Kupang, Vox NTT- Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat dinilai tidak konsisten dengan janjinya soal moratorium tambang.
Hal tersebut karena, isi Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Penghentian sementara pemberian izin usaha pertambangan di NTT tidak mencerminkan semangat yang disampaikan Gubernur Laiskodat pada saat kampanye beberapa waktu lalu.
Demikian inti pernyataan Justice, Peace, Integrity of Creation (JPIC OFM), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT seperti yang ditertuang dalam Press Release yang diterima VoxNtt.com, Kamis (13/12/2018) malam di Kupang.
Berikut ini adalah Press Release yang diterima media ini.
“Isi Pergub Moratorium Tambang di NTT Tak Segarang Pernyataan Victory – Joss”
Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi (Victory-Joss), dalam masa-masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur beberapa waktu lalu dengan garang bicara di depan publik untuk melakukan moratorium pertambangan mineral dan batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pernyataan dua politisi yang didukung Partai NasDem, Golkar, Hanura, dan PPP ini bak angin surga, menjanjikan masa depan gemilang bagi publik NTT, terutama masyarakat di lingkar tambang yang sudah puluhan tahun berjibaku dengan persoalan tambang.
Pernyataan yang sama kembali ditegaskan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi pada saat dua politisi ini dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT terpilih untuk Periode 2018-2023.
“Tambang bukan pilihan yang baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT” ujar Viktor Bungtilus Laiskodat (Tempo, 10 September 2018).
“Izin yang sudah ada dan masih berlaku akan kami cabut. Izin yang sementara proses akan dihentikan”. ujar Yosep Nae Soi, saat kunjungan pribadi kepada Uskup Maumere, Mgr. Gerufus Kherubim Parera, SVD (Pos Kupang, 8 September 2018).
Pernyataan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi yang semula memberi harapan bagi masyarakat NTT ternyata berbanding terbalik dengan isi Peraturan Gubernur NTT No 359/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disahkan pada 14 November 2018.
Pergub ini justru hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan financial yang, ujungnya hanya akan bermuara pada aspek tatakelola semata seperti clean and clear dan kewajiban keuangan perusahaan sebagaimana tertuang dalam Diktum Keempat poin b yang berbunyi ‘melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan financial terhadap pemegang izin usaha pertambangan yang ada dan merekomedasikan kelayakan operasi dari pemegang IUP dimaksud’.
Parahnya lagi, Pergub yang ditandatangani Viktor Laiskodat ini hanya berlaku satu tahun (Diktum Ketujuh), dan hanya menghentikan sementara pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara di provinsi Nusa Tenggara Timur (Diktuk Kesatu). Artinya yang dimoratorium itu hanya sebatas penghentian kegiatan pertambangan yang ada dan izin tambang baru sembari melakukan evaluasi izin tambang eksisting yang semuanya berpotensi tetap beroperasi selama dinyatakan layak secara administratif.
Seluruh isi dari Pergub ini tidak ada satu diktum pun yang mencerminkan keseriusan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi untuk menghentikan pertambangan di NTT sebagaimana digembar-gemborkan pada saat kampanye dan pidato perdana waktu pelantikan.
Mestinya, moratorium tambang di NTT harus berbasis pada fakta empiris, soal sumber penghidupan mayoritas masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian dan peternakan. Mengingat, kehadiran tambang di NTT sudah menimbulkan kerusakan yang amat parah-tak terpulihkan, seperti yang terjadi di Serise, Tumbak, Satarteu, Lengkololok di Manggarai Timur; Robek, Maki, dan Timbang di Manggarai; Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan di Belu; Oenbit dan Biboki di Timor Tengah Utara, Supul dan Mollo di Timor Tengah Selatan; dan Wanggameti di Sumba Timur; Prai Karoku Jangga di Sumba Tengah.
Kehadiran tambang di wilayah-wilayah ini sudah dan sedang merampas tanah-tanah warga, merusak dan mencemari sumber air, merusak hutan dan situs-situs adat, mencemari laut, konflik sosial, intimidasi dan kriminalisasi yang berujung di penjara.
Selain itu, moratorium mestinya juga dikuti langkah penegakan hukum yang tegas dan transpran, tidak sebatas soal administratif, mengingat keberadaan dan aktivitas pertambangan di NTT penuh dengan praktik transaksional di ruang gelap, tanpa pantauan publik. Bahkan tak jarang, aparat penegak hukum diduga kuat turut melindungi keberadaan aktivitas perusahaan tambang.
Moratorium tambang di NTT juga harus diikuti langkah pemulihan sosial dan ekologi, sebab aktivitas pertambangan telah menimbulkan kerusakan yang dasyat bagi ruang hidup juga konflik sesama warga hingga saat ini.
Karena itu, tambang di NTT tak sekadar dimoratorium, tetapi harus dicabut permanen.
Penulis: Boni J