Oleh: Erik Teo Baru
(Alumnus SMAK Loyola, Labuan Bajo)
Indonesia adalah bangsa plural yang terdiri dari 260 juta penduduk 714 suku, 1.100 bahasa daerah, (HU Kompas, 23/01/2018) 6 agama besar (yang diakui), beragam etnis dan beragam golongan ataupun organisasi lainnya. Sejalan dengan itu, para founding fathers telah merumuskan sejak awal narasi persatuan sebagaimana termahktub dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Substansi dari semboyan ini ialah masyarakat memandang keanekaragaman —baik suku, agama, ras dan etnis atau pun golongan lainnya- sebagai kekayaan yang harus dipertahankan.
Problemnya, bentuk pengaktualisasian dari jargon Bhineka Tunggal Ika belum sesungguhnya dijalankan. Sebagai misal, pertentangan antara suku Dayak dan Melayu di Sambas Kalimantan Barat atau Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah. Kemudian kerusuhan dan pembakaran tempat ibadah di Situbondo (Raho, 2014: 7, 260), konflik agama di Ambon, konflik Poso, kerusuhan Tanjung Balai dan Tolikara atau, yang masih aktual pemboikotan gereja di Jambi, juga ketegangan pasca pembakaran bendera yang identik dengan ormas terlarang HTI.
Sejumlah sampel kelam ini sejalan dengan tesis Magnis-Suseno (Madung, 2017), bahwa Indonesia sama dengan banyak negara lain (tentu saja tidak bertendensi menjustifikasi Indonesia sama persis dengan Suriah) yakni konflik-konflik sosial yang paling mudah memantik emosionalitas bertalian erat dengan identitas; agama, suku, ras dan etnis.
Kala konflik-konflik antar identitas itu tidak direfleksikan secara holistik-komperhensif minus upaya toleransif maka sebagai implikasinya, diduga kuat akan dipolitisasi dan ditematisasi plus diinterpretasi secara ekstrim oleh elite-elite bernalar pragmatis; pemburu rente.
Mereka (baca: elite pragmatis) melesatkan fragmen-fragmen terselubung dengan kemasan-kemasan sedemikian apik, langsung menohok kepada emosionalitas publik; obral isu agama, suku, ras atau variabel semodel lain yang memproyeksikan politik identitas.
Politik identitas seturut pemikiran Armada Riyanto (2011) merupakan politik primordial. Ia juga mengemukakan secara luas sebagai, politik yang lahir dari semangat individu, kelompok sosial, agama atau komunitas tertentu dengan tujuan menegaskan eksistensinya. Boleh dikatakan bahwa kemaslahatan umum -apalagi yang notabene pada bangsa plural ini- amat sulit diperhatikan ketimbang porsi untuk interese pribadi, sub-sub kultur atau pun interese institusi agama sendiri.
Secara kasat mata, konstelasi elektoral DKI 2017 lalu dapat dipandang sebagai fakta-bobrok tersajinya politik identitas. Frase agama apa? Suku atau keturunan mana? kemudian konstruksi istilah-istilah seperti; penduduk aesli dan pendatang, Muslim dan non Muslim, kafir, Tionghoa, Kristen, PKI, ahli neraka jahanam serta rumpun stigmatisasi lain merebak tanpa sungkan ke permukaan.
Akibatnya, pengkotak-kotakan antarmassa menyolok tajam. Lebih parah lagi, ketegangan yang menyeret publik dalam skala nasional itu belum seutuhnya hilang, bahkan dapat diduga, akan terus berlanjut dalam hajatan pemilu berikutnya.
Dan pada bulan-bulan kampanye menuju kontestasi akbar yang ke 12 (bila digabungkan dengan 6 pemilu non demokratis di era Soeharto) April 2019 mendatang, Komnas HAM cum Litbang Kompas memaparkan hasil survei terbaru. Dari 34 provinsi yang disurvei, diperlihatkan bahwa 87,2% masyarakat Indonesia menilai persamaan ras menguntungkan kehidupannya, sementara 88,1% menganggap lingkungan sosial dengan persamaan etnis dapat memudahkan kehidupan (Kompas, 17/11/2018). Dapat dibayangkan, tingginya corak pemikiran primordialis seperti ini akan menjadi hidangan empuk elite-elite bermental pragmatis. Elite yang cuma bermodalkan skill propaganda di atas rata-rata, memperagakan aktus menyerang dalam rupa permainan frase (Kompas, 27/10/18) demi menggolkan interese-interese pribadi dan konco-konconya.
Hal ini bertambah runyam ketika fenomena ahkir-ahkir ini mempertontonkan orang-orang berpengaruh; pemuka agama, termasuk para ekstrimis bermesraan dengan elite-elite tertentu dan terjun ke dalam lanskap politik kita. Sambil membawa atribut keagamaan tertentu mereka menunjukkan geliat progresif.
Sayangnya progresivitas mereka cenderung destruktif. Ada yang memprakarsai demonstrasi dahsyat melawan pemerintah, mengkonstruksi kritik tanpa solusi yang jelas, hingga terang-terangan mengeluarkan fatwah haram memilih kandidat ataupun partai tertentu serta konstruksi narasi yang menyudutkan (keyakinan) yang lain.
Sampai pada tataran ini, hendakknya upaya menangkal isu identitas harus dilihat sebagai usaha yang ultim sebab kodrat demokrasi —sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat- hanya menjadi seumpama jargon rigid-absurd, disampingnya perkara pluralitas kian menganga. Menghadapi realitas pahit demikian, generasi milenial pun dapat dipandang sebagai subyek penting dalam menangkal isu tak sedap yang jarang absen dalam tiap momentum kontestasi elektoral itu.
Generasi anti Isu Identitas
Istilah milenial (generasi Y) diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe. Meski secara harafiah tidak ada demografi khusus tentang milenial (atau generasi Y) itu, namun para pakar dan peneliti sosial mengklasifikasinya seturut tahun lahir.
Dikemukakan bahwa generasi milenial ialah mereka yang lahir tahun 1990-an sampai tahun 2000-an (goetimes. co.id, diaskes 29/11/2018). Saat ini mereka (baca; generasi milenial) berusia dikisaran 15-34 tahun. Khusus untuk konteks Indonesia, populasi mereka cukup tinggi yakni sebesar 34,45%. (http://alvara-strategic.com, diaskes 29/11/2018).
Kendatipun West Midland Family Center (WMFC, 2012) dan National Chamber Foundation (NCF, 2013) menyebut mereka sebagai generasi yang paradoks dan penuh kontradiksi, tetapi perlu diproyeksikan kalau volume keunggulan mereka juga tidak sedikit semisal toleran, berambisi mengejar goals, mau berkontribusi terhadap dunia kemudian pintar secara intelektual, melek teknologi, visi besar, pendidikan tinggi dan bergagasan inovatif.
Lebih lanjut, peneliti pusat penelitian politik LIPI, Wasisto Raharjo Jati dalam artikelnya (Kompas, 14/10/17) juga menulis bahwa di Indonesia, kalangan milenial dapat dikaji secara sosio poitik dan sosio budaya. Secara sosio politik milenial terlahir tanpa ikatan emosi sejarah dengan peristiwa politik sebelumnya sehingga pandangan politik sangat independen. Sementara secara sosio budaya, menurut Wasisto, mereka adalah kelompok masyarakat yang berusaha menampilkan dirinya sebagai kelompok modern yang terlepas dari ikatan primordial dan identitas.
Tatkala dihadapkan dengan fenomena isu identitas yang kian melejit sampai hari ini, generasi Y Indonesia mesti berikhtiar resisten-masif baik dalam media daring maupun during. Dengan pelbagai keunggulannya (seperti yang telah dikemukakan di atas), generasi Y —yang tentu saja berasal dari beragam latar belakang; agama, suku, etnis, atau golonan lainnya- mesti menelorkan corak pemikiran progresif-futuristik.
Ada beberapa poin yang perlu dijabarkan generasi Y Indonesia menghadapi sengatan Politik Identitas.
Pertama, generasi Y mesti berani merangsang masyarakat untuk melihat kembali senggolan-senggolan berbendera identitas medio waktu lampau serentak memprakarsai upaya introspeksi-reflektif holistik-komperhensif berskala nasional. Dengan itu masyarakat diharapkan menjadi cerdas secara emosi dan nalar sehingga menjadi sadar bahwa bahaya senggolan-senggolan (kerusuhan/perang), mengutip Levinas dalam Von Der Veij (2000), hanya mengakibatkan moral menjadi bahan tertawaan. Ekuivalen dengani itu terciptalah negara yang menurut Aristoteles bukan sekadar instrumen belaka tetapi merupakan suatu organisme (Keladu, 2016). Di dalamnya terbina relasi akrab-mesra antar anggota dan kesatuan serta keutuhan pun sungguh tercipta, terpelihara dan terjamin. Pendeknya, semboyan Bhineka Tunggal Ika teraktualisasikan.
Kedua, setelah mendamaikan tragedi kelam antar identitas waktu lampau, Milenial tetap mengcross-check geliat politik identitas dari elit-elite bermental pragmatis plus bertendensi kakostokrasi. Kemudian, dengan sumber informasi dan basis argumentasi wahid, segera melancarkan kritikan-kritikan objektif serentak menyodorkan gagasan-gagasan inovatif-futuristik. Dengan demkian apa yang dicemaskan Kuntowijoyo (Alfian, 2016) bahwa politik hanya memikirkan masalah jangka pendek atau realitas-realitas yang dekat pun ternegasikan.
Ketiga, generasi Y juga perlu menyadarkan kaum-kaum terkemuka; pemuka-pemuka agama, termasuk kaum ekstremis yang cenderung nyaman memboncengi elite-elite tertentu di ranah publik. Kepada mereka (baca; pemuka agama) diproposalkan suatu keadaan yang disebut Habermas sebagaimana dikutip Hardiman (2011), sebagai situasi epistemis. Artinya taatkala berada di ruang publik atau masyarakat yang plural, mereka semestinya bersikap moderat dan sedapat mungkin untuk tidak menunjukkan superioritas apalagi mempolitisasi agamanya.
Keempat, masuk ke dalam domain masyarakat dan mensosialisasikan efek bobrok politik identitas. Bahwasannya, narasi identitas hanyalah sindrom bobrok yang dapat merusak harmoni integrasi bangsa. Dalam pada ini elite hanya menjadikan masyarakat sebagai alat bukan dasar dan tujuannya. Meminjam istilah Walter Lippman (Lilijawa, 2010) masyarakat hanya ditahbiskan sebagai kawanan pandir yang dikerahkan kekuatannya untuk elite tertentu dalam pemilu semata.
Separalel dengan itu, akibat dari penggunaaan isu identitas juga adalah bahaya memilih buta atau pemilihan asal-asalan. Barang tentu pemilu akan menghasilkan elite asal-asalan pula. (Kleden, 2013) Atau dalam istilah yang lagi naik daun menghasilkan politikus Sontoloyo dan Genderuwo.
Indonesia menaruh harapan besar akan terciptanya perubahan di pundak generasi milenial. Generasi yang secara global pada tahun 2020 akan mendominasi lebih dari 50% angkatan kerja di seluruh dunia ini diharapkan mampu menelorkan efek perubahan; mengembalikan hakikat demokrasi sambil mengikat pengakuan akan perbedaan identitas.
Selain itu, sebagai amunisi yang fundamen; menciptakan pola pikir masyarakat yang liberal-futuristik atau sekurang-kurangnya secara gradual melucuti pola pikir kolot, dan habitus memilih buta. Akhirnya, hajatan pemilu pun terkonstruksi lebih dari pada pemilu itu sendiri; bukan soal siapa menang, siapa kalah tetapi lebih luhur dari pada itu, siapa yang akan mengendalikan peradaban dan persatuan bangsa; Indonesia. (*)