Kefamenanu,Vox NTT- Miris, mungkin itu kata yang cukup tepat diucapkan untuk menggambarkan nasib sebuah keluarga miskin di Perbatasan Indonesia-Timor Leste (RI-RDTL).
Betapa tidak, di tengah gencarnya upaya Pemerintah Pusat membangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang megah, ruas jalan hotmix panjang nan luas, masih ada potret warga dengan kondisi kehidupan yang sangat memprihatinkan dan nyaris luput dari perhatian.
Nasib sangat memprihatinkan itu dialami keluarga Antonius Lua (78) bersama istri dan 10 anggota keluarga lainnya di RT/RW: 003/001 Desa Napan, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten TTU, Provinsi NTT.
Kesulitan ekonomi, membuat sosok yang sudah renta ini harus menikmati hari-hari hidupnya dengan tinggal berdesakan bersama istri dan 10 anggota keluarga lainnya dalam sebuah “gubuk” kecil nan sempit.
Rumah milik Bapak Antonius, demikian ia disapa hanya berukuran 5×4 meter. Tak hanya berdesakan, mereka yang mendiami rumah ini, juga harus sanggup menahan gerah di kala siang diterpa cahaya matahari. Sebab, dinding rumah Bapak Antonius terbuat dari dinding seng.
Rabu (02/12/2018) kemarin VoxNtt.com bersama dua wartawan dari media lain yang mendengarkan kisah singkat tentang kondisi keluarga Bapak Antonius, berinisiatif untuk mengunjungi keluarga tersebut. Kami ingin melihat kondisi yang mereka alami secara langsung.
Namun, sebelum bergegas mengunjungi Bapak Antonius sekeluarga, terlebih dahulu menghubungi Danpos Napan Bawah dari Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Barat Yonif Mekanis 741/GN, Letda Inf. Muhamad Sadly untuk mengetahui lokasi yang pasti.
Setelah mendapatkan keterangan lokasi, bermodalkan sepeda motor butut, kami langsung menancapkan gas menuju Napan.
30 menit perjalanan, kami akhirnya tiba di Pos Napan Bawah. Sambil menyeruput kopi suguhan Leda Muhamad, kami berbincang sejenak seputar kesulitan yang melilit keluarga Bapak Antonius.
Usai menghabiskan secangkir kopi Sang Letda, kami pun segera bergegas lagi menuju rumah bapak Antonius yang berjarak kurang lebih 500 meter dari Pos Napan.
Tiba di lokasi, tampak seorang wanita paruh baya, berusia sekitar 50an tahun tengah duduk menimang bayi, diperkirakan usianya 8 bulan.
Di bawah pohon mangga, sebuah kain diikat lalu dibuat semacam ayunan mainan bayi. Belakangan diketahui, perempuan itu adalah Juana Abi, istri Bapak Antonius.
Usai memperkenalkan diri, mama Juana lekas pamit dan memanggil Bapak Antonius yang duduk menikmati udara di belakang rumah. Sebagaimana biasanya tata karma orang Timor, kami pun diajak untuk masuk ke dalam rumah yang sesak itu.
Berada dalam ruangan berlantai tanah seluas 4×5 meter itu, terasa jelas ada banyak kesulitan dan penderitaan di sana.
Bagaimana tidak, rumah sekecil itu harus dibagi dalam tiga ruangan yakni satu ruangan dengan ukuran 1×5 meter untuk ruangan tamu. Sedangkan satu ruangan lainnya di bagian belakang berukuran 2×2 meter disekat untuk menjadi kamar tidur. Sementara satu ruangan lagi berukuran 1×1,5 meter dipakai untuk menyimpan satu meja makan.
Pada ruang tamu, hanya ada satu kursi kayu tua dan sebuah lemari pakaian. Sedangkan pada lantai tanah dibentang sebuah tikar yang tampak sudah mulai usang dilapisi sak semen beberapa lembar. Ketiadaan kursi, ikut membuat kami harus duduk berdesakan pada tikar tersebut.
Sambil mengunyah sirih pinang, Bapak Antonius mengisahkan keadaan hidup yang dipikulnya itu sejak hampir 10 tahun silam.
Dikisahkan, dirinya dan keluarga sudah menempati rumah sesak itu sejak tahun 1999.
Rumah itu ditempatinya bersama istri, tiga anaknya yang masih di sekolah dasar dan satu sekolah menengah pertama serta dua anaknya yang sudah berkeluarga serta kedua cucunya, sehingga dalam rumah tersebut total terdapat 12 orang.
“Kalau tidur malam, saya punya anak 6 (enam) orang ini tidur di tikar yang sementara kita duduk. Kalau 2 (dua) anak mantu dengan cucu 2 (dua) orang yang di atas tempat tidur. Sementara saya dengan mama di rumah bulat yang sekaligus jadi dapur,” ujar Bapak Antonius dengan suara terbata-bata lantaran tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia.
Minim Bantuan Pemerintah
Bapak Antonius juga menuturkan, untuk memenuhi kebutuhan makan minum, dirinya mengandalkan hasil tanaman jagung yang ditanam di halaman rumah dan sepetak kecil kebun yang terletak cukup jauh dari rumahnya.
Sedangkan untuk bantuan dari pemerintah, ujarnya, dirinya hanya mendapatkan jatah beras raskin serta bantuan dana pendidikan untuk 4 (empat) anaknya yang masih bersekolah. Sementara bantuan lainnya tidak diperolehnya sama sekali.
Dirinya berharap, Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada keluarganya agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Selama ini yang biasa kasih bantuan hanya bapak-bapak Tentara dan Polisi. Kalau dari pemerintah hanya beras raskin sementara yang lain tidak ada sama sekali,” tuturnya.
Disela-sela perbincangan tersebut, seizin Bapak Antonius kami diperbolehkan untuk melihat kondisi di bagian dalam dan belakang rumah.
Tampak di atas meja, di ruang makan, hanya terdapat satu buah termos air. Tepat di bagian belakang rumah terdapat tumpukan piring yang disimpan dalam jerigen yang sudah dipotong bagian sebelahnya.
Sementara di samping rumah, terdapat beberapa jerigen kecil berukuran 5 (lima) liter yang digunakan untuk menyimpan air minum.
Usai memantau kondisi dalam rumah, ditemani Mama Juana kami pun melihat sejenak keadaan di belakang rumah dan dapur, tempat Bapak Antonius dan Mama Juana membaringkan badan di malam hari.
Di dapur, hanya bisa duduk atau menunduk lantaran jarak antara tanah dan loteng dapur yang sangat rendah. Di dalam, tak ditemukan barang-barang selain sebuah tungku yang biasa digunakan untuk memasak.
Di bagian kiri tungku terdapat 1 (satu) dipan kayu beralaskan belahan bambu dan beberapa kain usang yang setiap malam jadi tempat Bapak Antonius dan Mama Juana tidur.
Sungguh tempat yang sangat tidak layak bagi orang seusia Bapak Antonius dan Mama Juana untuk menghabiskan istirahat malamnya di tempat tersebut.
Usai mengamati kondisi seisi dan sekitar rumah, kami kembali bercerita dengan Bapak Antonius. Di situ, ada juga Letda Muhammad.
Mengeluh Sakit
Bapak Antonius dalam perbincangan tersebut juga mengaku, sering mengalami sakit pada bagian kepala, dada dan beberapa bagian tubuh lainnya.
Mengetahui itu, Letda Muhammad pun menghubungi tim kesehatan Satgas Pamtas untuk datang memberikan pengobatan bagi Bapak Antonius.
Berselang beberapa saat, 2 (dua) anggota tim medis dari Satgas pun datang memberikan pengobatan. Usai diperiksa, bapak Antonius diberikan beberapa jenis obat oleh tim medis Satgas Pamtas.
Setelah pengobatan selesai, kami pun lekas pamit untuk kembali ke Kota Kefamenanu, Ibu kota Kabupaten TTU.
Penulis: Eman Tabean
Editor: Boni J