadilan gender; kedua, “mendorong UGM untuk menyusun modul panduan wajib mengenai cakupan dan limitasi kekerasan seksual, konsensus, dan cara-cara pelaporan kasus-kasus serupa sebagai tindakan preventif di masa mendatang; dan terakhir, “mendesak UGM untuk membentuk unit khusus pencegahan, pengaduan, dan penindakan kekerasan.”
Saya khawatir, jika UGM tidak segera menuntaskan kasus ini dan menanggapi poin penting yang diajukan BEM UGM, akan muncul lagi kasus serupa lainnya. Sebabnya adalah semacam ada tindakan permisif beberapa oknum pejabat DPkM UGM terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni. Jangan sampai “konsensus” ataupun legalisasi kekerasan seksual di kampus terjadi. Ini adalah alarm yang mesti lekas diantisipasi.