Kupang, Vox NTT- Malam itu, Sabtu 15 Desember 2018. Tepat pukul 23.00 Wita, Terminal Kargo Bandara Eltari Kupang tampak sunyi tak berisik.
Tak banyak orang beraktivitas di sana, kecuali beberapa pegawai yang setia mengatur lalu lintas barang yang baru saja diturunkan dari pesawat Lion Air tujuan Surabaya-Kupang.
Dari kejauhan, tepatnya di dekat pintu masuk Kargo berdiri sekelompok orang. Ada yang sudah menunggu dan ada yang berdatangan.
Malam dingin itu membuat mereka berdiri kaku, diam tak banyak bicara. Sesekali mereka berbisik dengan suara yang pelan sambil menyodorkan tangan untuk berjabat pada mereka yang datang.
Tak jauh dari situ, tampak beberapa orang sedang duduk sambil menopang dagu. Mereka seperti ingin bicara tetapi tersumbat isak tangis dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Suasana kian diselimuti duka. Suara yang tadinya tenggelam mulai menyembul tatkala seorang petugas dari BP3TKI bersama seorang pekerja kargo memberikan aba-aba bahwa yang ditunggu-tunggu telah tiba. Yang ditunggu itu adalah Margareta Bait, TKI/PMI asal Kiuoni, Fatuleu Kabupaten Kupang.
Margareta Bait merupakan TKI yang sejak tahun 2011 pergi meninggalkan kampung halamannya. Tujuh tahun dia berada di rantauan, tujuh tahun pula tak bertegur sapa dengan sanak keluarga di kampung halaman.
Namun, sekali pulang, tubuh Margareta sudah kaku, matanya tak lagi melihat, suara tak lagi terdengar, telinganya tak lagi mendengar. Dia telah tiada.
Margareta kini hanya mampu mengucapkan selamat atas pertemuan dan perpisahan itu dari balik kebisuan pilu.
Tak ada kata yang mampu ia ucapkan, meski sekadar menceritakan derita yang menghantarnya pada kematian. Namanya kini tercatat sebagai bagian dari 99 jenazah TKI yang dikirim pulang ke Nusa Cendana.
Hingga kematiannya, Margareta belum sempat menceritakan siapa gerangan yang membawanya ke Malaysia, perusahaan apa yang setega itu mempekerjakannya hingga mati.
Kepala Desa Kiuoni, Kecamatan Fatu Leu, Kabupaten Kupang, Dedi Gustaman Suan juga mengaku tidak tahu siapa yang mengurus kepergian Margareta ke negeri jiran.
“Kita juga tidak tahu, waktu itu dibawa sama siapa, yang urus siapa, kita juga tidak tahu,” tutur sang Kades.
Kades Gustaman mengisahkan, kabar kematian Margareta yang datang pada 11 Desember 2018 itu, bagaikan disambar petir di siang bolong, mengejutkan. Pasalnya, sejak berangkat, dia tak pernah pulang, menjelang ajal menjemput pun tak ada informasi kalau dia mengalami sakit.
“Informasi yang kita dengar dia sudah mati, tidak tahu apa sebab dia mati. Semua keluarga jengkel, kesal tapi mau bagaimana lagi, mereka akhirnya menerima saja,” sambung Gustaman dengan wajah sedih.
Sementara sang suami terlihat lemas, tak sanggup bersuara. Air matanya tak sanggup menahan tangis. Meninggalkan kampung halaman selama 7 tahun bersama sang istri hanya dibayar dengan perpisahan abadi.
“Mereka pergi sesungguhnya karena kebutuhan rumah tangga, di kampung hidupnya agak susah,” kisah Kades Gustaman.
Margaret, Pesan ke-99
Dalam catatan media ini, yang juga dihimpun beberapa kelompok pemerhati masalah Human Trafficking dan Korban penyaluran TKI ke luar negeri, Margareta Bait merupakan korban meninggal yang ke-99 asal NTT.
Angka ini tidak termasuk korban yang tak terungkap oleh media, yang hilang, juga mereka yang dikubur di luar negeri atau yang dipulangkan secara diam-diam.
Margareta adalah korban sekaligus saksi bisu tentang peliknya nasib bekerja sebagai TKI di luar negeri.
Di balik kematian mereka tersiar pesan bahwa pergi ke Malaysia adalah derap langkah menuju liang lahat. Mereka tak sempat memberikan pesan terakhir lewa kata-kata. Pesan terakhir yang tersisa hanyalah tubuh mereka sendiri yang disebut jenazah.
Usia 60 Tahun NTT dan Tekad Bebas Human Trafficking
Margareta dan yang lainnya harus menjadi yang terakhir, tak boleh ada lagi korban yang berjatuhan. Demikian harapan Kades Gustaman sesaat meninggalkan kargo bersama mobil jenazah yang menghantar Margareta ke kampung halamannya.
Harapan yang sama jiga diungkapkan, Gabriel Goa, Direktur PADMA Indonesia.
Gabriel menilai memasuki usia yang ke-60, kondisi NTT belum juga terbebaskan dari belenggu para mafia pedagangan orang dan korupsi.
“NTT di saat usianya mencapai 60 tahun bukannya menjadi Propinsi yang maju dan mandiri. Tetapi faktanya, NTT menyandang predikat Darurat Human Trafficking, Darurat Korupsi dan Darurat Malnutrisi,” ungkap Gabriel.
Gabriel mengajak semua masyarakat NTT untuk membangun persatuan dan melawan semua jenis kejahatan kemanusiaan yang kian mencekeram kehidupan masyarakat NTT.
“Sekarang, segenap anak kandung Flobamora harus bangkit dan berjuang bersama melawan mafioso Human Trafficking dan Koruptor yang merampok hak-hak rakyat NTT yakni hak atas Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan dan Ekosob (ekonomi, sosial, budaya),” ajak Gabriel.
Menurut Gabriel, Korupsi dan Human Trafficking adalah Pelanggaran HAM berat. Sebab kata dia, korupsi sama dengan merampok dan menginjak-injak harkat dan martabat rakyat NTT.
“Di usia yang ke-60 ini sudah saatnya segenap anak-anak Flobamora bergandengan bersama menjadikan NTT Zero Korupsi, Zero Human Trafficking dan Zero Malnutrisi. Bangun SDM NTT yang berintegritas dan rela berkorban untuk selamatkan NTT agar mandiri dan maju, serta diperhitungkan di tingkat nasional dan internasional,” tegas Gabriel.
Penulis: Boni J