Oleh: Pater John Seran, SVD
Di sudut gelap sebuah rumah, di rumah yang lebih cocok disebut gubuk reot, terjadilah perbincangan hangat kakak beradik.
Kaka : Baju baru apakah yang harus digunakan besok saat natal Kak?”
“Aku ingin baju merah dengan hiasan permata dan taburan mutiara. Aku ingin terlihat seperti para ratu yang hidup di istana,” jawab sang Kakak.
“Aku akan menggunakan rompi terbaik yang berwarna putih, berbahan sutera dan sepasang sepatu kulit yang baru,” sang Adik pun tak mau keringgalan ikut membeberkan keinginannya.
Bunyi musik natal dari rumah tetangga terus berdentum. Menyusup masuk lewat celah dinding gubuk tua yang sudah berlubang, ikut menghangatkan malam yang gelap gulita dan dingin itu.
Obrolan tentang pakaian Natal seakan membuat mereka senang sesaat dan melupakan kesulitan hidup mereka. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu…tok…tok…tok…sang Ayah baru pulang dari memulung.
Sang Ayah kali ini tidak seperti biasanya. Ia masuk rumah dengan wajah muram. Ia baru saja kehilangan seluruh penghasilannya dalam perjalanan pulang. Ia dipalak beberapa pemuda mabuk. Hasil dia memulung semuanya dirampas di tengah jalan.
Baju natal yang dibicarakan gagal. Air mata mereka mulai menetes. Tersirat wajah kesal, ingin marah, tidak terima. Namun mereka masih bersyukur karena sang Ayah yang mereka miliki satu-satunya masih tetap hidup.
Tanpa sepata kata pun, mereka mereka berlari dan merangkul sang Ayah erat-erat.
“Tuhan masih menjaga Ayah”. Tak ada kata sesal keluar dari bibir mereka hanya air mata yang terus menganak sungai.
Mimpi mereka hanya tinggal mimpi, mereka pun lupa tentang cerita baju baru. Sebab mereka telah menemukan dan mengenakan pakaian baru sesungguhnya.
Apakah sebenarnya yang kita butuhkan pada hari Natal? Apakah sebenarnya arti Natal bagi kita? Apakah sempat terpikir dalam benak kita? Atau sempat terlintas dalam benak kita? Mari kita fokus diri kepada Natal sesungguhnya!
Tentang kelahiran Sang Mesias, sudah dinubuatkan sejak lama dan sudah muncul dalam ramalan Nabi Yesaya. Dalam nubuat Nabi Yesaya tersirat sebuah kerinduan untuk segera mengalami kehidupan baru yang terbebaskan dari berbagai belenggu beban hidup.
Orang Israel mulai bosan dan jenuh dengan berbagai tantangan hidup. Mereka malas dengan penindasan dan perbudakan tangan penguasa. Oleh karena itu, mereka ingin segera bebas dari semua kepahitan itu.
Kebebasan demikian, menjadi keinginan di balik kesadaran terdalam mereka. Dan, itu terwujud melalui kedatangan Sang Mesias yang kita rayakan melalui Natal setiap tahun.
Dalam Injil Lukas, cerita kelahiran Yesua memang tidak ada kisah kronologisnya. Maria mengandung dan tiba-tiba waktunya melahirkan. Proses yang panjang di seputar melahirkan tidak dideskripsikan secara jelas.
Padahal, kita menunggu mungkin ada kejutan-kejutan seperti kelahiran anak dari orang-orang besar atau tokoh-tokoh terpandang dunia. Di mana, biasa ada foto, difilmkan dan ditangani dokter ahli dan tempat tidur sang bayi pun kebanjiran hadiah.
Lompatan peristiwa ini hendak mengatakan kepada kita tentang sisi lain kelahiran Yesus. Kelahiran yang normal, biasa saja, dari orang-orang kecil. Tidak ada dokter. Tidak di rumah sakit berkelas. Semuanya penuh kesederhanaan, tak ada perbedaan dengan kondisi orang miskin. Bahkan, Maria hanya dibantu oleh suaminya Yoseph.
Di sini, penginjil Lukas, mau menonjolkan kepada kita tentang sisi kemanusiaan yang sederhana dari Yesus. Tuhan hadir dalam pengalaman manusia, mengambil bagian dalam kehidupan kaum marginal, orang kecil dan sama sekali tidak dipandang.
Lalu, apakah sesungguhnya arti Natal bagi kita?
Hemat saya, Natal merupakan momen paradoks. Sebab kelahiran Yesus menghadirkan dua sisi yang bertentangan: Sang Tuhan, Raja segala raja, Tuhan yang bertakta tinggi di surga dalam keyakinan imanen atau yang kita kenal lewat konsep filsafat, sebagai yang suci, mulia, tidak terjamah, turun dan menjadi kotor dengan manusia.
Momen inilah yang hendak membuka budi kita, untuk mengalami Natal yang sesungguhnya. Peristiwa kelahiran ini, menampilkan buah-buah sabda yang bisa kita renungkan pada natal kali ini.
Pertama, Tuhan Yesus mengenakan kesederhanaan manusia untuk menjadi manusia. Ia mengambil situasi orang miskin. Di sini, Tuhan datang dengan konsep baru sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dengan tangan besi melainkan sebagai pemimpin yang berkuasa dengan kerendahan hati dan cinta kasih.
Peristiwa ini memanggil kita bahwa Natal adalah momen peralihan hidup atau sebuah momen transformasi. Kita diajak untuk bisa beralih dari model cara hidup semena-mena, otoriter, arogan dan apatis.
Tuhan memilih cara hidup yang bertolak belakang dengan statusNya sebagai penguasa. Kadang kita perlu dengan tegas berbalik 180 derajat, ketika kita telah berjalan terlalu jauh. Karena hakekat kelahiran Yesus menuntut kita terlahir baru, melalui pilihan-pilihan hidup yang kita putuskan.
Kedua, Natal tidak menuntut kita hanya untuk membangun mimpi-mimpi indah. Natal tidak berhenti pada sebatas menciptakan ruang imajiner yang penuh bertaburan suka cita Natal. Dan, tidak saja terhenti pada perayaan yang glamour. Tetapi natal merupakan sebuah momen kita dipanggil untuk membuka mata kita, dan memandang situasi ril di dunia sekitar.
Kita boleh bermimpi yang indah tentang hidup tetapi kita juga diajak untuk bisa membuka mata terhadap dunia nyata yang dipenuhi kemiskinan dan egoisme.
Kita jangan memberatkan orientasi hidup kita hanya pada obsesi mengejar kebahagiaan yang masih jauh di awang-awang sampai melupakan kehangatan dari relasi sosial kita dengan sesama atau bahkan menutup mata terhadap penderitaan sesama.
Kita boleh bermimpi tentang kehidupan masa depan yang belum nyata akan tetapi kita juga harus tetap sadar pada dunia nyata sekarang, kita berpijak. Jangan sampai ngebut mengejar hasrat lantas mengorbankan kebersamaan dengan yang lain.
Keluarga kecil dalam ilustrasi singkat tadi, sedang bermimpi tentang natal. Mereka membayangkan tentang suatu kemewahan yang indah.
Mereka membangun sebuah harapan pada keindahan natal yang belum tercapai secara ril. Mereka boleh membuang tenaga dan pikiran dan waktu untuk obrolan tentang natal yang seharusnya mereka alami, natal dalam mimpi mereka.
Namun, toh pada akhirnya, kemiskinan memberikan sebuah cara baru bagi mereka dalam memaknai natal. Kemiskinan membuka mata mereka, untuk melihat makna natal yang sesungguhnya. Bahwasannya, natal adalah momen bersatu, merangkul satu dengan yang lain dalam suka cita. Itulah natal yang sesungguhnya.
Natal membuka mata kita untuk berani melihat kenyataan dan berdamai dengan kenyataan. Buka memejamkan mata dan terus menikmati mimpi kita sendiri.
Natal merupakan momen untuk kita merangkul yang terpinggirkan dan membuat mereka berdaya. Natal tidak sekadar berisi tuntutan kebutuhan bahkan lebih dari itu natal harus menjadi momen menerima dan berdamai dengan diri, sesama, dan berdamai dengan situasi. Amin dan Selamat Pesta Natal 2018.
*Renungan ini dibawakan saat Misa Malam Natal 24 Desember 2018 di Kapela St. Vinsensius Nonohonis, Paroki St. Maria Dollorosa, SoE.