Ruteng, Vox NTT- Edi Danggur, seorang dosen di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta turut menyampaikan sorotannya seputar penyerahan hibah tanah milik Pemda Manggarai kepada PT Pertamina.
Menurut Edi, Bupati Manggarai Deno Kamelus masih memakai pola pikir dan Undang-undang yang sudah almarhum dalam proses penyerahan hibah sebidang tanah di Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok itu.
“Menurut kami, dalam memahami hibah ini Deno masih menggunakan pola pikir lama yang dibangun dari literatur yang sudah usang dan Undang-undang yang sudah almarhum,” ujar Edi kepada VoxNtt.com, Rabu (12/12/2018) malam.
Ia menyatakan, mahasiswa di Ruteng sudah melakukan dua rangkaian demonstrasi yakni pada Sabtu (8/12) dan Rabu (12/12).
Tujuannya sama yaitu menolak kebijakan Bupati Deno menghibahkan tanah bersertifikat Hak Pakai atas nama Pemda Manggarai seluas 24.640 M2 itu kepada PT Pertamina (Persero).
Untuk meyakinkan mahasiswa bahwa hibah itu tidak melanggar hukum, kata dia, di hadapan mahasiswa Deno menyampaikan bahwa Pertamina adalah perusahaan Negara.
“Deno pasti sadar bahwa hibah itu menyebabkan berkurangnya aset tanah daerah milik rakyat Manggarai. Sedangkan di sisi lain harta Pertamina menjadi bertambah,” ujar Edi Danggur.
“Apakah benar Pertamina itu Perusahaan Negara? Apakah kekayaan Pertamina merupakan kekayaan Negara?” tanya dia.
Sekilas peristiwa dan sejumlah pertanyaan penting tersebut mengantarkan argumentasi Edi hingga menyebut, Bupati Deno masih menggunakan pola pikir lama. Ia menilai pola pikir ini dibangun dari literatur yang sudah usang dan Undang-undang yang sudah almarhum.
“Kalau Bupati Manggarai punya persepsi bahwa Pertamina adalah Perusahaan Negara, maka ia akan terjebak dalam kesesatan berpikir bahwa kekayaan Pertamina adalah kekayaan Negara,” tukas seorang Advokat asal Manggarai yang berdomisili di Jakarta itu.
Edi Danggur beralasan, dari segi penggunaan istilah Perusahaan Negara saja, Bupati Deno sudah salah.
Sebab sejak diundang-undangkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tanggal 19 Juni 2003 atau sejak 15 tahun lalu, maka istilah Perusahaan Negara tidak lagi dikenal atau sudah dihapus dari semua Undang-undang dan literatur hukum bisnis.
Pada Pasal 94 UU Nomor 19 Tahun 2003, lanjut dia, ditegaskan bahwa dengan diundang-undangkannya UU ini, maka Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dinyatakan tidak berlaku lagi.
Mengapa UU tentang Perusahaan Negara diganti? Alasannya, kata Edi Danggur, dapat dilihat pada bagian pertimbangan huruf d.
Di situ diterangkan karena konsep Perusahaan Negara tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian dan dunia usaha yang semakin pesat, baik secara nasional maupun internasional.
“Bagi orang yang berlatarbelakang studi hukum, akan sangat hati-hati dalam menggunakan istilah, sebab tiap istilah mempunyai implikasi hukum yang berbeda,” kata Edi.
Ia menegaskan, karena Deno mempunyai persepsi bahwa Pertamina itu Perusahaan Negara, maka kekayaan PT Pertamina (Persero) di matanya merupakan kekayaan Negara juga.
Menurut Edi, hal ini kesesatan yang sangat fatal. Sebab hibah tanah rakyat Manggarai kepada PT Pertamina (Persero) dianggap hibah untuk meningkatkan kekayaan Negara.
Edi menambahkan, di level nasional, pada tahun 2006 pernah ada perdebatan terbuka antara Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Jaksa Agung ngotot bahwa kekayaan BUMN Persero, termasuk PT Pertamina adalah kekayaan Negara.
Sedangkan Menteri Keuangan berpendirian sebaliknya bahwa kekayaan BUMN Persero bukan kekayaan Negara.
Kedua pejabat ini pun sepakat minta fatwa Mahkamah Agung (MA).
Setelah mengkaji beberapa Undang-undang terkait, MA pun menerbitkan fatwa yang menegaskan bahwa kekayaan BUMN Persero bukan kekayaan Negara. Jadi, kekayaan Pertamina bukan kekayaan Negara.
Adapun ketentuan hukum yang mendasari fatwa MA tersebut, terang Edi Danggur adalah sebagai berikut;
Pertama, kekayaan BUMN Persero merupakan “kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Menurut dia, penjelasan Bupati Deno yang menyebut aset fisik di Pertamina tetap tanggung jawab Negara.
Begitu pula penjelasan bahwa aset Pertamina milik perusahaan, tetapi saham PT Pertamina dikuasai oleh Negara.
Baca Juga: Deno: Aset Fisik PT Pertamina Tetap Tanggung Jawab Negara
Penjelasan-penjelasan ini, kata dia, sangat jauh dari ensensi pengertian “kekayaan Negara yang dipisahkan”.
Dikatakan, Pasal 1 butir 10 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengartikan kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai kekayaan Negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perusahaan Umum, serta perseroan terbatas lainnya.
Kedua, pengelolaan PT Persero termasuk PT Pertamina tunduk pada ketentuan UU PT. Hal ini ditegaskan pada Pasal 11 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Di situ ditegaskan bahwa terhadap PT Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang kemudian telah diubah dengan UU Nomor 40 Tahun 2007.
Karena itu, menurut Edi tindakan Bupati Manggarai menghibahkan tanah milik rakyat Manggarai seluas 24.640 M2 tersebut bukan dalam rangka meningkatkan kekayaan Negara. Tetapi dalam rangka menguntungkan korporasi yang bernama PT Pertamina (Persero).
“Dengan hibah itu Bupati berpikir bahwa rakyat Manggarai ikut meningkatkan kekayaan Negara,” ujar mantan pengacara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tersebut.
Dengan demikian, lanjut Edi, praktik hibah ini berpotensi melanggar larangan melalukan perbuatan memperkaya orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Penulis: Ardy Abba