(Sebuah Refleksi Natal)
Oleh: Pendeta Emmy Sahertian
Saat membayangkan dulu di sekitar rumah pada malam Natal, kunang kunang bertebaran di pohon-pohon itu. Pekarangan memiliki ‘Pohon Natal yang hidup’.
Ibu dan nenek memberi pemahaman bahwa meski kita tak bisa membeli pohon Natal tapi Tuhan menyiapkannya melalui alam yang berkilau di sekeliling rumah kami yang sangat sederhana, rumah bebak beratap rumbia dan mulai miring.
Menurut mereka, kilauan nyala dari makhluk kecil itu merupakan simbol hidup kita yang meskipun kecil tapi dapat menebarkan cahaya yang indah di malam gelap.
Pemahaman ini telah merevolusi cara berpikir kami mengenai Natal simbolisme menjadi Natal realisme yang ekologis, yang mewarnai hidup kami.
Setiap Natal tiba, kami menunggu kunang kunang sebagai hadiah Tuhan terindah sekaligus sebuah Sabda Tuhan melalui alam tentang hidup yang meskipun cahayanya kecil tetapi mampu menyinari kegelapan malam. Bahkan kunang-kunang itu hadir dan memberi harapan sepanjang musim basah melewati hari Natal.
Ibu dan nenekku adalah dua perempuan biasa yang telah merevolusi cara berpikir, hati dan perilaku kami tentang Natal.
Sayangnya kini kunang kunang itu telah lenyap di tempat kami. Generasi fauna berkilau itu hilang entah ke mana. Sebuah petanda bahwa bumi tempatku berpijak ini, sudah bukan lagi tempat bermukim yang nyaman dan aman bagi mereka.
Kini, cahayanya telah tergantikan lampu-lampu terang benderang yang berkilau pada hari raya.
Realitas ini membuatku terenyuh berefleksi tentang perayaan Natal yang “glaming” dan hiruk pikuk saat dikumandangkan lagu “Damai di Bumi”, sebuah lagu yang menghapus rasa takut kita untuk bertahan hidup dalam Bumi yang tidak lagi aman ini.
Tetapi tidak jarang hiruk pikuk dan ‘glaming’ Natal itu membentuk masker penyangkalan terhadap kenyataan bahwa kita sedang hidup di bawah bayang-bayang kebencian, pisau pembunuh, mesiu, bom, berhala uang yang selalu memperdagangkan sesama manusia dan mencemari alam dengan serakah. Agama menjadi arena perkelahian doktrin tentang kebenaran Tuhan dan perebutan Surga yang entah ada di mana.
Nyala iman menjadi redup membuat realitas kemiskinan, degradasi kemanusiaan dan kehadiran keselamatan Allah seperti terkapling dalam simbolisme dan ritualisme semata.
Malam ini renungan Natal berkisah tentang peranan para gembala yang mendapat berita tentang kelahiran Yesus (Lukas 2: 8-20).
Mereka adalah orang kecil lugu yang selalu berada di daerah terpencil, terlupakan dalam sistem sosial politik. Namun ternyata, dari orang orang seperti inilah kita mengenal secara mendalam makna perjuangan hidup.
Dari merekalah kabar baik itu datang secara meluas dan berdampak. Melalui pergumulan hidup menghadapi tekanan dan penindasan, mereka dapat memahami makna pembebasan Allah dalam kelahiran bayi Yesus yang dibungkus dengan kain lampin.
Tanpa ragu mereka datang menghormatinya dan mengimani bahwa kehadiran Allah melalui bayi Yesus terselip kehadiran yang membebaskan, sebuah transformasi spiritual yang menjadikan mereka sebagai pewarta Injil kebenaran dan keadilan.
Melalui orang kecil ini terang kebenaran Allah diperjuangkan.
Karena itu kita tidak boleh menganggap enteng “orang kecil”. Perjuangan hidup mereka melahirkan spiritualitas pembelaan keadilan dan kebenaran. Mereka adalah cahaya di dalam kegelapan.