Tambolaka, Vox NTT- Literasi bukan sekedar membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir menggunakkan sumber-sumber pengetahuan dalam bentuk visual, cetak, digital, dan auditori.
Pada abad ke 21, kemampuan ini disebut sebagai literasi informasi. Salah satu kompenen dari literasi adalah Literasi Dini. Literasi Dini menjelaskan, literasi adalah kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan dan berkomunikasi melalui gambar dan tutur yang dibentuk oleh pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sosial di rumah dan lingkungan masyarakat. Pengalaman berkomunikasi dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar. (Early Literacy: Clay, 2001).
Menjawab salah satu fenomena yang terjadi di Pulau Sumba, literasi yang terjadi di Sumba pada umumnya berbeda dengan literasi yang terjadi pada lain tempat kebanyakan. Di Sumba, negeri seribu satu kuda ini merayakan literasi dengan menggunakan bahasa tutur dan kemampuan lisan yang jauh lebih dominan dari kemampuan literasi lain.
Hal ini diungkapkan oleh Zainul Fadilah, district facilitator program inovasi di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) kepada VoxNtt.com di sela-sela Festival Literasi yang dilaksanakan pada hari Kamis, 13 Desember 2018 lalu.
Meski literasi ini memberikan pengertian yang menarik bagaimana kemampan verbal seseorang dalam bertutur, mampu berperan sebagai bagian dari literasi informasi, bentuk dasar ini tidak menjadi satu-satuunnya peningkatan komponen literasi.
Menurut Fadilah, latar belakang dilaksanakannya Festival Literasi di Pulau Sumba ini karena berdasarkan hasil penelitian, tingkat literasi pada anak-anak Sekolah Dasar di NTT masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan oleh data Indonesian National Assessment Program (INAP) yang menyebutkan bahwa NTT memiliki skor kebahasaindonesiaan 34,4 nilai ini berada jauh di bawah nilai rata-rata nasional yaitu 39,3.
Hasil riset Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) 40 di Sumba juga menyebutkan bahwa literasi dasar di Sumba Barat Daya (SBD) cukup rendah.
“Nah, salah satu aktor langsung dalam hal ini adalah orangg tua. Festival Literasi Anak (FLA) ingin berkontribusi untuk menggali dan menyepakati langkah konkrit orang tua, masyarakat desa, adat, agama, untuk meningkatkann mutu pendidikan,” jelas Fadilah.
Festival Literasi Anak yang dilaksanakan di Sumba Barat Daya ini diharapkan mampu menghasilkan konsensus masyarakat untuk mendukung pembelajarann anak, baik di sekolah maupun di masyarakat dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) atau komitmen adat.
Namun, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan literasi di negeri marapu ini, misalnya, jumlah tenaga didik yang berlulusan SMA menjadi salah satu problem besar dalam menghidupkan budaya literasi ini. “Meski Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sudah mengakomodir hal ini, secara kapasitas mesti perlu untuk dibenahi,” ungkapnya.
Ada pun permasalahan lain, misalnya jumlah guru PNS umur tua yang jauh lebih banyak daripada gurunPNS yang berumur muda, sehingga daya kreativitas mengemas metode literasi ini menjadi sangat sulit untuk diterapkan.
Sementara permaslahan mendasar literasi di Sumba tidak berkembang yakni, karena aspek sosio cultural yang sangat kuat, dimana secara budaya masyarakat Sumba pada umumnya masih sangat lekat dengan ritual-ritual tertentu yang dalam pelaksanaannya, banyak melibatkan warga sekolah sehingga kadang anak-anak tidak ke sekolah selama proses adat ini berlangsung. Juga, budaya tutur yang sangat dominan dibandingkan dengan budaya baca dan tulis.
“Untuk itu, salah satu upaya konkrit yang harus dilakukan untuk membangkitkan budaya literasi di Sumba, dibutuhkan kerja sama antarpemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Tokoh Adat, Tokoh Agama, karena pada dasarnya semangat literasi ini perlu didukung dengan program integrasi lintas stakeholder atau visi yang kuat dari para pemimpin untuk mnngentaskan ketertinggalan literasi,” tegas Fadilah.
Penulis: AH
Editor: Boni J