Oleh Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Minggu ini, umat Kristiani di seluruh dunia satu dalam Natal. Natal menjadi perayaan sekaligus momen spesial. Momen di mana kebahagiaan dan semua harapan baik datang.
Dalam perspektif agama, Yesus Kristus yang menjadi simbol kebahagiaan itu datang menyapa manusia yang penuh debu dan sarat noda dan dosa. Itulah alasan mengapa Natal menjadi perayaan suka cita. Sebab, dalam Natal ada pembebasan. Di sini, Natal menjadi perayaan keselamatan.
Di bagian lain, secara sosial, Natal menjadi ruang rekonsiliatif. Ruang di mana konflik yang terjadi antardiri dan dalam diri manusia; antarmanusia dengan yang lainnya seakan mendapatkan tempat untuk bersatu. Di sini, persatuan menjadi inti Natal. Ujungnya adalah persatuan manusia.
Masalahnya adalah apakah semua manusia di alam ini memiliki pemahaman yang sama akan esensi kegembiraan, kebahagiaan, solidaritas, dan persatuan seperti nilai Natal? Dengan kata lain, apakah Natal benar-benar syahdu untuk dirayakan?
Bahwa dalam beberapa pekan kemarin, di ruang gereja dan ruang sosial, umat Kristiani sibuk mempersiapkan Natal sulit ditolak. Bahwa di beberapa tempat dan lokasi, aneka hiasan Natal memenuhi ruang dan sudut-sudut kota, naïf untuk dibantah.
Meskipun demikian, keberadaan beragam ornamen Natal dalam langgam tertentu harus pula dikritisi. Gugatan bukan karena keberadaan beragam ornamen itu. Gugatan justru diajukan karena manusia yang mengaku diri beragama dan yang merayakan Natal itu justru menafikan esensi Natal.
Di ruang modernitas, oleh banyak orang, Natal sama dengan ornamen Natal semata. Manusia modern menyelami Natal hanya sebatas lampion, lampu Natal, baju baru, rambut baru, sepatu baru dan yang baru lainya.
Padahal, secara falsafati, tidak ada hubungan antara Natal dan beragam hal baru secara fisik itu. Sebab, yang dibutuhkan adalah bukan hal fisik itu. Yang diinginkan adalah kebaruan diri dan hati.
Kebaruan diri adalah mereformasi semua hal terkait dengan praktik hidup, sikap dan tingkah laku kita saat ini. Jadi, yang perlu diberi pemahaman ulang ialah esensi Natal. Bahwa Natal adalah Natal. Natal bukan sama dengan baju baru dan rambut baru. Natal adalah sejauh membaharui hati. Natal adalah mempraktikan kebaruan itu dalam hidup sehari-hari.
Erosi Makna Natal
Membaca realitas kehidupan modern akhir-akhir ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa makna Natal telah dilupakan oleh sebagian dari kita umat manusia. Makna Natal telah tererosi oleh kekuatan modernitas.
Jika praktik kapitalisme menjadi salah satu ciri modernitas maka Natal saat ini hanya dapat dimengerti sejauh memahami hal-hal baru secara fisik sebagaimana diceritakan di bagian awal tulisan ini. Mengapa demikian? Saya akan menceriterakan pengalaman melancong keliling kota, keluar masuk pusat-pusat perbelanjaan modern dan mengamati beberapa salon kecantikan di Kota Kupang beberapa waktu belakangan.
BACA JUGA: Parfum, Fashion Show dan Kesemarakan Natal di Kotaku
Bersama mahasiswa Jurusan Sosiologi Fisip Undana yang mengikuti mata kuliah Sosiologi Budaya, saya melacak dan mengamati tempat-tempat yang menjadi ikon kapitalisme global. Mall, supermarket, salon hingga pasar tradisional menjadi sasaran.
Temuan di lapangan menarik untuk dibagikan di sini. Hasil amatan dan riset kecil itu memunculkan beberapa kesimpulan menarik terkait dengan Natal.
Pertama, oleh masyarakat kota yang mengaku diri modern, Natal tidak lagi hanya dipahami sebagai perayaan keagamaan. Natal menjadi sarana presentasi diri secara sosial.
Kedua, saat ini, Natal hanya dapat dimengerti sejauh memahami baju baru, sepatu baru, rambut baru, kue Natal dan sebagainya.
Ketiga, di ruang kapitalisme dan kapitalisme global, Natal menjadi ajang akumulasi modal secara sistematis.
Hal pertama dan kedua bisa dijelaskan bersamaan. Diskusi dengan beberapa orang yang mengunjungi mall dan pusat-pusat perbelanjaan jelas menunjukan bahwa Natal memang menjadi perayaan sekaligus pesta.
Perayaan dari aspek keagamaan tetapi menjadi pesta secara sosial. Ini menarik. Sebab, pada titik tertentu, Natal merupakan hari ulang tahun kelahiran Yesus Kristus. Karena Yesus dianggap sebagai tokoh agama maka Natal menjadi perayaan keagamaan.
Meski demikian, di sudut yang lain, kelahiran Yesus itu malah dianggap sebagai arena untuk melakukan pesta. Itulah alasan mengapa di saat Natal, banyak dijual ornamen Natal. Natal tidak hanya identik dengan pohon Natal dan Santa Klaus.
Natal menjadi pesta umat manusia yang merayakannya. Implikasinya, Natal harus berbaju baru, rambut baru, sepatu baru dan lain-lain. Atas nama pesta, petasan dan mercon serta aksesoris lain harus disertakan. Macetnya jalan di pusat pertokoan, ramainya mall dan pusat perbelanjaan menjadi bukti otentik bahwa Natal tidak hanya sekadar perayaan keagamaan tetapi sekaligus pesta sosial dan ekonomi.
Di beberapa salon kecantikan, banyak orang yang antri untuk meluruskan rambut, mempercantik muka dan menghaluskan kulit. Ini fakta sekaligus realitas. Diskusi dengan para pengunjung salon menunjukan bahwa aktivitas tersebut memang dalam rangka persiapan Natal.
Menyebut alasan datang ke tempat-tempat itu, sulit untuk tidak mengatakan bahwa makna Natal benar-benar terdegradasikan; makna Natal terlampau tererosi oleh perubahan orientasi perayaan Natal manusia.
Natal menjadikan manusia menjadi manusia satu dimensi menurut perspektif teori kritis. Dalam One Dimensional Man, Herbert Mercuse (1964) pernah mengatakan bahwa modernitas memaksa heterogenitas manusia menjadi satu dan sama. Ujungnya adalah akumulasi modal dan uang sebagaimana temuan para mahasiswa di atas.
Menarik bahwa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk meruluskan rambut dan memperhalus kulit dan muka sangat tinggi. Seratus lima puluh ribu hingga dua ratus ribu rupiah. Itu bukan harga asli.
Harga seperti itu terjadi pada saat-saat ramai seperti sekarang. Sebuah salon sehari menerima lima puluh hingga seratus orderan. Silakan tuan dan puan menghitung sendiri. Itulah implikasi modernitas atas Natal.
Saya dan para mahasiswa tidak yakin kalau dahulu Yesus pernah mengeluarkan fatwa bahwa untuk masuk surga, orang harus memakai baju baru, rambut baru dan sepatu baru. Manusia modern menganggap Natal adalah rambut lurus, baju, dan sepatu baru.
Di situ, manipulasi kesadaran perlu disebut. Manipulasi kesadaran manusia oleh determinasi kapitalisme global di ruang-ruang privat kita memunculkan realitas seperti di atas. Yang pasti, tidak ada hubungan sama sekali antara baju baru dan rambut baru dengan Natal.
Itu berarti, kita semua sebetulnya sedang terjebak oleh rayuan kapitalisme dengan menggunakan Natal sebagai alat utama untuk menjebak. Itu sama dengan penjajahan. Penjajahan kesadaran oleh ketidaksadaran.
Natal sebenarnya ingin mengasah dan membangkitkan kembali ketidaksadaran itu. Itulah makna Natal secara asali. Membangkitkan ketidaksadaran manusia modern menjadi kesadaran sempurna; Bukan malah merumuskan manusia ke dalam lubang hitam ketidaksadaran.